Seperti biasa penggiat lingkungan yang tergabung dalam organisasi KTH Rumah Kaum Jayakarta bercengkerama sambil mendiskusikan rencana kegiatan pertemuan besar Minggu depan.
Hadir sore itu, Kodil,Bule Usuf, Bang Ewin dan Kakek tua serta tamu lainnya yang ikut nimbrung di pendopo kebon buruk , RT 10 RW 03 kelurahan Jatinegara kaum.
Sore itu, tiba tiba ada berita duka, selepas masjid mengumandangkan adzan ashar, terdengar suara pengumuman berita duka tentang kematian.
Innalilahi wa innailaihi rojiun begitu, kata awal yang diucapkan oleh si pembawa berita  pengumuman duka cita, telah berpulang si pulan bin pulan, demikian berita duka yang disiarkan lewat siaran yang disampaikan melalui speaker Masjid Jami Assalafiyah RW 03 kelurahan Jatinegara kaum.
Sontak para penggiat lingkungan hidup yang sedang diskusi, kaget mendengar berita itu.
"Siapa lagi yang ninggal" cetus bule, sambil fokus mendengar pengumuman.
"Orang RT 03".jawab Kodil sekenanya, sok tahu.
Sebelum kongkow diskusi itu bubar, Mas Mul yang baru nyampe dari urusan sesuatu di Masjid Jami Assalafiyah yang kebetulan sering bantu bantu sebagai penggali kuburan, mengatakan bahwa: "ini kematian yang ketujuh" ungkapnya.
Terlihat kakek tua yang sedari awal tidak begitu bergairah dengan diskusi sore itu, sedikit bingung, mendengar kalimat " kematian ke tujuh!'.
Tanpa diminta Mas Mul, menceritakan tentang apa yang dimaksud dengan 'Kematian Ketujuh?'.
Menurut cerita Mas Mul yang di maksud Kematian ketujuh itu adalah ada orang meninggal dunia sebanyak 7 orang dalam kurun waktu tertentu secara berurutan.
"Nah ini orang yang meninggal urutan ke tujuh di Minggu ini" begitu Mas Mul menjelaskan.
Pengumuman berita duka yang barusan disampaikan sore Ahad, Â merupakan orang yang meninggal di urutan ke tujuh.
Mas Mul menjelaskan bahwa, kematian pertama Mis X hari Sabtu, dan kematian ketujuh pekan berikutnya Ahad adalah Mr Y.
"Sabtu pekan  lalu ibu X meninggal, Sore ini Ahad ibu Y meninggal " pungkas Mas Mul yang sehari hari bertugas pembantu penggali kubur di pemakaman wakaf Pangeran Jayakarta, mengakhiri pembicaraan dengan kakek tua petang itu.
Menurut kepercayaan kebanyakan penduduk setempat bahwa bila dalam lingkungan nya ada yang meninggal dunia di hari Sabtu atau Selasa,maka akan ada orang lain yang menyusul meninggal dunia berikutnya, berturut turut hingga hitungan ke tujuh.
Jadi bila ada orang yang meninggal dunia di hari Sabtu atau Selasa maka penduduk setempat mempercayainya akan ada penduduk lainnya dalam waktu seminggu sebanyak tujuh orang yang meninggal dunia berikutnya.
Boleh percaya boleh tidak, begitu sebagian penduduk setempat mempercayai tentang kematian seorang yang meninggal di hari Sabtu atau Selasa.
Kematian adalah penghentian permanen dan tidak dapat dikembalikan dari semua fungsi biologis yang menopang makhluk hidup.Kematian otak kadang-kadang digunakan sebagai definisi hukum kematian seseorang. Kematian adalah proses universal yang tak terhindarkan dan pada akhirnya akan terjadi pada semua makhluk hidup
Pada dasarnya kematian adalah takdir seluruh makhluk, manusia ataupun jin, hewan ataupun makhluk-makhluk lain, baik lelaki atau perempuan, tua ataupun muda, baik orang sehat ataupun sakit. Seperti dalam firman Allah Ta'ala (yang artinya), "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Mati,jodoh dan rezeki itu urusan Tuhan, manusia tinggal menjalankan saja.
Begitu juga dengan kematian tidak mengenal batas umur, tempat dan jabatan, kematian sesuatu yang pasti bagi manusia.
Tidak perlu berurutan apalagi hitungan antrian, kematian merupakan kepastian tidak mengenal hari, tempat dan suasana.
Innalilahi wa innailaihi rojiun, berasal dari Nya, Kembali kepada Nya.
(Bersambung).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H