DI INDONESIA, studi seksualitas berawal kebutuhan pemerintah akan adanya fakta dan data sosial tentang perilaku seks masyarakat. Keberadaan data dan fakta itu diperlukan demi menyukseskan program keluarga berencana yang pada saat itu merupakan program penting pemerintah. Karena sejak awal diarahkan untuk menggali data yang dapat menjangkau perilaku seksual masyarakat dalam skala yang besar, maka kecenderungan yang terlihat pada studi-studi seksualitas ini adalah penggunaan metode kuantitatif yang nyaris mutlak. Ini dapat terindikasi dari kesimpulan dari studi-studi seksualitas tersebut yang selalu dimunculkan dalam bentuk angka-angka, sebagai ukuran dari perilaku seksual masyarakat secara umum. Berbagai studi seksualitas yang terkenal dan sempat menjadi bahan pembicaraan sebagian besar menggunakan kesimpulan dalam bentuk angka ini untuk dilempar sebagai wacana publik. Contoh yang masih terekam dalam benak banyak orang misalnya penelitian yang dilakukan oleh Iip Wijayanto (2002) terhadap para mahasiswi di Yogyakarta, yang menyebutkan bahwa 97% dari mahasiswi yang menjadi responden dalam penelitiannya sudah pernah melakukan hubungan seksual. Implikasi selanjutnya dari studi-studi yang menggunakan pendekatan kuantitatif, saya kira, adalah penekanannya yang besar untuk bisa memunculkan empati dan keprihatinan masyarakat luas tentang perilaku seks. Dengan kata lain, pada kebanyakan kasus, studi seksualitas kuantitatif ini punya tendensi moral yang besar.
Tulisan berikut tidak berupaya untuk memperdebatkan metode mana yang sebaiknya digunakan untuk meneliti persoalan seksualitas. Tulisan ini hanya merupakan contoh yang bisa diajukan tentang penggunaan metode kualitatif dalam meneliti persoalan seksualitas. Konsekuensi dari penggunaan metode kualitatif dalam studi seksualitas adalah kemungkinan jangkauan pembaca yang tidak luas (tidak berskala besar). Dengan demikian, yang harus dicatat sejak awal adalah bahwa studi kualitatif tidak berupaya untuk melakukan generalisasi terhadap persoalan seksualitas dalam masyarakat, melainkan, terutama, untuk mendapatkan deskripsi yang mendetail tentang bagaimana terjadinya praktik-praktik seksualitas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, bagaimana seksualitas dimaknai oleh individu, serta bagaimana keterkaitan antara konstruksi seksual(itas) dengan konstruksi sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Tulisan ini berangkat dari penelitian yang saya lakukan tentang makna seksualitas bagi remaja perempuan, dan bagaimana penyikapan remaja perempuan terhadap konstruksi-konstruksi lain yang juga berlaku dalam kehidupannya.
Studi seksualitas remaja, dalam pandangan saya, menempati posisi yang cukup problematis di Indonesia. Pada satu sisi, studi tentang remaja (anak muda) masih menjadi studi yang dianggap "remeh" dan tidak penting dalam kajian ilmu sosial umumnya, terutama pada periode pertengahan 1970-an sampai pertengahan 1990-an. Pada saat itu, karena ilmu-ilmu cenderung diarahkan untuk mendukung pembangunan nasional, maka studi tentang remaja cenderung tidak dimasukkan sebagai narasi besar (grand narrative). Ini berkaitan erat dengan politik negara yang cenderung meminggirkan remaja dan membuat remaja menjadi sebuah kelompok sosial yang apolitis. Kalaupun dilakukan penelitian tentang remaja, kebanyakan bergerak pada wilayah-wilayah dimana remaja dianggap sebagai "penonton perubahan", atau bahkan "kelompok yang banyak melakukan tindakan-tindakan negatif yang merugikan masyarakat (vandalisme)". Sementara, pada sisi yang lain, studi tentang seksualitas remaja justru menjadi studi yang populer dilakukan oleh peneliti seksualitas, dengan frekuensi yang nyaris sama dengan studi tentang seksualitas perempuan. Akan tetapi, karena dominannya penelitian kuantitatif, maka yang tampak di permukaan hanyalah kecenderungan bahwa tingkat permisivitas remaja terhadap perilaku seksual semakin tinggi. Akhirnya hasil penelitian yang didengar oleh masyarakat tentang perilaku seksualitas remaja hanya berkisar pada persoalan kecenderungan meningkatnya hubungan seksual pra-nikah dan lemahnya kontrol sosial atas perilaku remaja, dan mengabaikan persoalan tentang perubahan sosial-budaya yang memungkinkan terjadinya pergeseran cara pandang remaja itu sendiri atas persoalan seksualitas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian-penelitian seksualitas telah meminggirkan dan mereduksi makna seksualitas bagi remaja.
******
REMAJA perempuan pertama kali bersentuhan langsung dengan persoalan seksualitas pada saat ia mendapatkan menstruasi pertamanya. Studi yang saya lakukan terhadap 6 orang remaja perempuan, dengan rentang usia antara 16 dan 17 tahun , menunjukkan bahwa pemaknaan seorang remaja perempuan tentang seksualitas sangat tergantung pada referensi yang dimilikinya tentang seks, dan bagaimana ia berkomunikasi dengan orang yang menjadi sumber primer baginya untuk mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas. Terbentuknya frame of reference dan pola komunikasi ini dimulai sejak mereka mengalami menstruasi pertama. Nia (17 tahun), salah seorang dari remaja perempuan yang saya temui dalam penelitian saya menyatakan hal sebagai berikut:
"Pertama kali dapat mens, yang kepikiran di benak saya adalah perasaan aneh, karena ada darah yang bisa keluar tanpa saya harus terluka juga karena pada saat itulah saya merasa saya ini benar-benar perempuan. Nah, begitu mens, mama mengajak saya untuk berbicara secara pribadi. Yang paling saya ingat adalah mama mengingatkan ke saya kalau, saya udah harus lebih bisa jaga diri. Harus lebih hati-hati, terutama kalau saya sudah punya teman dekat cowok."
Seperti halnya Nia, Astrid (17 tahun) juga mendapatkan pengetahuan yang cukup mengenai menstruasi ketika ia mengalaminya. Astrid mulai belajar tentang seksualitas dan organ reproduksi bahkan sejak dia duduk di kelas lima SD. Saat itu, ia sudah mulai membaca-baca buku ginekologi milik ibunya. Dari buku itulah Astrid belajar tentang bagaimana pertemuan sperma dan cairan vagina, tentang bagaimana proses kehamilan terjadi, bagaimana lelaki bisa ereksi dan bahkan tentang alat kontrasepsi. Menurut Astrid, ia sudah bisa memahami fungsi-fungsi tubuhnya dengan cukup baik ketika akhirnya dia menyelesaikan buku-buku itu. Pengetahuan yang cukup dari buku-buku membuatnya tidak terlalu panik dan kaget ketika mengalami menstruasi pertama.
Namun, berbeda dengan Astid dan Nia, saya kira, sebagian besar remaja perempuan di Indonesia mengalami pengalaman pertamanya tentang menstruasi tanpa mengerti banyak tentang hal itu. Tak banyak remaja yang seberuntung Nia bisa mendapatkan informasi tentang menstruasi dan seksualitas dari sang ibu, karena pembicaraan pribadi antara ibu dan anak tentang seksualitas masih belum terbiasa terjadi. Ini bisa disimak dari kisah Dian (16 tahun).
"Pertama kali menstruasi saya cuma diajari ibu untuk memasang pembalut dan mengingatkan saya untuk membersihkan celana dalam jika ada noda darah. Ibu mengatakan pada saya bahwa saya tidak boleh sembahyang selama menstruasi, karena waktu itu saya dalam keadaan tidak suci."
Bagi remaja seperti Dian, pengalaman mendapatkan menstruasi pertama lewat begitu saja, seperti pengalaman hidup lain yang tidak istimewa. Pengabaian untuk menjelaskan persoalan menstruasi ini menunjukkan bagaimana remaja perempuan tidak diajari untuk lebih mengenal tubuhnya. Penjelasan yang memberikan tekanan pada persoalan larangan beribadah selama menstruasi seperti yang dilakukan oleh Ibu Dian juga menggambarkan adanya gejala bahwa menstruasi, khususnya, dan seksualitas umumnya, adalah sesuatu yang dianggap "tabu". Karena telanjur melihat seksualitas ini sebagai sesuatu yang tabu, maka remaja perempuan yang tidak mendapatkan penjelasan memadai tentangnya, biasanya akan malu untuk berbicara dan mencari informasi tentang seksualitas. Dan itulah sebabnya, kebanyakan dari mereka tidak memiliki pijakan atau referensi yang cukup yang dapat membantunya ketika ia berhadapan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan seksualitas. Mereka justru merasa gamang ketika harus memaknai fungsi tubuh mereka yang berkaitan dengan seksualitas, dan melihat seks sekadar sebagai sesuatu yang alamiah, tanpa memberikan pemaknaan yang lebih mendalam.
Bagi Dian, misalnya, seks bermakna sebagai: