"The worst illiterate is the political illiterate, he doesn't hear, doesn't speak, nor participates in the political events. He doesn't know the cost of life, the price of the bean, of the fish, of the flour, of the rent, of the shoes and of the medicine, all depends on political decisions. The political illiterate is so stupid that he is proud and swells his chest saying that he hates politics. The imbecile doesn't know that, from his political ignorance is born the prostitute, the abandoned child, and the worst thieves of all, the bad politician, corrupted and flunky of the national and multinational companies." (Bertolt Brecht)
Menjadi seniman yang terjun ke ranah politik (merujuk kepada politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama[1]), memang ngeri-ngeri sedap. Betapa tidak. Tidak sedikit seniman yang terjun ke ranah politik berakhir dengan intimidasi, kekerasan, bahkan kehilangan nyawa atau hak hidupnya.
Selain mural yang sedang ramai diperbincangkan, sastra dan teater merupakan dua bidang kesenian yang banyak digunakan oleh para seniman untuk berpolitik. Di negeri manapun. Di negeri ini sendiri setidaknya kita mengenal tiga nama: Pram, Rendra, dan Wiji Thukul.
Sebagaimana mural, karya sastra dan pertunjukan teater kerap menjadi momok yang menakutkan bagi penguasa.
Konon, karena itulah, sastra dan teater tidak pernah mendapatkan ruang yang layak di sekolah. Keberadaan sastra tidak lebih semacam anak pungut yang digantungkan hidupnya pada (pelajaran) bahasa. Demikian pula teater yang tak lebih hanya sebagai kegiatan pelengkap ekstrakulikuler yang seringkali tidak mendapatkan nasib yang cukup bagus dibandingkan kegiatan-kegiatan lainnya. Sastra dan teater seperti sengaja dikucilkan dan untuk tidak diakrabi.
Sehingga, ketika mereka, para siswa, lulus sekolah dan beranjak ke jenjang yang lebih tinggi yang mengharuskan mereka untuk memilih jurusan yang lebih spesifik, sastra dan teater pun menjadi jurusan yang tidak favorit, yang tidak banyak dilirik atau menjadi pilihan utama. Cita-cita menjadi sastrawan atau seniman teater, bahkan hampir tidak pernah dibayangkan oleh anak-anak sekolah.
Di masyarakat pun, seniman sastra dan teater masih sering dipandang sebelah mata. Mereka bahkan banyak yang dianggap sebagai pengangguran.
Peringatan
Sastra dan teater, sebagaimana mural, memang merupakan media yang cukup mumpuni untuk menyalurkan kritik dan gagasan-gagasan (politik). Namun alih-alih sebagai perlawanan, sebenarnya kebanyakan apa yang disampaikan para seniman melalui karya-karyanya, lebih sebagai woro-woro untuk mengingatkan apa yang sedang terjadi.
Salah satunya, sebagai contoh, adalah puisi yang berjudul Peringatan yang saya tampilkan pada gambar artikel ini--yang konon disukai juga oleh Presiden Joko Widodo[2].Â