Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Terpendar

30 April 2024   13:04 Diperbarui: 30 April 2024   13:07 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JAKARTA. Sore. Langit biru. Awan berarak, menebarkan angin dingin, sisa hujan deras barusan.

Di beranda rumah. Aku masih terdiam di samping Ibu. Belum sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku tak berani menjawab. Apalagi membantah. Ibu terlalu bijak untuk kudebat.

"Asih, Ibu tidak bermaksud menekanmu, memaksamu untuk segera menikah. Pun tentang Irwan, kalau kamu merasa tidak cocok, Ibu juga tidak memaksa. Toh, Ibu juga sudah merasakan, betapa perkawinan, betapa rumah tangga yang tanpa dilandasi cinta, begitu berat terbina. Meski tidak mustahil, cinta itu pun dapat hadir seiring kebersamaan yang terus dijaga." Ibu kembali menjeda kata-katanya. Nampak kini pandangannnya beralih, menerawang angkasa. Seperti mengenangkan sesuatu. Sejarah hidupnya.


Ya, Ibu dan almarhum Bapak memang menikah tanpa didasari cinta. Mereka menikah hanya karena orangtua. Orangtua mereka yang saling berteman akrab. Mereka menikah hanya karena keegoisan orangtua yang ingin mempererat hubungan dengan saling menjodohkan anak-anak mereka: Ibu dan Bapak. Entah itu dengan atau tanpa persetujuan Ibu dan Bapak.


Meski akhirnya Ibu dan Bapak pun dapat menegakkan rumah tangga: saling menerima dan mengasihi dan pula kemudian melahirkan kami: aku; Mbak Pipit yang kini ikut suaminya dinas di Yogya; Mas Anto yang sekarang di Lampung bersama istri dan kedua anaknya; juga Wawang, adikku dan juga saudaraku satu-satunya yang masih setia tinggal bersama ibu dan merawatnya, yang juga telah menikah.


"Asih," Ibu kembali menatapku. "Ibu harap kamu mengerti. Ibu hanya mau mengingatkan bahwa usiamu kini telah lebih dari tiga puluh tahun. Wawang pun sudah menikah. Ibu sendiri juga sudah merasa tua. Ibu takut kamu lupa dengan kewajiban itu. Kamu tidak memikirkan perkawinan."


Kutatap wajah Ibu. Kutatap wajah yang mulai berkerut di sana-sini itu. Kutatap mata Ibu. Mata yang selalu menyejukkanku kala kegerahan menyergap hidupku.


Ada pengharapan yang tulus menyemburat dari mata Ibu.


Kuraih tangan Ibu yang menggeletak di atas meja yang membatasi kami.


Aku mencoba tersenyum. Meski begitu getir di bibir.


"Tidak, Bu. Asih tidak lupa. Asih juga tahu kewajiban itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun