Mohon tunggu...
Didit SuryoTri
Didit SuryoTri Mohon Tunggu... Freelancer - Pecinta Sepak Bola dan Penikmat Dua Gelas Es Teh

Pecinta Sepak Bola dan Penikmat Dua Gelas Es Teh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nilai Kerja Manusia

23 Juli 2020   18:20 Diperbarui: 23 Juli 2020   18:09 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam masyarakat Indonesia telah berkembang stigmatisasi bahwa orang yang bekerja adalah orang yang mendapatkan gaji, biasanya bulanan atau mingguan. Orang yang tidak dibayar bukan pekerja atau disebut pengangguran. 

Secara umum demikianlah konstruk pemikiran masyarakat Indonesia pada umumnya. Bahkan di dalam masyarakat Jawa, ada sebuah anggapan bahwa belum menjadi seseorang apabila dia belum mendapatkan pekerjaan (tentunya dengan upah).

Bekerja dengan mendapat upah merupakan sarana yang dianggap bagi sebagian masyarakat merupakan sarana untuk dapat mencapai kebahagiaan. Oleh sebabnya, kebahagiaan diasosiasikan dengan pemenuhan kebutuhan, dan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut uang adalah alatnya. Mungkin juga adalah satu-satunya alat. 

Maka, pendek pemikirannya, untuk bisa bahagia maka haruslah punya uang sebagai syarat. Dan untuk punya uang maka seseorang haruslah bekerja. Celakanya logika ini akan merembet pada hal-hal lainnya. Untuk bekerja orang harus mempunyai keterampilan (skill) dan kepintaran. Agar dapat mempunyai keterampilan dan kepintaran seseorang akan memperolehnya dengan bersekolah (pendidikan). 

Alat ukur yang digunakan oleh sekolah untuk menyatakan peserta didik mempunyai keterampilan dan kepintaran adalah dengan buku hasil belajar (biasanya rapor, indeks prestasi) dan bukti kelulusannya adalah ijasah. Terbentuklah konstruk masyarakat lainnya yaitu ijasah menunjukkan keterampilan dan kepintaran.  Apabila seseorang tidak punya ijazah maka dia dianggap tidak terampil dan tidak pintar.

Hal ini, mengakibatkan konstruk pada masyarakat yang terbentuk yaitu sekolah hanya untuk mendapatkan ijasah, bukan untuk menyadarkan (sebagaimana Freire) atau pencerahan (sebagaimana Socrates). Orientasi dalam sekolah adalah hasil bukan proses. 

Maka, selama dalam buku hasil belajar tertulis nilai (angka) yang tinggi, bagaimanapun proses mendapatkannya menjadi tidak penting. Dengan curang atau jujur sama saja, tidak ada yang benar-benar peduli. 

Pedidikan yang idealnya menjadikan manusia semakin memanusia justru mengalami anomali, mengarahkan manusia memenuhi hasrat-hasrat ekonomi, menuju pada homo economicus.

Memanusia dan Bahagia

Kebanyakan manusia berpendapat bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan. Akan tetapi, kebahagiaan dimaknai sempit sebatas pemenuhan kebutuhan materi. Satu-satunya pemenuhan kebutuhan itu dengan bekerja. Maka yang terjadi saat ini, dengan bekerja (menumpuk kapital) justru manusia telah menjadi budak dari pekerjaannya. 

Manusia kehilangan kemanusiaannya dengan memenuhi tuntutan kerja, ter-alienasi dengan dirinya sendiri.  Manusia telah menjadi mesin (l'homme machine). Ukurannya jelas,, dengan menjadi budak pekerjaan manusia telah kehilangan kebebasannya, dituntut memenuhi rutinitas tanpa makna, kecuali hanya demi mendapat upah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun