Ada dua puisi setidaknya yang selalu singgah di benak saya, ketika merenungi hidup ini. Terutama di masa-masa sulit seperti sekarang ini, di mana pandemi Covid-19 mengepung segala ruang. Kedua puisi ini berjalinan, berkelindan di benak saya.Â
Pertama, sebuah puisi Chairil Anwar yang salah satu lariknya saya jadikan judul di atas, Derai-Derai Cemara, dan kedua, puisi Goenawan Mohammad, Asmaradana.
Berikut secara lengkap kedua puisi tersebut.
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar pertimbangan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
(Derai-Derai Cemara, Chairil Anwar)
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.