Sang istri menangis. Namun bukan karena kehilangan cintanya. Bukan karena ternyata keliru mengartikan sikap-sikap lelakinya itu selama ini.
Ia menangis, karena kini ia baru tahu ada kepedihan yang begitu sangat, mengganjal di hati Suta. Beban, yang bertahun-tahun menghimpit perasaannya, memasung cintanya. Dan ia tak pernah dapat merasakannya. Seperti lilin, ia merasa tak pernah bisa memberikan cahaya pada cintanya itu.
"Dan wanita itu?" sang istri masih menatap Suta, menatap suaminya, dan membiarkan matanya tetap basah.
"Ibu tak pernah merestui hubungan kami.
"Bertahun-tahun aku mencoba meyakinkan Ibu bahwa ia tidaklah seperti bapaknya; lelaki yang pernah menyakiti Ibu, yang pernah menjadi kekasih Ibu namun kemudian meninggalkannya dan menikah dengan wanita lain."
"Dan kau menyerah?"
"Aku tak pernah ingin menyakiti Ibu. Apalagi setelah meninggalnya Bapak saat aku masih balita, Ibulah yang memikul segala beban hidupku.
"Ibu begitu menyayangiku. Selalu memenuhi apa yang kuinginkan. Apapun yang kuminta selalu diturutinya.
"Kecuali wanita itu. Laras."
"Dan sekarang, karena Ibu telah tiada ..." sang istri sengaja menggantungkan ucapannya. Ia masih saja melekatkan pandangannya, menatap lelakinya itu.
"Lima bulan yang lalu, Laras pergi untuk selama-lamanya, karena kanker. Dan ia tak pernah menikah."