Mohon tunggu...
didik samen
didik samen Mohon Tunggu... Jurnalis - aquarius

aquarius

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sensualitas dan Sexualitas

4 Agustus 2017   20:54 Diperbarui: 4 Agustus 2017   21:40 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Seks adalah hubungan intim yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh suami istri sebagai usaha untuk mendapatkan keturunan. Kalau dilakukan di luar pernikahan, maka yang melakukannya berdosa, karena dilarang agama

Sebaliknya, remaja perempuan yang mendapatkan cukup banyak sumber pengetahuan mengenai seksualitas, biasanya mengerti bahwa ada banyak pilihan yang mereka miliki dalam kaitannya dengan perilaku seksual. Meskipun nasihat yang diberikan oleh Ibu Nia tampak identik dengan larangan dan peringatan untuk "berhati-hari" (yang lebih jauh lagi bisa dilihat sebagai cara lain untuk mengatakan bahwa seks adalah sesuatu yang berbahaya), tetapi dari situ Nia mengerti bahwa ada pergeseran fungsi (organ reproduksi) tubuh yang telah terjadi dalam dirinya. Kemudian, karena dialog yang terjadi dengan ibu dan kakak-kakak perempuannya pada waktu selanjutnya, ditambah lagi karena akses Nia yang besar untuk mendapatkan informasi dari pelbagai macam media, pengetahuan Nia tentang seksualitas ini bisa membantunya memberi makna berbeda tentang seksualitas.

"Bagi saya seks adalah semua hal yang berhubungan dengan nafsu. Jadi belum tentu ada cinta dalam seks, tapi pasti ada nafsu. Orang yang cinta kan bisa nafsu juga? Orang bilang seks itu sakral, tapi itukan jaman dulu. Sekarang seks sering jadi vulgar dan bahkan kadang menjijikkan, misalnya yang ada di situs-situs atau majalah porno. Jadi sakral atau enggaknya seks, tergantung sama orang yang jalanin  PADA saat remaja, cinta selalu dihubungkan dengan aktivitas pacaran. Bagi kebanyakan remaja, pacaran adalah salah satu hal yang sangat menarik perhatian mereka. Mareta McCabe (1984) menjelaskan bahwa pacaran memiliki beberapa fungsi dalam perkembangan hidup remaja. Pacaran bisa dianggap sebagai 'aktivitas yang memberikan kesenangan' dan menyediakan hubungan pertemanan yang akrab dan setia. Pacaran juga menjadi salah satu cara untuk menentukan status (atau tingkat kepopuleran seorang remaja di kalangan teman sepermainan). Ada pula yang menjadikan pacaran sebagai cara untuk mendapatkan pengalaman seksual dan pengalaman atas keintiman. Pacaran juga---pada akhirnya---dapat dilihat sebagai cara untuk memilih teman hidup yang permanen, meskipun kebanyakan remaja yang berpacaran di usia belia belum memikirkan soal pernikahan, sehingga seringkali mencari jodoh bukanlah motivasi utama.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kita mendapati kenyataan bahwa pada umumnya remaja laki-laki dan perempuan melihat aktivitas pacaran ini dengan cara pandang yang berbeda. Menurut McCabe, remaja laki-laki menjalani pacaran dengan orientasi yang cenderung afeksional dan seksual, tetapi dengan kadar pemenuhan kebutuhan afeksi yang lebih sedikit dibandingkan remaja perempuan. Sebaliknya, remaja perempuan justru mengadopsi orientasi seksualnya dengan kepentingan untuk terus mempertahankan hubungannya (Abbott 1983:156).

Hasil studi yang saya lakukan menunjukkan bagaimana remaja perempuan menganggap cinta, pacaran dan seksualitas sebagai alat atau media untuk memenuhi kebutuhan tertentu dalam kehidupan personalnya. Biasanya pada masa-masa pacaran inilah para remaja mulai tertarik untuk mengenal persoalan seksualitas. Kalau pada rentang waktu sebelumnya ketertarikan ini lebih berwujud rasa ingin tahu (penasaran) yang dipuaskan dengan mencari informasi melalui media massa atau obrolan dengan teman sebaya, pada waktu memasuki aktivitas pacaran rasa ketertarikan ini mulai diwujudkan dalam bentuk pencarian kesenangan yang muncul karena persentuhan fisik dengan seseorang dengan siapa ia berbagi perasaan khusus.
Dalam permasalahan seksualitas ini, empat responden menunjukkan sikap terbuka terhadap praktik pre-marital sex. Dian, Astrid dan Dhea adalah tiga orang di antara mereka yang telah memiliki pengalaman seksual, sementara Nia, meskipun belum melakukan hubungan seksual, tetapi merasa tidak keberatan dengan praktik hubungan seksual sebelum menikah. Mereka berpendapat bahwa pada masa sekarang seks bukan lagi hal yang tabu untuk dibicarakan dan menjadi hak personal setiap orang untuk melakukannya. Yang merugikan adalah ketika seseorang melakukan seks karena terpaksa. Meskipun bersikap permisif terhadap praktik hubungan seksual sebelum menikah, tetapi Dian memilih untuk tidak menyatakan pilihan ini kepada siapapun, bahkan kepada sahabat mereka terdekat. Sementara Dhea dan Astrid, bersikap terbuka dengan menyatakan keputusan mereka kepada teman-teman mereka yang terdekat.

Jika asumsi umum yang beredar di kalangan masyarakat luas menyatakan bahwa tingginya tingkat permisivitas remaja terhadap permasalahan seksualitas dapat menjadi bukti bahwa semakin berkurang kesadaran orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya, pengalaman empat responden menunjukkan bahwa mereka semua mendapatkan ajaran agama yang cukup. Ajaran ini tidak datang secara langsung dari orang tuanya, melainkan dari banyak pihak, karena kebanyakan orang tua ini menanamkan pendidikan agama dengan mendatangkan guru mengaji ke rumah, menyuruh anak-anaknya untuk mengikuti aktivitas Taman Pendidikan Al-Qur'an di masjid kampung, atau dengan membiasakan anak-anaknya untuk mengikuti sekolah minggu di gereja. Akan tetapi, konstruksi agama yang mereka geluti ini kemudian bersinggungan dengan sumber-sumber informasi lain yang memasuki kehidupan mereka, bersentuhan pula dengan pola pergaulan dan gaya hidup yang mereka hadapi setiap harinya. Tafsir yang mutlak tentang seksualitas yang biasa mereka dapatkan dalam pendidikan-pendidikan agama berperang melawan banjir informasi tentang seksualitas yang datang dari media massa dengan begitu gencar. Perang dan persinggungan ini sesungguhnya tidak menunjukkan konstruksi mana yang lebih berkuasa---konstruksi dari media massa, konstruksi pola pergaulan yang sudah berubah, atau konstruksi agama---melainkan menunjukkan bahwa persoalan seksualitas bagi remaja tidak disikapi sebagai sesuatu yang bebas nilai. Keputusan yang diambil dalam menyikapi seksualitas, saya kira, pada titik tertentu sudah melewati dialog dan negosiasi antara ketiga konstruksi besar tersebut (tanpa mengabaikan adanya kemungkinan persinggungan dengan konstruksi-konstruksi lain yang belum tersebut disini).
Empat responden tersebut melakukan praktik seks sebelum menikah dengan alasan mereka masing-masing. Astrid, misalnya, menunjukkan alasan yang berkait erat dengan referensi yang dimilikinya yang menyatakan bahwa seks adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan perasaan.

"Saya melakukannya dengan sadar waktu itu. Saya merasa saya sangat menikmati hubungan dan pertemuan-pertemuan saya dengannya, dengan perasaan yang mendalam, walaupun hanya perselingkuhan. Dan saya tidak menyesal ketika melakukannya. Justru seks pada saat itu terasa indah dan menyenangkan karena saya punya alasan personal yang cukup kuat untuk melakukannya."
Sementara, bagi Dhea (17 tahun), hubungan seksual yang dilakukannya dengan sang pacar terasa mempunyai kesan dan keindahan tertentu, karena ia yakin bahwa sang pacar mencintainya, tidak menjadikan Dhea sekadar sebagai objek seksual. Saya kira, ada banyak remaja-remaja lain yang berpandangan seperti Dhea dan Astrid, menganggap bahwa seks adalah representasi dari perasaan cinta. Meskipun demikian, Dhea, Dian dan Nia berpendapat bahwa remaja perempuan sebaiknya tidak perlu terlalu agresif dalam persoalan seksualitas. Menurut mereka, jika tidak pandai menjaga citra diri dalam kaitannya dengan persoalan seks, maka remaja perempuan akan mudah mendapatkan citra buruk dari masyarakat.
Sedangkan Siska (16 tahun), adalah seorang remaja yang datang dari keluarga kelas menengah ke atas, dengan relasi yang cukup hangat dengan keluarganya. Siska masih menganggap bahwa keperawanan adalah salah satu hal yang menjadi parameter atas harga diri seseorang (ia menyebut contoh bahwa laki-laki akan bersikap lebih hormat pada perempuan yang bisa mempertahankan keperawanannya)."Kalau saya sendiri berpendapat bahwa keperawanan itu adalah sesuatu yang mungkin. Karena keperawanan juga akan mempengaruhi bagaimana penilaian laki-laki terhadap diri kita. Saya kira, laki-laki akan lebih hormat pada perempuan yang bisa mempertahankan keperawanannya. Meskipun keluarga saya bukanlah keluarga yang sangat fanatik terhadap ajaran agama (Islam, pen), tetapi saya kira di luar segi agama pun, sesungguhnya seks akan lebih menyenangkan kalau dilakukan dengan orang yang sudah pasti akan bertanggungjawab pada diri kita."

Sikap seperti yang diambil oleh Siska masih banyak pula ditemui di kalangan masyarakat umum. Sikap semacam inilah yang juga direproduksi oleh majalah-majalah remaja ketika mereka berbicara tentang seksualitas. Di Indonesia, sebagaian besar majalah remaja masih menganggap dan menyatakan seksualitas sebagai praktik yang harus dilakukan dalam institusi pernikahan. Majalah Gadis, misalnya, dengan tegas menyatakan dalam artikel-artikelnya bahwa remaja perempuan harus berani menolak ketika pacar mereka sudah mulai memberikan isyarat yang mengarah pada tindakan seks. Dalam hal ini, Gadis mengajukan terminologi "Barat" dan "Timr" sebagai alasan dari sikap semacam itu. Menurut Gadis, bagaimanapun juga remaja perempuan Indonesia masih hidup dalam budaya timur yang mengedepankan seks sebagai sesuatu yang sakral sehingga tidak bisa dilakukan sembarangan dan di luar institusi pernikahan, sementara budaya "seks bebas" adalah sesuatu yang datang dari Barat yang harus dihindari.
Penyikapan yang diambil oleh responden-responden yang cenderung terbuka terhadap persoalan seksualitas ini menunjukkan bahwa, bagi remaja perempuan, seksualitas adalah hal yang berkait erat dengan persoalan perasaan. Jika pada era setelah 1990-an literatur feminis barat banyak menyebut revolusi seksual sebagai titik pembebasan perempuan secara seksual, terutama bagaimana perempuan tidak terbelenggu dalam stereotip-stereotip tertentu yang mengekang hasrat dan fungsi seksualnya, apa yang kita dengar dari para remaja ini justru menunjukkan bahwa mereka masih melihat seks sebagai sesuatu yang dapat mempertahankan keberadaan laki-laki untuk tetap berada di sisi mereka. Dari sini, secara sederhana, seksualitas dapat dilihat sebagai cara yang ditempuh remaja perempuan untuk tetap mendapatkan kenyamanan emosional tertentu yang datang dari relasi yang memungkinkan terjadinya hubungan seksual. Kenyamanan emosional ini bisa berupa perasaan disayangi, dibutuhkan, atau dilindungi Beberapa pernyataan yang muncul dari lima orang remaja perempuan ini tidaklah saya ajukan dalam rangka memberikan gambaran umum yang dapat mewakili perilaku seks remaja perempuan pada umumnya, melainkan untuk mencoba melihat bagaimana remaja perempuan bersinggungan dengan persoalan seksualitas, bagaimana kemudian mereka memberi makna pada seks(ualitas), dan penyikapan invidual apa yang mereka ambil dalam hal seksualitas.

Meskipun berposisi sebagai permasalahan yang dianggap sangat menarik rasa ingin tahu kaum muda (remaja), cinta, pacaran dan seksualitas adalah hal-hal yang tidak bebas nilai. Apa yang terepresentasi dari pengalaman para remaja perempuan di sini menunjukkan bahwa tiap orang memaknai cinta dan seksualitas dengan cara yang berbeda. Ini tentunya sangat tergantung pada ruang-ruang dimana seseorang tersebut hidup. Ruang sosial-budaya-politik inilah yang membentuk lingkup rujukan (frame of reference), juga sesungguhnya medan pengalaman (fields of experience). Idealnya, dalam persoalan seksualitas, ruang apapun yang dihidupi dan menghidupi seorang individu, haruslah membuka kemungkinan dialog antara invidu tersebut dengan perubahan dan pergeseran norma dan nilai sosial yang terjadi di sekitarnya. Pada kebanyakan kasus, sikap menutup diri terhadap kemungkinan dialog dengan perubahan justru memunculkan dampak yang lebih sulit teratasi. Mengunci persoalan seksualitas (remaja) dalam ruang pengap yang tertutup dan melindunginya dari segala perubahan, pada titik ini, saya kira, justru akan membuat remaja tergagap-gagap melihat perubahan dan kemudian mengambil pilihan sikap tanpa ada sesuatu pun yang dapat dijadikan pegangan. Dengan demikian, seksualitas justru menjadi sesuatu yang hanya datang dan pergi, tanpa memberikan makna apa-apa.// didiksamen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun