Begitu Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, bersuara kembali soal kasus jual beli lahan RS Sumber Waras yang terjadi tahun 2014 lalu, saya menarik napas panjang sebentar, ada kebingungan yang akut dan ingin tahu. Bersama rekan diskusi saya yang juga dosen ekonomi paling tidak agar saya tidak larut dalam kebingungan sendiri-kendati saya juga tamatan ekonomi-dan tidak sok tahu ketika semua menjadi ahli dan pengamat ekonomi. Tak bisa dipungkiri bahwa di era menjamurnya media sosial ini, semua orang mendadak pakar dan serba tahu.
Darimana titik tolak mengurai kebingungan ini? Sandi bertekad menagih kerugian jual beli lahan RS Sumber Waras. Sebenarnya tak kurang-kurang Direktur Yayasan Kesehatan Sumber Waras atau YKSW Abraham Tejanegara pun bingung bahwa Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno meminta RSSW mengembalikan uang kelebihan pembelian lahan Sumber Waras sebesar Rp 191 miliar.
Bahasan ini juga sudah bolak-balik, kanan kiri, maju mundur, atas bawah, depan belakang, hulu hilir dikupas dan ditelanjangi, apalagi selama periode Gubernur BTP (Ahok) lalu. KPK pun sudah turun tangan dan menyatakan tak ada indikasi korupsi atau kerugian negara. Tapi masih saja ada yang mengganjal untuk diulik-ulik kembali, ibarat duri ikan menusuk tenggorokan, duri sudah tercabut bengkaknya masih.
Kenapa Sandi berkeras menagih, di lain pihak kenapa pihak YKSW juga berkeras masalah sudah kelar dan malah bingung ditagih kembali. Ada beberapa skenario kenapa Sandi berkeras menagih. Pertama, ada indikasi kerugian saat jual beli lahan RS SW tahun 2014. Kedua, agar laporan keuangan Pemprov DKI mendapatkan status WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dan status hukum lahan adalah clean and clear terkait rencana pembangunan Rumah Sakit Kanker DKI di lahan yang dibeli dari YKSW.
Mudah-mudah tidak ada skenario lain yang tersembunyi dari Sandi.
Benarkah Jual Beli Lahan Tersebut Merugikan?
Transaksi jual beli lahan RS SW terjadi tahun 2014 saat periode Gubernur DKI BTP (Ahok). Lahan RSSW berbentuk huruf L, dari Google Map nampak diapit jalan Kyai Tapa sebelah utara dan jalan Tomang Utara di sisi timur. Pintu masuk RSSW ada di jalan Kyai Tapa. Sementara NJOP lahan di kedua jalan ini jelas-jelas berbeda, dari sini pangkal muasal kesimpang-siuran muncul lagi.
Menurut Direktur YKSW, pada tahun 2014 NJOP lahan tersebut Rp 12,155 juta per meter persegi (berpatokan pada jalan pintu masuk utama Kyai Tapa) dan akan dijual kepada Ciputra Rp 15,5 juta per meter persegi dengan total harga Rp 500 juta. Penjualan tak terjadi karena tidak sesuai peruntukan, dimana grup Ciputra akan membangun hotel. Tahun berikutnya dijual kepada Pemprov DKI, berdasar NJOP lahan tersebut Rp 20 juta per meter persegi sehingga harga jualnya pun lebih mahal mengikuti NJOP yang telah ditetapkan.
Jual beli sudah dilakukan di hadapan notaris, sah di mata hukum dan berkekuatan mengikat. Jika ingin ditinjau kembali atau sampai dibatalkan, ini adalah domain pengadilan, demikian Direktur YKSW.
Nah, sekarang Wagub DKI Sandiago Uno bertekad menagih kerugian jual beli lahan Rumah Sakit Sumber Waras (SW) atau batalkan transaksinya berdasar audit Badan Pemeriksa Keuangan menemukan ketidakwajaran pembelian lahan RS Sumber Waras yang berpotensi merugikan negara. Ia mengatakan, sebagai tindak lanjut dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan terkait kelebihan uang pembelian lahan, ia meminta pihak YKSW untuk mengembalikan uang kelebihan Rp 191 miliar kepada negara terlebih dahulu. Patokan yang dipakai BPK adalah NJOP jalan Tomang Utara.
Dalam penilaian wajar atau tidaknya suatu asset/aktiva dalam bisnis yang lazim menggunakan harga pasar. Dalam transaksi jual beli secara normal pihak pembeli berusaha mendapatkan harga yang serendah mungkin, sedangkan pihak penjual berusaha mendapatkan harga yang setinggi mungkin.
Masing-masing pihak berusaha memperoleh harga yang menguntungkan bagi masing-masing. Dari tawar menawar harga akhirnya terbentuk harga yang disepakati bersama. Ini adalah harga pasar. Harga pasar  ditentukan oleh pihak-pihak yang independen, tanpa ada tekanan (pihak penjual atau pembeli tidak bebas menentukan harga), dan tanpa ada hubungan istimewa (misal pihak penjual dan pembeli ada hubungan keluarga/saudara). Hal ini juga berlaku bagi transaksi jual beli RSSW yang dilakukan oleh YKSW dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Oleh karenanya harga jual yang disepakati oleh RSSW dan Pemprop DKI adalah wajar karena:
- Masing-masing pihak independen, tidak ada hubungan istimewa dan tidak ada korupsi. Jadi dengan dasar ini saja jual beli tersebut dianggap wajar.
- Kemudian dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) RSSW menggunakan NJOP Jalan Kyai Tapa. Umumnya jual beli bangunan juga menggunakan dasar NJOP di PBB.
- Tambahan lagi  ada pembandingnya bahwa semula Perusahaan Ciputra sudah ada kesepakatan beli dengan harga Rp 15,55 Juta per meter persegi, saat itu NJOP di Jalan Kyai Tapa 12,155 Juta. Namun transaksi gagal karena ada perubahan peruntukan jual beli. Jadi dukungan sangat kuat sekali bahwa jual beli SW menggunakan dasar harga NJOP di Jalan Kyai Tapa adalah wajar.
Tahun 2016, kehebohan kasus lahan RSSW ini bersamaan dengan menjelang masa Pilkada DKI dibumbui adanya perseteruan antara Gubernur Ahok dan DPRD DKI. Sejumlah anggota DPRD DKI menganggap Ahok telah merugikan Pemprov DKI  terkait jual beli RSSW. Kemudian ini melibatkan pemeriksaan investigatif BPK dan KPK pun turun tangan. KPK tidak menemukan indikasi korupsi. BPK menyatakan adanya kerugian jual beli lahan RSSW. Yang terjadi selanjutnya beberapa auditor BPK terindikasi  korupsi dalam memberikan opini pemeriksaan laporan keuangan kepada beberapa pemerintah daerah atau propinsi.
Transaksi jual beli lahan RS Sumber Waras tidak ada yang rumit. Secara akuntansi, dan transaksi bisnis, jual beli lahan RSSW adalah wajar, tidak ada kerugian.
Ini hanya akibat dari perseteruan antara sebagian anggota DPRD terhadap Ahok dan terkait dengan Pilkada kesemuanya untuk menjatuhkan Ahok. Di samping itu apa yang dinyatakan pendapat BPK salah menyalahi prinsip akuntansi dan bisnis yang lazim. Perlu kita ketahui juga sering terjadi oknum BPK jual beli opini atas audit laporan keuangan (korupsi, mau laporan keuangan baik minta sejumlah uang atau korupsi).
Demikian.
Venus Gani
Didi Adrian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H