Bagi masyarakat Brebes dan sekitarnya, Jaka Poleng adalah sosok yang tentu tidak asing lagi. Banyak masyarakat yang meyakini bahwa Jaka Poleng, pemuda abdi dalem pengasuh kuda salah satu bupati Brebes yang kemudian hilang wujud setelah menelan kulit ari ular yang ditemukannya saat sedang mengarit rumput, hingga hari ini masih hidup sebagai pengemong (pengayom) masyarakat Brebes. Padahal kejadian tersebut sudah lewat berabad-abad silam.
Ada beberapa versi cerita berkenaan dengan sosok Jaka Poleng tersebut. Versi pertama berkaitan dengan legenda Ciung Wanara, di mana kulit ari yang ditelan oleh pemuda tersebut adalah kulit ari dari Nagawiru, sosok jelmaan Ki Ajar Sukaresi alias Prabu Permana yang tidak lain adalah ayahanda dari Ciung Wanara.
Namun, jika dikaitkan dengan masa hidup Prabu Permana yang memerintah Galuh sekitar abad ke-14, dengan Kabupaten Brebes sendiri yang baru terbentuk pada abad ke-17, rasanya kurang nyambung.
Meski bisa saja demikian, di mana dari beberapa dugaan, pemerintahan Brebes sendiri telah ada jauh sebelum abad ke-17, salah satunya dengan ditemukannya situs kuno peninggalan kerajaan. Namun, beberapa tempat dan peninggalan yang berkaitan dengan Jaka Poleng memang lebih mengarah ke pemerintahan Kabupaten Brebes yang terbentuk pada abad ke-17 tersebut.
Versi lain, seperti yang diceritakan oleh juru kunci Pendopo Kabupaten Brebes, dan sebagaimana juga yang sering penulis dapatkan dari cerita yang berkembang di masyarakat, pemuda tersebut merupakan abdi dalem dari Kanjeng Adipati Ariya Singasari Panatayuda I, bupati Brebes ke-5 yang menjabat pada tahun 1809-1836. Dan versi inilah yang akan penulis ceritakan.
Laksito
Diceritakan bahwa Kanjeng Adipati Ariya Singasari Panatayuda I yang dikenal juga dengan sebutan Kanjeng Kyai Brebes, mempunyai seorang abdi dalem bernama Laksito (ada juga yang menyebutnya Ki Reja). Laksito atau Ki Reja ini bertugas untuk merawat kuda Kanjeng Kyai Brebes, termasuk memandikan dan memberinya makan.
Konon, Laksito sebenarnya adalah seorang pemuda sakti. Ia berasal dari Karawang, Jawa Barat, sama halnya seperti Kanjeng Kyai Brebes yang merupakan anak dari Patih Karawang, R. Singanagara. R. Singa Negara menikah dengan Nyai Raden Amsiah anak perempuan Bupati Karawang yang bernama Raden Adipati Aria Panatayuda.
Laksito kemudian mengembara hingga sampai ke Brebes, menyeberangi sungai Pemali. Semenjak menyeberangi sungai Pemali itulah, kesaktian Laksito menghilang. Laksito kemudian berubah menjadi pemuda biasa.
Suatu hari, Kanjeng Kyai Brebes mengadakan pengumuman bahwa dirinya membutuhkan seorang abdi dalem untuk merawat dan mengasuh kuda pribadinya, Kyai Genta atau yang dijuluki pula dengan si Gambir. Dalam tradisi Jawa, sebutan kyai memang dilekatkan tidak hanya kepada orang yang dituakan atau dihormati namun juga kepada lainnya, termasuk benda-benda (seperti kereta kencana, gamelan) ataupun hewan-hewan milik raja-raja.
Laksito akhirnya mengajukan diri kepada Kanjeng Kyai Brebes dan kemudian diterima sebagai pengasuh si Gambir. Karena kinerjanya yang bagus, Laksito kemudian menjadi abdi kinasih (pembantu kesayangan) dari Kanjeng Kyai Brebes.