Mohon tunggu...
Didi Suprijadi ( Ayah Didi)
Didi Suprijadi ( Ayah Didi) Mohon Tunggu... Guru - Pendidik, pembimbing dan pengajar

Penggiat sosial kemasyarakatan,, pendidik selama 40 tahun . Hoby tentang lingkungan hidup sekaligus penggiat program kampung iklim. Pengurus serikat pekerja guru.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kearifan Lokal Pikukuh di Baduy, Dalam Pelestarian Budaya Bertutur

11 Januari 2025   11:53 Diperbarui: 11 Januari 2025   11:53 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kearifan Lokal Pikukuh di Baduy dan Pelestarian Budaya Bertutur

Pertengan pekan lalu, ayah didi di ajak jalan jalan oleh Sekjen PB PGRI Dudung Abdul Qodir dan Pengurus Provinsi PGRI Lampung Abah Ali,bersilaturahmi ke Ketua LKBH PB PGRI Kiai Waseh di Rangkas Bitung Lebak . Salah satu tujuan silaturahmi adalah ingin mengunjungi masyarakat Baduy di Ciboleger, disamping Abah Ali yang belum pernah melihat suku Baduy juga Sekjen PB PGRI ingin pesta Duren.

Tulisan ini adalah salah satu oleh oleh dari berkunjung ke Masyarakat suku Baduy.

Kearifan lokal dapat diartikan sebagai pengetahuan dan keyakinan bernilai baik dan merupakan keunggulan budaya masyarakat setempat.

Pada masyarakat Baduy terdapat beberapa kearifan lokal, salah satu nya adalah  Pikukuh.
Pikukuh adalah landasan kearifan lokal masyarakat Baduy dalam berinteraksi dengan manusia lingkungan dan alam.

Kepercayaan orang Baduy hidup di sebuah lokasi yang disebut pancer Bumi yang artinya berada di inti Bumi, oleh sebab itu orang Baduy berorentasi untuk menjaga dan melestarikan Bumi. Untuk menjaga dan melestarikan Bumi masyarakat Baduy menggunakan Pikukuh sebagai landasan berpijak nya. Pikukuh sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Baduy yang berlandaskan agama Sunda wiwitan.

Pikukuh atau orang menyebut Pikukuh Karuhun menjadi sebuah kearifan lokal masyarakat Baduy yang mengatur segala hal tentang kehidupan mereka. Pikukuh Karuhun memuat perintah untuk menjaga alam dan menentang adanya perubahan terhadap lahan pertanian.

Pikukuh yang diturunkan dari generasi ke generasi merupakan kearifan lokal masyarakat Baduy hingga sekarang . Pikukuh dapat diartikan sebagai pengatur hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan lingkungan dan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan manusia diantaranya dalam  komunikasi melalui tutur bahasa atau Pitutur.

Pikukuh Karuhun sendiri di masyarakat suku Baduy didapat tidak dalam bentuk tulisan, karena masyarakat suku Baduy tidak mengenal budaya tulis menulis, oleh sebab itu Pikukuh Karuhun di langgengkan melalui budaya tutur turun temurun dari generasi ke generasi.

Salah satu Pikukuh yang penulis nukil dari berbagai sumber.

                     Pikukuh.

