"Terserah kamu, Asih. Ibu hanya ingin kamu bahagia. Ibu tidak ingin anak-anak Ibu hidup menderita."
Aku tersenyum. Kembali merengkuh tangan Ibu di atas meja.
Langit meredup. Semburat jingga di tepi barat, menyiratkan siluet alam yang temaram.
Angin kian beku.
* * *
JAKARTA - Brebes. Sepanjang perjalanan pikiranku terus melayang-layang berkejaran dengan bayang Tirta, dengan bayang-bayang masa lalu dan juga impian-impian yang terus berkelebatan.
Enam belas tahun yang lalu, saat pertama kali kukenal, Tirta adalah seorang remaja dengan ambisi dan vitalitas hidup yang tinggi. Dia begitu idealis. Dia, dan juga Eno, adalah teman SLTA-ku yang kutempuh di Brebes mengikuti dinas Bapak. Meski kami (aku dan Tirta) tak pernah satu kelas, kami berteman baik. Toh kami kerap bertemu. Kami sama-sama aktif di sekolah. Aku aktif di paskibra dan pramuka sedang Tirta aktif di kesenian baik senirupa maupun teater. Dengan Eno sendiri, sejak kelas satu aku dan dia satu kelas. Hanya dia tidak aktif di sekolah---namun dia merupakan anak yang pandai. Sampai kemudian, memasuki tahun ketiga sekolah, Tirta mencurahkan isi hatinya, perasaan cintanya padaku. Entah, aku pun tak kuasa menolak. Dan, kamipun memulai babak-babak kebersamaan baru
Namun aku dan Tirta ternyata memang cenderung bertentangan. Baik dalam sikap, sifat, prinsip. Toh, kami tetap mempertahankan kebersamaan. Karena cinta, bagi kami, adalah satu sarana untuk merengkuhi sesuatu yang sulit ataupun mustahil terengkuhi dengan apapun kecuali cinta.
Dan Eno, dialah yang kerap memberiku semangat kala kelelahan menyergap langkah-langkahku dalam menjajari Tirta.
Sekian tahun aku mencoba menjalin kebersamaan dengan Tirta. Sekian tahun yang panjang dan melelahkan. Hingga aku benar-benar lelah. Letih. Tak berdaya mengimbangi gerak dan langkah Tirta. Dan, akhirnya kuputuskan melepas diri dari Tirta, melepas diri dari kehidupannya, seiring kepergianku ke negeri sakura; mutasi kerja dan juga melanjutkan studi atas beasiswa dari kantor tempatku bekerja, sebuah perusahaan agribisnis internasional. Terakhir, kudengar, Tirta sendiri menetap di Bali---setelah kepergianku itu, namun hanya bertahan setahun dan kemudian pindah ke Yogya namun akhirnya pun kembali ke Brebes. Dan, dua tahun yang lalu, saat aku mengikuti sebuah simposium di Bremen, Jerman, aku dengar dia pameran lukisan di Hamburg, sebuah kota yang tidak begitu jauh dari Bremen. Sayang, jadwalku yang padat dan sempitnya waktu yang tersedia, tidak memungkinkanku untuk bertemu dengannya.
"Mbak, Mbak, bangun, Mbak. Mbak turun di Brebes, kan?" suara lembut penumpang di sebelahku, seorang gadis duapuluhan, disertai guncangan halus tangannya di lenganku, membuyarkan lamunanku.