Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Hanya Menunda Kekalahan

11 Mei 2020   06:25 Diperbarui: 11 Mei 2020   06:43 1897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tari "Nalangsa" oleh ISBI Bandung | sumber: steemit.com

Ada dua puisi setidaknya yang selalu singgah di benak saya, ketika merenungi hidup ini. Terutama di masa-masa sulit seperti sekarang ini, di mana pandemi Covid-19 mengepung segala ruang. Kedua puisi ini berjalinan, berkelindan di benak saya. 

Pertama, sebuah puisi Chairil Anwar yang salah satu lariknya saya jadikan judul di atas, Derai-Derai Cemara, dan kedua, puisi Goenawan Mohammad, Asmaradana.

Berikut secara lengkap kedua puisi tersebut.

Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar pertimbangan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah

(Derai-Derai Cemara, Chairil Anwar)

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.

(Asmaradana, Goenawan Mohammad)

Membaca puisi Chairil Anwar, memang tidak lengkap tanpa menyimak kehidupannya. Ia yang kerap dijuluki binatang jalang, barangkali merupakan seorang yang rapuh sebenarnya. Toh, bara semangatnya mampu menutupi kerapuhannya itu. 

Meski, pada akhirnya, beberapa puisinya pun mencoba menyuarakan diri. Seperti puisi di atas, atau puisi lainnya misalnya Senja di Pelabuhan Kecil, dan puisi yang sangat fenomenal, Aku.

Sebagai manusia, Chairil memang berhak tidak berdaya. Boleh kalah. Bahkan boleh menyerah. Karenanya, membaca sajak-sajak Chairil Anwar dengan sepenuhnya menganggapnya sebagai manusia biasa, saya seperti menemukan cermin untuk mematut diri. 

Kehidupan memang tak selamanya memberikan apa yang kita inginkan. Ada saatnya bahkan, jangankan menawar, berharap pun seperti jauh panggang dari api.

Hidup Bukanlah Soal Kalah atau Menang

Tentang puisi yang kedua, Asmaradana, seperti yang pernah saya tuliskan di blog pribadi saya [1], puisi ini berkisah tentang sebuah dilema yang dialami oleh seorang Damarwulan saat hendak pergi menghadapi Minakjinggo, melaksanakan titah junjungannya, Ratu Kencanawungu. 

Dilema yang sebenarnya akan berujung sama, kehilangan kekasihnya, Anjasmara. Toh, Damarwulan pada akhirnya tetap pergi ke medan laga.

Jika pada (puisi) Chairil Anwar saya menemukan bahwa hidup memang berisi juga dengan hal-hal yang tidak diharapkan, demikian juga pada puisi Asmaradana. Namun, pada Asmaradana, pada akhirnya saya menyadari pula bahwa hidup sebenarnya bukanlah soal kalah atau menang. 

Hidup adalah kodrat yang mesti kita jalani, apapun hasilnya: kalah atau menang. Kalah atau menang bukan soal, yang menjadi soal adalah bagaimana kita menjalani dan menghadapi hidup ini.

Seperti Damarwulan yang mesti pergi ke medan laga. Dan ia tahu, itu artinya akhir hubungannya dengan Anjasmara. Karena, kalah atau menang, ia akan tetap kehilangan Anjasmara. Kalah tanding dengan Minakjinggo, berarti adalah kematian. Memenangkan pertandingan, berarti ia akan menikah dengan Sang Ratu.

Demikian Damarwulan, demikian pula kehidupan kita. Pada akhirnya kita harus mengikuti alur yang telah digariskan oleh-Nya. Tak ada kalah dan memang dalam kehidupan kita. Kalah dan menang hanya cara pandang dan keberanian kita memaknainya. Seperti Damarwulan. Seperti Anjasmara.  Seperti juga Chairil Anwar.

Baca juga artikel KBC-43 menarik lainnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun