Mohon tunggu...
Usman Didi Khamdani
Usman Didi Khamdani Mohon Tunggu... Programmer - Menulislah dengan benar. Namun jika tulisan kita adalah hoaks belaka, lebih baik jangan menulis

Kompasianer Brebes | KBC-43

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Topeng Kematian Merah

22 Maret 2020   10:00 Diperbarui: 22 Maret 2020   10:03 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto ilustrasi pada cerita asli | The Mask of the Red Death-Edgar Allan Poe

Cerpen: Edgar Allan Poe

KEMATIAN MERAH telah lama menggerogoti negeri. Tidak ada penyakit sebelumnya yang begitu parah---yang begitu mematikan---atau yang begitu mengerikan nampak. Darah nampak warnanya---kemerahan dan menakutkan. Ada kesakitan yang sangat, dan rasa pusing yang tiba-tiba di dalam kepala. Lalu ada pendarahan di sekujur tubuh, meski tanpa sayatan dan luka---dan lalu, mati! Merah terang menodai tubuh dan terlebih wajah si sakit membuat orang lain menjauhinya, takut untuk menolong. Dan kesakitan berlangsung, dari awal sampai akhir, tidak lebih dari setengah jam.

Tapi Prospero, penguasa negeri, riang dan tegar dan bijak. Saat sebagian penduduk negerinya mati, dia panggil seribu teman yang sehat, dan mengajak mereka pergi jauh untuk tinggal di salah satu istananya. Ini adalah sebuah bangunan batu yang besar dan indah yang dia rancang sendiri. Sebuah tembok yang kokoh, tinggi mengelilinginya.

Tembok ini memiliki gerbang-gerbang besi. Para lelaki, setelah mereka masuk, menyalakan api untuk memanaskan besi gerbang untuk membuatnya menutup rapat hingga tidak ada orang yang dapat membukanya. Di sini mereka dapat melupakan kesakitan itu. Kematian Merah. Mereka tinggalkan dunia luar untuk berlindung darinya. Prospero telah menyediakan apapun yang mereka butuhkan untuk bersenang-senang. Ada musik, ada tarian, ada wanita cantik, ada makanan untuk dimakan dan anggur untuk diminum. Semua ini ada di dalam tembok, di dalam tembok mereka akan aman. Di luar tembok berkeliaran sang Maut Merah. 

Menjelang akhir bulan kelima mereka di sana Prospero meminta teman-temannya seluruhnya berkumpul untuk sebuah pesta tari, sebuah pesta topeng. Semua orang diminta datang mengenakan pakaian bagus dan dengan matanya, atau mungkin seluruh wajahnya, tertutupi topeng kain.

Sebuah pemandangan kekayaan yang berlimpah, pesta topeng itu. Ada tujuh ruangan di mana teman-teman Prospero menari. Di beberapa istana tua pintu-pintu dapat dibuka sedemikian rupa hingga ruangan-ruangan seperti ketujuh ini dapat dilihat semuanya sekaligus. Di istana ini hal itu berbeda. Hanya beberapa yang dapat dilihat bersamaan. Ada pergeseran setiap dua atau tiga puluh yar*. Ke kanan dan ke kiri, di tengah masing-masing tembok, sebuah jendela tirus tinggi. Jendela-jendela itu terbuat dari kaca berwarna, dengan warna sama seperti yang dipakai pada masing-masing ruangan. Ruangan pertama memiliki gorden pada tembok-temboknya---dan biru warna jendela-jendelanya. Ruangan kedua mempunyai gorden dari kain merah lembayung yang dikenal sebagai warna ungu, dan di sini jendela-jendelanya berwarna ungu. Yang ketiga berwarna hijau, dan juga warna kaca jendela-jendelanya. Yang keempat mempunyai gorden-gorden dan jendela-jendela berwarna kuning---yang kelima berwarna putih---yang keenam berwarna lembayung. Tapi ruangan ketujuh memiliki gorden pada tembok-temboknya yang terbuat dari kain yang sangat lembut berwarna hitam, hitam seperti malam, dan lantainya, pun, tertutup dengan karpet yang sama hitam pekatnya. Pada ruangan ini warna jendela-jendelanya tidak sama. Warnanya merah---warna darah kental.

Semua ruangan tersinari dari luar jendela-jendela. Efek sinarnya sungguh sangat kuat, saat menyinari sosok para penari. Tapi sinar yang jatuh pada gorden-gorden hitam melalui kaca berwarna darah paling menakutkan dari semuanya. Menghasilkan begitu liar pandangan pada wajah mereka yang ada di sana di mana hanya sedikit penari yang berani melangkah ke dalam tembok-tembok gelap itu.

Di sini berdiri sebuah lonceng megah dari kayu hitam. Tenang menandai detik-detik yang berlalu; dan saat waktu genap satu jam lonceng berdentang nyaring, bernada tinggi nan indah seperti musik, tapi sangat aneh hingga musik dan tarian berhenti dan para penari terpaku mendengarkan. Dan lalu, setelah enam puluh menit lagi, setelah tiga ribu enam ratus detik lagi, dari edaran waktu, lonceng berdentang kembali, dan para penari berhenti seperti sebelumnya.

Bagaimanapun, itu adalah pesta topeng yang menyenangkan dan indah. Dan kau boleh yakin pakaian yang dikenakan para penari, kostum mereka, aneh dan mengherankan. Para penari nampak seperti bentuk-bentuk bayangan yang kita lihat kacau. Dan ini---bayangan-bayangan itu---menari lembut menyusuri ruangan-ruangan, membiaskan warna ruangan-ruangan saat mereka bergerak. Tidak nampak langkah-langkah mereka mengikuti musik, tapi musiklah yang tercipta dari langkah-langkah mereka. Tapi memasuki ruangan ketujuh para penari tidak meneruskan, sebab sinar merah yang datang melalui jendela-jendela, dan kegelapan dari gorden-gorden tembok, membuat mereka takut---dan dia yang masuk mendengar lebih kuat dentangan lonceng hitam megah itu.

Tapi ruangan-ruangan yang lain penuh sesak, dan di dalamnya berdegup kencang jantung. Dan tarian terus berlangsung hingga akhirnya lonceng mulai berdentang dua belas kali. Kembali musik berhenti. Kembali para penari diam tanpa gerak saat suara dentang pelan berlanjut. Sebelum lonceng berhenti kembali, banyak di antara kerumunan melihat di ruangan pertama, ruangan biru, sesosok bertopeng yang tidak terlihat sebelumnya. Saat mereka saling berbisik tentangnya rasa terkejut melingkupi seluruh penari, kemudian rasa ngeri dan takut yang memuakkan.

Pada sebuah kelompok seperti ini, hanya sosok bertopeng yang sangat asing dapat menyebabkan perasaan seperti itu. Bahkan di antara mereka yang menertawakan hidup dan mati, beberapa hal tidak dapat ditertawakan. Semua orang nampak sekarang benar-benar merasa sosok asing itu tidak seharusnya dibiarkan bergabung dengan berpakaian seperti itu. Dia jangkung dan sangat kurus, dan tertutup dari kepala hingga kaki seperti orang mati yang bersiap-siang ke liang kubur. Topeng yang menutupi wajahnya---atau sungguhkah itu topeng?---topeng yang menutupi wajahnya sangat mirip wajah orang mati yang pada jarak paling dekatpun mata tidak dapat melihat perbedaannya. Dan lagi semua ini mungkin dapat diterima---tapi sosok bertopeng yang tidak seorangpun kenal itu telah membuat dirinya terlihat seperti Kematian Merah itu sendiri! Pakaiannya berlumuran darah. Dan topeng pada wajahnya diliputi bercak-bercak merah yang mengerikan ... atau mungkin itu memang wajahnya!

Saat Prospero menyaksikan keadaan yang mengerikan ini dia awalnya diliputi ketakutan---dan lalu dengan gusar. "Siapa yang berani?" teriaknya. "Tangkap dia! Cekal dia! Buka topengnya. Hingga kita dapat tahu siapa yang mesti kita gantung pada fajar nanti!"

Prospero berdiri di ruang biru saat dia mengucapkan kata-kata ini. Menggelegar sepanjang tujuh ruang, nyaring. Mula-mula, saat dia berkata, banyak penari mulai menyerbu sosok bertopeng asing itu. Tapi mereka berhenti, takut, dan tidak satupun berani menjulurkan tangan menyentuhnya. Sosok asing itu mulai melangkah menuju ruangan kedua. Dia berhenti beberapa langkah dari Prospero, yang berdiri masih, terkejut. Dan saat para penari melangkah mundur dari tengah ruangan, sosok asing itu bergerak tenang, tanpa henti, dengan langkah ringan dan teratur, menyusuri ruang biru menuju ruang ungu---menyusuri ruang ungu menuju ruang hijau---menyusuri ruang hijau menuju ruang kuning---menyusuri ini menuju ruang putih---dan lalu menuju ruang lembayung.

Saat sosok asing itu memasuki ruangan ketujuh, Prospero tiba-tiba dan dengan marah menerjang melalui ruangan keenam. Tidak satupun yang berani mengikutinya. Dia menghunuskan pisau tajam tinggi-tinggi di atas kepalanya, siap menyerang sosok asing itu. Saat dia tinggal tiga atau empat langkah terhadap sosok bertopeng asing itu, sosok asing itu berbalik dan berdiri tenang, menatap tajam ke dalam mata Prospero. Ada jeritan---dan pisau itu terlempar ke lantai, menyusul satu menit kemudian Prospero sendiri jatuh, tewas. Para penari berhamburan ke dalam ruangan hitam. Para laki-laki yang terkuat berusaha menangkap sosok bertopeng itu, yang sosok jangkungnya berdiri di samping lonceng hitam; tapi saat mereka menyentuhnya mereka mendapati di dalam jubah kubur itu tidak ada sosok manusia, tidak ada tubuh---tidak ada apa pun!

Kini mereka tahu itu adalah Kematian Merah itu sendiri yang telah datang malam ini. Satu persatu para penari jatuh, dan masing-masing tewas saat jatuh. Dan api-api padam. Dan lonceng berhenti. Dan kegelapan dan kebusukan dan sang Kematian Merah berkuasa selamanya atas segalanya.    

* 1 yar = 0,91 m

** dialihbahasakan dari The Mask of the Red Death, sebuah cerita dalam booklet antologi cerita Edgar Allan Poe: Storyteller yang diterbitkan oleh radio Voice of America 

Baca cerita-cerita Edgar Allan Poe menarik lainnya:

Juga artikel-artikel KBC-43 menarik lainnya:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun