Mohon tunggu...
didin suparja
didin suparja Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - didin

calon perawat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Adaptasi atau Mati

23 Oktober 2020   23:28 Diperbarui: 23 Oktober 2020   23:38 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata-kata tajam judul di atas dikatakan oleh Andy Grove dalam "Only the Paranoid Survive." Lengkapnya, "Titik-titik perubahan strategis menghadirkan janji serta acaman. Dalam perubahan mendasar seperti inilah ungkapan 'adaptasi' atau 'mati' dipahami dalam maksud yang sesungguhnya."

Kata-kata Grove itu memperingatkan kita betapa sadisnya perubahan. Ianya sama sekali tidak memberi ampun bagi siapa saja yang tidak bisa beradaptasi. Kalau tidak bisa beradaptasi, berarti mati. Nampaknya kaku, tanpa pilihan. Tapi, memang begitulah. Tidak ada alternatif. Pilihan hanya dua. Yaitu adaptasi atau mati.

Ungkapan keras itu sekaligus sebagai bentuk 'perhatian' tentang pentingnya kesiapan kita dalam menghadapi segala kemungkinan dalam hidup ini, khususnya perubahan. Pada bidang apa pun kita dituntut untuk siap. Tidak ada alasan, apalagi keluhan. Namun, kesiapan itu tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan keadaanya.

Kata adaptasi atau mati menjadi kunci, jika dikaitkan dengan aktivitas apa pun yang dikerjakan oleh manusia. Tidak saja individu perindividu, namun juga kelompok. Artinya, adaptasi berlaku untuk semuanya. Adaptasi terhadap perubahan tidak hanya untuk kelompok bisnis, tetapi bisa juga terhadap lembaga pendidikan.

Betapa tidak, sekarang kita bisa ambil contoh. Misalnya, adaptasi atau mati dikontekstualisasikan terhadap pergaulan orang perorang. Dulu, ketika awal booming media Whatsapp, ada seorang teman yang berseloroh, "Orang di tempat kerja sudah bertemu kok masih menggunakan WA." Nadanya, terkesan tidak setuju jika teman-teman menggunakan media sosial. Dan ia pun, seolah alergi dengan media tersebut.

Berselang tidak begitu lama, ternyata WA begitu mendunia. Disertai dengan kemudahan yang ditawarkan, orang menjadi semakin menggila terhadap media satu ini.

Hanya berselang beberapa waktu saja, sudah hampir semua teman dalam satu tempat kerja itu memiliki WA. Segala informasi menjadi mudah untuk disampaikan dan diperbincangkan.

Nampaknya mulai terjadi perubahan tema pembahasan dalam setiap diskusi. Tentu bagi yang tidak memiliki media tersebut mereka tidak bisa mengikuti dan sama sekali tidak mendapatkan informasi.

Nah, dari perubahan yang terjadi, jika ia ingin eksis, tersambung, dan bersatu. Maka, mau tidak mau ia harus beradaptasi dengan perubahan yang ada. Kalau tidak ia akan mati. Tidak berkembang karena minim informasi. Akhirnya, seorang teman tersebut pun memiliki WA, dan juga tidak kalah aktif dengan teman lainnya. Berarti ia tidak ingin mati.

Kemudian, jika adaptasi atau mati dikontekstualisasikan dalam dunia pendidikan zaman now. Tentu adaptasi menjadi amalan wajib yang harus dilakukan. Saat ini penyelenggaraan pendidikan seperti sebuah kompetisi. Saling bersaing dan berebut. Meski tidak terlalu nampak, akan tetapi aktivitasnya cenderung mengarah pada kegiatan itu. Diakui atau tidak, faktanya demikian.

Nah, seiring dengan perubahan zaman dan tren yang sedang berkembang, lembaga pendidikan pun tidak bisa menghindar dari dampaknya. Apa pun kini seolah tidak bisa lepas dari perkembangan teknologi.

Akhirnya, pendidikan pun juga tidak luput dari sentuhan teknologi. Dari yang dulu, pendidikan bersifat konvensional sekarang menjadi pendidikan berbasis teknologi. Termasuk di dalamnya adalah guru.

Semua perubahan yang terjadi di dalam pendidikan, maka gurulah yang akan ketimban sampur (menjadi seksi sibuk). Misalnya, jika sekolah berubah menjadi berbasis teknologi, maka guru harus belajar menguasai teknologi. Upaya tersebut merupakan tindakan adaptasi, karena jika tidak, maka akan mati.

Matinya lembaga adalah apabila tidak mengikuti perkembangan yang ada, baik dari SDM, sarana prasarananya, program kerjanya, maupun pelaksanaanya. Namun, sebaliknya apabila mampu beradaptasi, SDMnya sering di-upgrade, sarana prasaranya selalu diperbarui, program kerjanya kontekstual dengan zaman, dan pelaksanaannya pun apik. Tindakan inilah yang disebut adaptasi.

Seperti kata Scott D. Anthony, "Lembaga akan beradaptasi, saat karyawan beradaptasi. Artinya sudah menjadi keharusan bagi setiap dari kita untuk tidak hanya memikirkan bagaimana kita melakukan pekerjaan kita dengan baik hari ini, tetapi juga bagaimana kita dapat mengubah dan mendefinisikan ulang tugas-tugas yang kita kerjakan. Dan kita harus melakukan ini bukan saja pada pekerjaan kita, tetapi juga di rumah tangga kita."

Memang, untuk beradaptasi tentu tidak mudah, tantangannya berat. Misalnya, pola lama yang bersemayam di benak dan mindset kita itu yang kadang turut gandoli, agar kita tidak melakukan penyesuaian. Juga, sikap eksklusif kita yang kadang turut menjadikan pikiran kita susah menerima hal yang baru.

Agar ita bisa beradaptasi dan menghidar dari kematian (ketertinggalan), maka kita seharusnya membangun sikap inklusif (terbuka). Tapi dengan catatan, tidak permisif, alias menerima tanpa saring. Wallahu a'lam!

*) Penulis adalah Aktivis Muda Muhammadiyah tinggal di Kediri, Jatim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun