Suatu hari, dalam rangka mencari rumput untuk makan si Gambir, Laksito menemukan potongan kulit ari yang biasa ditinggalkan oleh seekor ular setelah proses ganti kulit. Tertarik dengan model kulit tersebut yang berwarna poleng (belang), Laksito kemudian mengantongi kulit tersebut dan lalu membawanya pulang.
Sepanjang perjalanan, Laksito mengalami keheranan. Ia yang memang grapyak (ramah), senantiasa tersenyum kepada siapa saja yang ditemuinya berpapasan. Mereka pun senantiasa akan membalas senyuman Laksito. Namun, tidak kali ini. Laksito bahkan merasakan jika semua orang yang dijumpainya, seperti tidak melihat dirinya.
Puncaknya hingga ia sampai ke Pendopo. Semua orang yang dijumpainya di Pendopo pun seperti tidak dapat melihat kehadirannya. Mereka hanya dapat mendengar suara Laksito. Hingga Pendopo pun menjadi geger. Laksito telah berubah menjadi suara tanpa wujud. Hal tersebut akhirnya sampai ke Kanjeng Kyai Brebes. Kanjeng Kyai Brebes pun kemudian menemui Laksito, meski ia sendiri tidak dapat melihat Laksito.
Kanjeng Kyai Brebes kemudian meminta Laksito menceritakan gerangan apa yang telah dialaminya. Setelah Laksito menceritakan semuanya, Kanjeng Kyai Brebes pun meminta Laksito untuk mengeluarkan kulit ari ular tersebut dari kantongnya dan diletakkannya di atas meja.
setelah menuruti ucapan Kanjeng Kyai Brebes, wujud Laksito pun kembali nampak.
Kanjeng Kyai Brebes akhirnya menyadari bahwa kulit ari ular tersebut memang memiliki tuah, yang jika dimilikinya akan menambah kesaktian dirinya.
Kanjeng Kyai Brebes pun meminta dan membujuk Laksito untuk memberikan saja kulit ari ular tersebut kepadanya, karena menurut Kanjeng Kyai Brebes, kulit ari ular tersebut tidak ada manfaatnya bagi Laksito dan justeru mungkin bermanfaat bagi dirinya.
Laksito, yang memang sejatinya adalah orang sakti pula, menyadari jika sebenarnya kulit ari tersebut memang dijodohkan dengan dirinya. Ia pun menolak permintaan Kanjeng Kyai Brebes.
Keduanya pun bersitegang memperebutkan kulit ari tersebut.
Hingga, karena kalap demi mempertahankan kulit ari tersebut, Laksito memasukkannya ke dalam mulut dan menelannya semua. Â Laksito spontan merasakan panas di sekujur tubuhnya. Ia kemudian masuk ke dalam sumur yang berada di bagian belakang Pendopo, bermaksud mengademkan diri. Namun, apa lacur, setelah itu tubuh Laksito pun kembali menghilang. Dan kulit ari yang telah ditelannya, tidak dapat dikeluarkan kembali.
Kanjeng Kyai Brebes pun menyadari kekeliruannya dan begitu merasa menyesal. Ia akhirnya meminta Laksito untuk tetap mengabdi, namun untuk tugas yang lebih mulia lagi, yaitu mengayomi masyarakat Brebes. Laksito pun menerima titah tersebut. Dan hingga kini, Laksito yang kemudian dijuluki Jaka Poleng, masih dipercaya oleh sebagian masyarakat Brebes masih hidup dan terkadang menampakkan diri dalam wujud seorang pemuda. Bahkan tempat tinggal Jaka Poleng yaitu sebuah kamar yang berada di dalam Pendopo Kabupaten Brebes, sampai sekarang masih setia dirawat layaknya kamar tersebut memang berpenghuni.