buyut nu dititipkeun ka puun (buyut yang dititipkan kepada puun)
nagara satelung puluh telu (negara tiga puluh tiga)
bangsawan sawidak lima (sungai enam puluh lima)
pancer salawe nagara (pusat dua puluh lima Negara)
gugung teu meunang dilebur (gunung tak boleh dihancur)
lebak teu meunang diruksak (lembah tak boleh dirusak)
larangan teu meunang ditempak (larangan tak boleh dilanggar)
buyut teu meunang dirobah (buyut tak boleh diubah)
lojor teu meunang dipotong (panjang tak boleh dipotong)
pondok teu meunang disambung (pendek tak boleh disambung)
nu lain kudu dilainkeun yang bukan harus ditiadakan)
nu ulah kudu diulahken (yang lain harus dipandang lain)
nu enya kudu dienyakeun (yang benar harus dibenarkan)
mipit kudu amit (mengambil harus pamit)
ngala kudu menta (mengambil harus minta)
ngeduk cikur kudu mihatur (mengambil kencur harus memberitahukan yang punya)
nyokel jahe kudu micarek (mencungkil jahe harus memberi tahu)
ngagedag kudu beware (mengguncang pohon supaya buahnya berjatuhan harus memberitahu terlebih dulu)
nyaur kudu diukur (bertutur harus diukur)
nyabda kudu diunggang (berkata harus dipikirkan supaya tidak menyakitkan)
ulah ngomong sageto-geto (jangan bicara sembarangan)
ulah lemek sadaek-daek (jangan bicara seenaknya)
ulah maling papanjingan (jangan mencuri walaupun kekurangan)
ulah jinah papacangan (jangan berjinah dan berpacaran)
kudu ngadek sacekna (harus menetak setepatnya)
nilas saplasna (menebas setebasnya)
akibatna (akibatnya)
matak burung jadi ratu (bisa gagal menjadi pemimpin)
matak edan jadi menak (bisa gila menjadi menak)
matak pupul pengaruh (bisa hilang pengaruh)
matak hambar komara (bisa hilang kewibawaan)
matak teu mahi juritan (bisa kalah berkelahi)
matak teu jaya perang (bisa kalah berperang)
matak eleh jajaten (bisa hilang keberanian)
matak eleh kasakten (bisa hilang kesaktian)

Praktek Pikukuh di Masyarakat.

Kearifan lokal masyarakat Baduy berupa Pikukuh sekalipun sederhana tetapi sarat dengan makna.Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari hubungan manusia dengan manusia dalam bertutur, yang diatur seperti dibawah ini,

Nyaur kudu diukur, ( bertutur harus bisa diukur), nyabda kudu diunggang, (berkata harus dipikirkan terlebih dahulu). Ulah ngomong sageto geto, (jangan bicara sembarangan). Ulah lemek sedaek daek, (jangan bicara seenaknya).

Dari Pikukuh yang tertera tersebut jelas menginginkan bahwa manusia dalam bertutur antara manusia dengan manusia lainnya tidak boleh ngomong sembarang, bila bicara harus terukur dan musti dipikirkan terlebih dahulu.

Bandingkan dengan masyarakat sekarang yang mengaku sudah modern seperti masyarakat saat ini, baik publik pigur, pejabat maupun masyarakat biasa,  banyak mengeluarkan kata kata pembicaraan yang tidak sesuai dengan Pikukuh seperti masyarakat Baduy. Dalam medsos seringkali muncul kata kata sumpah serapah caci maki dan hujatan seperti kata kata keluar yang tidak dipikirkan terlebih dahulu sebelum nya dan tidak dipikirkan akibatnya.

Lalu bagaimana bila masyarakat tidak mengikuti aturan Pikukuh yang sudah diwariskan turun temurun oleh mayoritas Baduy, seperti tertulis dibawah ini,

akibatna (akibatnya)
matak burung jadi ratu (bisa gagal menjadi pemimpin)
matak edan jadi menak (bisa gila menjadi menak)
matak pupul pengaruh (bisa hilang pengaruh)
matak hambar komara (bisa hilang kewibawaan)
matak teu mahi juritan (bisa kalah berkelahi)
matak teu jaya perang (bisa kalah berperang)
matak eleh jajaten (bisa hilang keberanian)
matak eleh kasakten (bisa hilang kesaktian)

Bisa dibayangkan hanya karena kesalahan dalam bertutur maka dapat menanggung akibatnya seperti yang tertulis dalam Pikukuh.

Orang yang sembarang dalam ber kata kata atau bertutur maka akibatnya Bisa gagal jadi pemimpin, Bisa gila jadi Menak, Karena hilang pengaruh, kewibawaan kesaktian akibat kalah berkelahi,kalah berperang.

Pikukuh masyarakat Baduy hingga saat ini masih berlaku dan masih diterapkan pada masyarakat Baduy, tidak ada salahnya jika kita yang mengaku masyarakat modern belajar dengan masyarakat Baduy dalam hal budaya bertutur sesuai dengan Pikukuh.

Bila Pikukuh dalam hal hubungan manusia dengan manusia melalui budaya bertutur dilanggar tentu akan menanggung akibatnya seperti orang yang gagal jadi pemimpin.

Wajar bila mulut mu harimau mu, banyak pemimpin gagal karena tidak dapat menjaga tutur kata yang keluar dari mulutnya. Banyak orang hilang kewibawaan nya akibat bertutur kata yang tidak bertanggung jawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun