"BAIKNYA kita akhiri saja perkawinan kita," Suta tiba-tiba saja menghentikan makan paginya. Dibiarkannya makanan tersisa banyak di piringnya. Ia tatap wanita di hadapannya, istrinya, yang hanya dapat mengerutkan kening seraya menghentikan pula kunyahan di mulutnya.
"Ya, aku rasa, kita sebaiknya mengakhiri perkawinan kita," Suta mengulang ucapannya, menegaskan pernyatannya.
"Tapi kenapa kita harus mengakhiri perkawinan kita? Toh selama ini kita baik-baik saja, bukan? Aku mencintaimu dan sebaliknya, kau mencintaiku juga. Iya, kan?" sang istri masih menatap Suta.
Suta menghela nafasnya. Dalam. Menahannya beberapa saat, lalu menghembuskannya kembali dengan berat. Sejenak ia alihkan pandangan ke rimbunan bunga-bunga yang nampak dari jendela samping rumah.
"Kau mencintaiku juga, kan?" sang istri mengulang ucapannya. Masih menatap Suta.
"Atau, karena aku tak bisa memberimu keturunan? Karena aku ...?"
"Bukan. Bukan itu!" Suta mengalihkan kembali pandangannya, menatap kembali istrinya dengan kuat. "Aku tak pernah menganggap ketidakhadiran anak dalam perkawinan kita sebagai kekurangan darimu. Justeru aku yang merasa sangat berdosa padamu."
"Berdosa padaku?" sang istri kian tak mengerti.
Sejenak, sekali lagi, Suta kembali menghela nafasnya. Dalam. Dan berat.
"Ya, karena terus terang, aku tak pernah bisa mencintaimu!