Mohon tunggu...
didik samen
didik samen Mohon Tunggu... Jurnalis - aquarius

aquarius

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sensualitas dan Sexualitas

4 Agustus 2017   20:54 Diperbarui: 4 Agustus 2017   21:40 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

DI INDONESIA, studi seksualitas berawal kebutuhan pemerintah akan adanya fakta dan data sosial tentang perilaku seks masyarakat. Keberadaan data dan fakta itu diperlukan demi menyukseskan program keluarga berencana yang pada saat itu merupakan program penting pemerintah. Karena sejak awal diarahkan untuk menggali data yang dapat menjangkau perilaku seksual masyarakat dalam skala yang besar, maka kecenderungan yang terlihat pada studi-studi seksualitas ini adalah penggunaan metode kuantitatif yang nyaris mutlak. Ini dapat terindikasi dari kesimpulan dari studi-studi seksualitas tersebut yang selalu dimunculkan dalam bentuk angka-angka, sebagai ukuran dari perilaku seksual masyarakat secara umum. Berbagai studi seksualitas yang terkenal dan sempat menjadi bahan pembicaraan sebagian besar menggunakan kesimpulan dalam bentuk angka ini untuk dilempar sebagai wacana publik. Contoh yang masih terekam dalam benak banyak orang misalnya penelitian yang dilakukan oleh Iip Wijayanto (2002) terhadap para mahasiswi di Yogyakarta, yang menyebutkan bahwa 97% dari mahasiswi yang menjadi responden dalam penelitiannya sudah pernah melakukan hubungan seksual. Implikasi selanjutnya dari studi-studi yang menggunakan pendekatan kuantitatif, saya kira, adalah penekanannya yang besar untuk bisa memunculkan empati dan keprihatinan masyarakat luas tentang perilaku seks. Dengan kata lain, pada kebanyakan kasus, studi seksualitas kuantitatif ini punya tendensi moral yang besar.

Tulisan berikut tidak berupaya untuk memperdebatkan metode mana yang sebaiknya digunakan untuk meneliti persoalan seksualitas. Tulisan ini hanya merupakan contoh yang bisa diajukan tentang penggunaan metode kualitatif dalam meneliti persoalan seksualitas. Konsekuensi dari penggunaan metode kualitatif dalam studi seksualitas adalah kemungkinan jangkauan pembaca yang tidak luas (tidak berskala besar). Dengan demikian, yang harus dicatat sejak awal adalah bahwa studi kualitatif tidak berupaya untuk melakukan generalisasi terhadap persoalan seksualitas dalam masyarakat, melainkan, terutama, untuk mendapatkan deskripsi yang mendetail tentang bagaimana terjadinya praktik-praktik seksualitas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, bagaimana seksualitas dimaknai oleh individu, serta bagaimana keterkaitan antara konstruksi seksual(itas) dengan konstruksi sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Tulisan ini berangkat dari penelitian yang saya lakukan tentang makna seksualitas bagi remaja perempuan, dan bagaimana penyikapan remaja perempuan terhadap konstruksi-konstruksi lain yang juga berlaku dalam kehidupannya.

