Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.
(Asmaradana, Goenawan Mohammad)
Membaca puisi Chairil Anwar, memang tidak lengkap tanpa menyimak kehidupannya. Ia yang kerap dijuluki binatang jalang, barangkali merupakan seorang yang rapuh sebenarnya. Toh, bara semangatnya mampu menutupi kerapuhannya itu.Â
Meski, pada akhirnya, beberapa puisinya pun mencoba menyuarakan diri. Seperti puisi di atas, atau puisi lainnya misalnya Senja di Pelabuhan Kecil, dan puisi yang sangat fenomenal, Aku.
Sebagai manusia, Chairil memang berhak tidak berdaya. Boleh kalah. Bahkan boleh menyerah. Karenanya, membaca sajak-sajak Chairil Anwar dengan sepenuhnya menganggapnya sebagai manusia biasa, saya seperti menemukan cermin untuk mematut diri.Â
Kehidupan memang tak selamanya memberikan apa yang kita inginkan. Ada saatnya bahkan, jangankan menawar, berharap pun seperti jauh panggang dari api.
Hidup Bukanlah Soal Kalah atau Menang
Tentang puisi yang kedua, Asmaradana, seperti yang pernah saya tuliskan di blog pribadi saya [1], puisi ini berkisah tentang sebuah dilema yang dialami oleh seorang Damarwulan saat hendak pergi menghadapi Minakjinggo, melaksanakan titah junjungannya, Ratu Kencanawungu.Â
Dilema yang sebenarnya akan berujung sama, kehilangan kekasihnya, Anjasmara. Toh, Damarwulan pada akhirnya tetap pergi ke medan laga.
Jika pada (puisi) Chairil Anwar saya menemukan bahwa hidup memang berisi juga dengan hal-hal yang tidak diharapkan, demikian juga pada puisi Asmaradana. Namun, pada Asmaradana, pada akhirnya saya menyadari pula bahwa hidup sebenarnya bukanlah soal kalah atau menang.Â
Hidup adalah kodrat yang mesti kita jalani, apapun hasilnya: kalah atau menang. Kalah atau menang bukan soal, yang menjadi soal adalah bagaimana kita menjalani dan menghadapi hidup ini.
Seperti Damarwulan yang mesti pergi ke medan laga. Dan ia tahu, itu artinya akhir hubungannya dengan Anjasmara. Karena, kalah atau menang, ia akan tetap kehilangan Anjasmara. Kalah tanding dengan Minakjinggo, berarti adalah kematian. Memenangkan pertandingan, berarti ia akan menikah dengan Sang Ratu.