Kalau kita mau mengekplorasi dari Google misalnya, akan banyak kita jumpai artikel yang membahas tentang apa dan bagaimana berpikir di luar kotak itu. Salah satunya, yang saya temukan dan bagi saya cukup menarik, adalah tulisan dari Mike Sturm di Medium.Â
Mike yang seorang penulis dan juga motivator yang mengelola buletin Woolgathering, dengan cukup jelas memaparkan tentang apa itu berpikir di luar kotak dan bagaimana berpikir di luar kotak itu.
Mike menuturkan bahwa berpikir di luar kotak adalah merujuk kepada cara berpikir yang kreatif, merdeka dan di luar jalur. Cara berpikir yang bahkan tidak dapat dilakukan oleh mesin atau robot, setidaknya dengan cukup baik.
Berpikir di luar kotak adalah tentang membuang sebanyak mungkin kendala yang ada.
Mike memberikan tiga arahan bagaimana semestinya berpikir di luar kotak itu.
Pertama, bebaskan arah tujuan pemikiran kita. Jika kita membidik sasaran yang sama dengan yang dibidik semua orang, bidikan kita akan berakhir seperti yang dilakukan orang lain. Jika kita menggarap tanah yang sama dengan yang dimiliki orang lain, menanam benih yang sama dengan yang mereka tanam, dan menggunakan air yang sama dengan yang mereka gunakan, walhasil kita akan mendapatkan kebun yang sama juga.
Saat kita menetapkan sebuah tujuan dalam pemikiran kita, maka saat itu sebenarnya kita sedang membuat batasan. Pikiran kita sekarang mempunyai arah, dan cenderung menuju ke arah itu.
Bagi saya, ini tidak kemudian secara serta merta menganggap apa yang dilakukan orang-orang atau apa yang telah menjadi kebiasaan adalah salah. Ini lebih dimaksudkan untuk memberikan ruang kepada kita untuk mencari cara lain. Menciptakan sebanyak mungkin kemungkinan dan kemudian dengan bebas kita mengambilnya. Kalau toh kemudian kita menggunakan cara yang sama dengan cara yang telah digunakan oleh orang lain, tentu kita tidak lagi akan terbebani.
Cara berpikir ini pula memberikan kebebasan kepada kita untuk mengubah sesegera mungkin arah tujuan kita jika kemudian kita merasa ada yang keliru dengan apa yang kita lakukan.
Misalnya, kita mengetahui, dari kebiasaan yang ada, bahwa sebuah produk baru yang memberikan pengalaman baru, pada suatu komunitas masyarakat, akan selalu disukai oleh mereka. Namun, pada kenyataannya, ternyata produk-produk baru itu pun tidak banyak yang bertahan lama. Dengan segera produk baru tersebut akan ditinggalkan seiring dengan munculnya produk-produk baru sejenis lainnya.
Jika kita mengikuti pola ini, berapa besar efforts yang kita butuhkan untuk selalu menciptakan produk-produk baru--yang tentu akan selalu dengan cepat tidak laku?