Studi seksualitas remaja, dalam pandangan saya, menempati posisi yang cukup problematis di Indonesia. Pada satu sisi, studi tentang remaja (anak muda) masih menjadi studi yang dianggap "remeh" dan tidak penting dalam kajian ilmu sosial umumnya, terutama pada periode pertengahan 1970-an sampai pertengahan 1990-an. Pada saat itu, karena ilmu-ilmu cenderung diarahkan untuk mendukung pembangunan nasional, maka studi tentang remaja cenderung tidak dimasukkan sebagai narasi besar (grand narrative). Ini berkaitan erat dengan politik negara yang cenderung meminggirkan remaja dan membuat remaja menjadi sebuah kelompok sosial yang apolitis. Kalaupun dilakukan penelitian tentang remaja, kebanyakan bergerak pada wilayah-wilayah dimana remaja dianggap sebagai "penonton perubahan", atau bahkan "kelompok yang banyak melakukan tindakan-tindakan negatif yang merugikan masyarakat (vandalisme)". Sementara, pada sisi yang lain, studi tentang seksualitas remaja justru menjadi studi yang populer dilakukan oleh peneliti seksualitas, dengan frekuensi yang nyaris sama dengan studi tentang seksualitas perempuan. Akan tetapi, karena dominannya penelitian kuantitatif, maka yang tampak di permukaan hanyalah kecenderungan bahwa tingkat permisivitas remaja terhadap perilaku seksual semakin tinggi. Akhirnya hasil penelitian yang didengar oleh masyarakat tentang perilaku seksualitas remaja hanya berkisar pada persoalan kecenderungan meningkatnya hubungan seksual pra-nikah dan lemahnya kontrol sosial atas perilaku remaja, dan mengabaikan persoalan tentang perubahan sosial-budaya yang memungkinkan terjadinya pergeseran cara pandang remaja itu sendiri atas persoalan seksualitas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian-penelitian seksualitas telah meminggirkan dan mereduksi makna seksualitas bagi remaja.

******

REMAJA perempuan pertama kali bersentuhan langsung dengan persoalan seksualitas pada saat ia mendapatkan menstruasi pertamanya. Studi yang saya lakukan terhadap 6 orang remaja perempuan, dengan rentang usia antara 16 dan 17 tahun , menunjukkan bahwa pemaknaan seorang remaja perempuan tentang seksualitas sangat tergantung pada referensi yang dimilikinya tentang seks, dan bagaimana ia berkomunikasi dengan orang yang menjadi sumber primer baginya untuk mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas. Terbentuknya frame of reference dan pola komunikasi ini dimulai sejak mereka mengalami menstruasi pertama. Nia (17 tahun), salah seorang dari remaja perempuan yang saya temui dalam penelitian saya menyatakan hal sebagai berikut:

"Pertama kali dapat mens, yang kepikiran di benak saya adalah perasaan aneh, karena ada darah yang bisa keluar tanpa saya harus terluka juga karena pada saat itulah saya merasa saya ini benar-benar perempuan. Nah, begitu mens, mama mengajak saya untuk berbicara secara pribadi. Yang paling saya ingat adalah mama mengingatkan ke saya kalau, saya udah harus lebih bisa jaga diri. Harus lebih hati-hati, terutama kalau saya sudah punya teman dekat cowok."

Seperti halnya Nia, Astrid (17 tahun) juga mendapatkan pengetahuan yang cukup mengenai menstruasi ketika ia mengalaminya. Astrid mulai belajar tentang seksualitas dan organ reproduksi bahkan sejak dia duduk di kelas lima SD. Saat itu, ia sudah mulai membaca-baca buku ginekologi milik ibunya. Dari buku itulah Astrid belajar tentang bagaimana pertemuan sperma dan cairan vagina, tentang bagaimana proses kehamilan terjadi, bagaimana lelaki bisa ereksi dan bahkan tentang alat kontrasepsi. Menurut Astrid, ia sudah bisa memahami fungsi-fungsi tubuhnya dengan cukup baik ketika akhirnya dia menyelesaikan buku-buku itu. Pengetahuan yang cukup dari buku-buku membuatnya tidak terlalu panik dan kaget ketika mengalami menstruasi pertama.

Namun, berbeda dengan Astid dan Nia, saya kira, sebagian besar remaja perempuan di Indonesia mengalami pengalaman pertamanya tentang menstruasi tanpa mengerti banyak tentang hal itu. Tak banyak remaja yang seberuntung Nia bisa mendapatkan informasi tentang menstruasi dan seksualitas dari sang ibu, karena pembicaraan pribadi antara ibu dan anak tentang seksualitas masih belum terbiasa terjadi. Ini bisa disimak dari kisah Dian (16 tahun).

"Pertama kali menstruasi saya cuma diajari ibu untuk memasang pembalut dan mengingatkan saya untuk membersihkan celana dalam jika ada noda darah. Ibu mengatakan pada saya bahwa saya tidak boleh sembahyang selama menstruasi, karena waktu itu saya dalam keadaan tidak suci."

Bagi remaja seperti Dian, pengalaman mendapatkan menstruasi pertama lewat begitu saja, seperti pengalaman hidup lain yang tidak istimewa. Pengabaian untuk menjelaskan persoalan menstruasi ini menunjukkan bagaimana remaja perempuan tidak diajari untuk lebih mengenal tubuhnya. Penjelasan yang memberikan tekanan pada persoalan larangan beribadah selama menstruasi seperti yang dilakukan oleh Ibu Dian juga menggambarkan adanya gejala bahwa menstruasi, khususnya, dan seksualitas umumnya, adalah sesuatu yang dianggap "tabu". Karena telanjur melihat seksualitas ini sebagai sesuatu yang tabu, maka remaja perempuan yang tidak mendapatkan penjelasan memadai tentangnya, biasanya akan malu untuk berbicara dan mencari informasi tentang seksualitas. Dan itulah sebabnya, kebanyakan dari mereka tidak memiliki pijakan atau referensi yang cukup yang dapat membantunya ketika ia berhadapan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan seksualitas. Mereka justru merasa gamang ketika harus memaknai fungsi tubuh mereka yang berkaitan dengan seksualitas, dan melihat seks sekadar sebagai sesuatu yang alamiah, tanpa memberikan pemaknaan yang lebih mendalam.

Bagi Dian, misalnya, seks bermakna sebagai:

"Seks adalah hubungan intim yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh suami istri sebagai usaha untuk mendapatkan keturunan. Kalau dilakukan di luar pernikahan, maka yang melakukannya berdosa, karena dilarang agama

Sebaliknya, remaja perempuan yang mendapatkan cukup banyak sumber pengetahuan mengenai seksualitas, biasanya mengerti bahwa ada banyak pilihan yang mereka miliki dalam kaitannya dengan perilaku seksual. Meskipun nasihat yang diberikan oleh Ibu Nia tampak identik dengan larangan dan peringatan untuk "berhati-hari" (yang lebih jauh lagi bisa dilihat sebagai cara lain untuk mengatakan bahwa seks adalah sesuatu yang berbahaya), tetapi dari situ Nia mengerti bahwa ada pergeseran fungsi (organ reproduksi) tubuh yang telah terjadi dalam dirinya. Kemudian, karena dialog yang terjadi dengan ibu dan kakak-kakak perempuannya pada waktu selanjutnya, ditambah lagi karena akses Nia yang besar untuk mendapatkan informasi dari pelbagai macam media, pengetahuan Nia tentang seksualitas ini bisa membantunya memberi makna berbeda tentang seksualitas.

"Bagi saya seks adalah semua hal yang berhubungan dengan nafsu. Jadi belum tentu ada cinta dalam seks, tapi pasti ada nafsu. Orang yang cinta kan bisa nafsu juga? Orang bilang seks itu sakral, tapi itukan jaman dulu. Sekarang seks sering jadi vulgar dan bahkan kadang menjijikkan, misalnya yang ada di situs-situs atau majalah porno. Jadi sakral atau enggaknya seks, tergantung sama orang yang jalanin  PADA saat remaja, cinta selalu dihubungkan dengan aktivitas pacaran. Bagi kebanyakan remaja, pacaran adalah salah satu hal yang sangat menarik perhatian mereka. Mareta McCabe (1984) menjelaskan bahwa pacaran memiliki beberapa fungsi dalam perkembangan hidup remaja. Pacaran bisa dianggap sebagai 'aktivitas yang memberikan kesenangan' dan menyediakan hubungan pertemanan yang akrab dan setia. Pacaran juga menjadi salah satu cara untuk menentukan status (atau tingkat kepopuleran seorang remaja di kalangan teman sepermainan). Ada pula yang menjadikan pacaran sebagai cara untuk mendapatkan pengalaman seksual dan pengalaman atas keintiman. Pacaran juga---pada akhirnya---dapat dilihat sebagai cara untuk memilih teman hidup yang permanen, meskipun kebanyakan remaja yang berpacaran di usia belia belum memikirkan soal pernikahan, sehingga seringkali mencari jodoh bukanlah motivasi utama.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kita mendapati kenyataan bahwa pada umumnya remaja laki-laki dan perempuan melihat aktivitas pacaran ini dengan cara pandang yang berbeda. Menurut McCabe, remaja laki-laki menjalani pacaran dengan orientasi yang cenderung afeksional dan seksual, tetapi dengan kadar pemenuhan kebutuhan afeksi yang lebih sedikit dibandingkan remaja perempuan. Sebaliknya, remaja perempuan justru mengadopsi orientasi seksualnya dengan kepentingan untuk terus mempertahankan hubungannya (Abbott 1983:156).

Hasil studi yang saya lakukan menunjukkan bagaimana remaja perempuan menganggap cinta, pacaran dan seksualitas sebagai alat atau media untuk memenuhi kebutuhan tertentu dalam kehidupan personalnya. Biasanya pada masa-masa pacaran inilah para remaja mulai tertarik untuk mengenal persoalan seksualitas. Kalau pada rentang waktu sebelumnya ketertarikan ini lebih berwujud rasa ingin tahu (penasaran) yang dipuaskan dengan mencari informasi melalui media massa atau obrolan dengan teman sebaya, pada waktu memasuki aktivitas pacaran rasa ketertarikan ini mulai diwujudkan dalam bentuk pencarian kesenangan yang muncul karena persentuhan fisik dengan seseorang dengan siapa ia berbagi perasaan khusus.
Dalam permasalahan seksualitas ini, empat responden menunjukkan sikap terbuka terhadap praktik pre-marital sex. Dian, Astrid dan Dhea adalah tiga orang di antara mereka yang telah memiliki pengalaman seksual, sementara Nia, meskipun belum melakukan hubungan seksual, tetapi merasa tidak keberatan dengan praktik hubungan seksual sebelum menikah. Mereka berpendapat bahwa pada masa sekarang seks bukan lagi hal yang tabu untuk dibicarakan dan menjadi hak personal setiap orang untuk melakukannya. Yang merugikan adalah ketika seseorang melakukan seks karena terpaksa. Meskipun bersikap permisif terhadap praktik hubungan seksual sebelum menikah, tetapi Dian memilih untuk tidak menyatakan pilihan ini kepada siapapun, bahkan kepada sahabat mereka terdekat. Sementara Dhea dan Astrid, bersikap terbuka dengan menyatakan keputusan mereka kepada teman-teman mereka yang terdekat.

Jika asumsi umum yang beredar di kalangan masyarakat luas menyatakan bahwa tingginya tingkat permisivitas remaja terhadap permasalahan seksualitas dapat menjadi bukti bahwa semakin berkurang kesadaran orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya, pengalaman empat responden menunjukkan bahwa mereka semua mendapatkan ajaran agama yang cukup. Ajaran ini tidak datang secara langsung dari orang tuanya, melainkan dari banyak pihak, karena kebanyakan orang tua ini menanamkan pendidikan agama dengan mendatangkan guru mengaji ke rumah, menyuruh anak-anaknya untuk mengikuti aktivitas Taman Pendidikan Al-Qur'an di masjid kampung, atau dengan membiasakan anak-anaknya untuk mengikuti sekolah minggu di gereja. Akan tetapi, konstruksi agama yang mereka geluti ini kemudian bersinggungan dengan sumber-sumber informasi lain yang memasuki kehidupan mereka, bersentuhan pula dengan pola pergaulan dan gaya hidup yang mereka hadapi setiap harinya. Tafsir yang mutlak tentang seksualitas yang biasa mereka dapatkan dalam pendidikan-pendidikan agama berperang melawan banjir informasi tentang seksualitas yang datang dari media massa dengan begitu gencar. Perang dan persinggungan ini sesungguhnya tidak menunjukkan konstruksi mana yang lebih berkuasa---konstruksi dari media massa, konstruksi pola pergaulan yang sudah berubah, atau konstruksi agama---melainkan menunjukkan bahwa persoalan seksualitas bagi remaja tidak disikapi sebagai sesuatu yang bebas nilai. Keputusan yang diambil dalam menyikapi seksualitas, saya kira, pada titik tertentu sudah melewati dialog dan negosiasi antara ketiga konstruksi besar tersebut (tanpa mengabaikan adanya kemungkinan persinggungan dengan konstruksi-konstruksi lain yang belum tersebut disini).
Empat responden tersebut melakukan praktik seks sebelum menikah dengan alasan mereka masing-masing. Astrid, misalnya, menunjukkan alasan yang berkait erat dengan referensi yang dimilikinya yang menyatakan bahwa seks adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan perasaan.

"Saya melakukannya dengan sadar waktu itu. Saya merasa saya sangat menikmati hubungan dan pertemuan-pertemuan saya dengannya, dengan perasaan yang mendalam, walaupun hanya perselingkuhan. Dan saya tidak menyesal ketika melakukannya. Justru seks pada saat itu terasa indah dan menyenangkan karena saya punya alasan personal yang cukup kuat untuk melakukannya."
Sementara, bagi Dhea (17 tahun), hubungan seksual yang dilakukannya dengan sang pacar terasa mempunyai kesan dan keindahan tertentu, karena ia yakin bahwa sang pacar mencintainya, tidak menjadikan Dhea sekadar sebagai objek seksual. Saya kira, ada banyak remaja-remaja lain yang berpandangan seperti Dhea dan Astrid, menganggap bahwa seks adalah representasi dari perasaan cinta. Meskipun demikian, Dhea, Dian dan Nia berpendapat bahwa remaja perempuan sebaiknya tidak perlu terlalu agresif dalam persoalan seksualitas. Menurut mereka, jika tidak pandai menjaga citra diri dalam kaitannya dengan persoalan seks, maka remaja perempuan akan mudah mendapatkan citra buruk dari masyarakat.
Sedangkan Siska (16 tahun), adalah seorang remaja yang datang dari keluarga kelas menengah ke atas, dengan relasi yang cukup hangat dengan keluarganya. Siska masih menganggap bahwa keperawanan adalah salah satu hal yang menjadi parameter atas harga diri seseorang (ia menyebut contoh bahwa laki-laki akan bersikap lebih hormat pada perempuan yang bisa mempertahankan keperawanannya)."Kalau saya sendiri berpendapat bahwa keperawanan itu adalah sesuatu yang mungkin. Karena keperawanan juga akan mempengaruhi bagaimana penilaian laki-laki terhadap diri kita. Saya kira, laki-laki akan lebih hormat pada perempuan yang bisa mempertahankan keperawanannya. Meskipun keluarga saya bukanlah keluarga yang sangat fanatik terhadap ajaran agama (Islam, pen), tetapi saya kira di luar segi agama pun, sesungguhnya seks akan lebih menyenangkan kalau dilakukan dengan orang yang sudah pasti akan bertanggungjawab pada diri kita."

