Akhirnya, pendidikan pun juga tidak luput dari sentuhan teknologi. Dari yang dulu, pendidikan bersifat konvensional sekarang menjadi pendidikan berbasis teknologi. Termasuk di dalamnya adalah guru.
Semua perubahan yang terjadi di dalam pendidikan, maka gurulah yang akan ketimban sampur (menjadi seksi sibuk). Misalnya, jika sekolah berubah menjadi berbasis teknologi, maka guru harus belajar menguasai teknologi. Upaya tersebut merupakan tindakan adaptasi, karena jika tidak, maka akan mati.
Matinya lembaga adalah apabila tidak mengikuti perkembangan yang ada, baik dari SDM, sarana prasarananya, program kerjanya, maupun pelaksanaanya. Namun, sebaliknya apabila mampu beradaptasi, SDMnya sering di-upgrade, sarana prasaranya selalu diperbarui, program kerjanya kontekstual dengan zaman, dan pelaksanaannya pun apik. Tindakan inilah yang disebut adaptasi.
Seperti kata Scott D. Anthony, "Lembaga akan beradaptasi, saat karyawan beradaptasi. Artinya sudah menjadi keharusan bagi setiap dari kita untuk tidak hanya memikirkan bagaimana kita melakukan pekerjaan kita dengan baik hari ini, tetapi juga bagaimana kita dapat mengubah dan mendefinisikan ulang tugas-tugas yang kita kerjakan. Dan kita harus melakukan ini bukan saja pada pekerjaan kita, tetapi juga di rumah tangga kita."
Memang, untuk beradaptasi tentu tidak mudah, tantangannya berat. Misalnya, pola lama yang bersemayam di benak dan mindset kita itu yang kadang turut gandoli, agar kita tidak melakukan penyesuaian. Juga, sikap eksklusif kita yang kadang turut menjadikan pikiran kita susah menerima hal yang baru.
Agar ita bisa beradaptasi dan menghidar dari kematian (ketertinggalan), maka kita seharusnya membangun sikap inklusif (terbuka). Tapi dengan catatan, tidak permisif, alias menerima tanpa saring. Wallahu a'lam!
*) Penulis adalah Aktivis Muda Muhammadiyah tinggal di Kediri, Jatim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H