Sikap seperti yang diambil oleh Siska masih banyak pula ditemui di kalangan masyarakat umum. Sikap semacam inilah yang juga direproduksi oleh majalah-majalah remaja ketika mereka berbicara tentang seksualitas. Di Indonesia, sebagaian besar majalah remaja masih menganggap dan menyatakan seksualitas sebagai praktik yang harus dilakukan dalam institusi pernikahan. Majalah Gadis, misalnya, dengan tegas menyatakan dalam artikel-artikelnya bahwa remaja perempuan harus berani menolak ketika pacar mereka sudah mulai memberikan isyarat yang mengarah pada tindakan seks. Dalam hal ini, Gadis mengajukan terminologi "Barat" dan "Timr" sebagai alasan dari sikap semacam itu. Menurut Gadis, bagaimanapun juga remaja perempuan Indonesia masih hidup dalam budaya timur yang mengedepankan seks sebagai sesuatu yang sakral sehingga tidak bisa dilakukan sembarangan dan di luar institusi pernikahan, sementara budaya "seks bebas" adalah sesuatu yang datang dari Barat yang harus dihindari.
Penyikapan yang diambil oleh responden-responden yang cenderung terbuka terhadap persoalan seksualitas ini menunjukkan bahwa, bagi remaja perempuan, seksualitas adalah hal yang berkait erat dengan persoalan perasaan. Jika pada era setelah 1990-an literatur feminis barat banyak menyebut revolusi seksual sebagai titik pembebasan perempuan secara seksual, terutama bagaimana perempuan tidak terbelenggu dalam stereotip-stereotip tertentu yang mengekang hasrat dan fungsi seksualnya, apa yang kita dengar dari para remaja ini justru menunjukkan bahwa mereka masih melihat seks sebagai sesuatu yang dapat mempertahankan keberadaan laki-laki untuk tetap berada di sisi mereka. Dari sini, secara sederhana, seksualitas dapat dilihat sebagai cara yang ditempuh remaja perempuan untuk tetap mendapatkan kenyamanan emosional tertentu yang datang dari relasi yang memungkinkan terjadinya hubungan seksual. Kenyamanan emosional ini bisa berupa perasaan disayangi, dibutuhkan, atau dilindungi Beberapa pernyataan yang muncul dari lima orang remaja perempuan ini tidaklah saya ajukan dalam rangka memberikan gambaran umum yang dapat mewakili perilaku seks remaja perempuan pada umumnya, melainkan untuk mencoba melihat bagaimana remaja perempuan bersinggungan dengan persoalan seksualitas, bagaimana kemudian mereka memberi makna pada seks(ualitas), dan penyikapan invidual apa yang mereka ambil dalam hal seksualitas.

Meskipun berposisi sebagai permasalahan yang dianggap sangat menarik rasa ingin tahu kaum muda (remaja), cinta, pacaran dan seksualitas adalah hal-hal yang tidak bebas nilai. Apa yang terepresentasi dari pengalaman para remaja perempuan di sini menunjukkan bahwa tiap orang memaknai cinta dan seksualitas dengan cara yang berbeda. Ini tentunya sangat tergantung pada ruang-ruang dimana seseorang tersebut hidup. Ruang sosial-budaya-politik inilah yang membentuk lingkup rujukan (frame of reference), juga sesungguhnya medan pengalaman (fields of experience). Idealnya, dalam persoalan seksualitas, ruang apapun yang dihidupi dan menghidupi seorang individu, haruslah membuka kemungkinan dialog antara invidu tersebut dengan perubahan dan pergeseran norma dan nilai sosial yang terjadi di sekitarnya. Pada kebanyakan kasus, sikap menutup diri terhadap kemungkinan dialog dengan perubahan justru memunculkan dampak yang lebih sulit teratasi. Mengunci persoalan seksualitas (remaja) dalam ruang pengap yang tertutup dan melindunginya dari segala perubahan, pada titik ini, saya kira, justru akan membuat remaja tergagap-gagap melihat perubahan dan kemudian mengambil pilihan sikap tanpa ada sesuatu pun yang dapat dijadikan pegangan. Dengan demikian, seksualitas justru menjadi sesuatu yang hanya datang dan pergi, tanpa memberikan makna apa-apa.// didiksamen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun