Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sang Perias Pengantin

27 Oktober 2017   23:17 Diperbarui: 28 Oktober 2017   05:29 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbak Marwati membereskan kotak kosmetik.Bu Sutejo, majikannya, mengatakan darurat. Sebagai anak buah, walaupun anak buah seorang dukun rias pengantin, tentu ia harus menunjukkan sikap siap siaga di saat yang bagaimanapun. Termasuk hari ini, sebenarnya Mbak Marwati, gadis umur dua puluh lima tahunan, baru berencana akan santai di rumah. Namun tidak.

"Kita langsung ke Kedunggalar. Ada order mendadak. Lamaran nanti malam, kita harus berangkat sekarang."

"Injih Bu....." kata Mbak Marwati sambil mengangguk.

"Kamu nggak ada acara kan?"

"Ndak ada Bu."

"Syukurlah, kalau begitu kita berangkat."

"Monggo Ibu, kulo dherekaken..."

Bu Sutejo adalah seorang dukun rias pengantin yang lumayan kondang. Tarifnya juga lumayan. Untuk sekali merias pengantin, sang mempelai umumnya mengeluarkan biaya sekitar 6 -- 8 juta. Ini hanya untuk rias. Di musim-musim hajatan seperti sekarang ini, biasanya perempuan itu bekerjasama dengan pengusaha balandongan / tratag untuk hiasan lingkungan hajatan. Tentu dengan tarif yang berbeda.

Telah sekitar satu tahun Mbah Marwati ikut bersama Bu Sutejo. Dulu-dulu hanya pembantu biasa, namun karena kecepatan dan ketrampilan yang lumayan bagus di mata Bu Sutejo, maka gadis itu direkrut menjadi semacam murid atau asistennya. Jika bukan karena ewuh pakewuh, sebenarnya gadis itu bisa saja membuka usaha sendiri. Namun itu tak dilakukan, sebab Bu Sutejolah yang berjasa terhadap dirinya, tak mungkin ia menjadi pesaing.

Biasanya rias itu untuk pengantin, atau sepasang pengantin. Khusus malam ini di Kedunggalar Bu Sutejo hanya mendapat order merias seorang gadis untuk acara lamaran, bukan pernikahan. Pak Kusaeri, orang tua gadis yang pedagang kelontong di pasar, ingin di acara lamaran itu anaknya tampil jauh lebih cantik dari biasanya. Maksudnya melebibihi kebiasaan acara lamaran. Dalam acara lamaran, memang umumnya gadis yang dilamar berdandan, namun  katagori sederhana. Ini tidak, sang pedagang Kedunggalar ingin tampilan anaknya seperti saat acara pernikahan.

"Saya rasa terlalu mewah Bu ...." kata Mbak Marwati menimpali cerita majikannya.

"Bagi saya yang penting order, memang tidak umum, tapi yang penting order. Lumayan Mar, dapat bayaran dua juta..."

***

Malam itu di Kedunggalar.

Tetamu pengantar lamaran telah telah beberapa saat datang di rumah Pak Kusaeri. Setelah berbasa-basi beberapa saat, wakil keluarga memanggil gadis yang akan dilamar. Begitu dari dalam muncul seorang gadis dengan dandanan pernikahan yang cukup mewah, sang pelamar terhenyak. Demikian pula para pengantar pelamar yang lain.

"Emm.... Maaf Bapak yang terhormat, ini siapa?" tanya Tamtomo, laki-laki yang akan melamar.

"Ini anakku. Siti Sugesti. Bukannya Nak Tamtomo ingin melamar anakku yang ini?" tanya Pak Kusaeri berbalik.

"Iya benar Pak .....tapi ....."

"Tapi apa?"

"Ini bukan pernikahan Pak."

"Yang mau menikah siapa? Kami menanti rombongan Nak Tamtomo juga untuk acara lamaran. Kenapa rupanya?"

"Riasan yang luar biasa mewah."

"Tentu saja luar biasa Nak Tomo. Hari bersejarah harus dirayakan besar-besaran, rencana saya, nanti acara pernikahan berlangsung tujuh hari tujuh malam. Undangan dibagi per hari. Hiburan juga dibagi per hari. Pakaian pengantin tentu sehari dua kali, sebelum lohor, dan sesudah lohor. Tentu pakaian pengantin beda. Sehari murah kok, bayar jasa rias hanya sekitar delapan juta sehari. Aku ingin anakku dan Nak Tamtomo berbahagia."

"Pak....

"Menurut kebiasaan di kampung sini, seluruh biaya perabotan dan tanggapan hiburan ditanggung pihak pengantin laki-laki. Hanya konsumsi yang ditanggung pihak perempuan. Untuk total biaya nanti kita bicarakan lagi."

"Pak...."

"Tapi untuk gambaran bolehlah, rias delapan juta kali tujuh, lima puluh enam juta. Wayang kulit lima belas juta, organ tunggal enam juta, orkes melayu juga enam juta. Kesenian tradisional Ndholalak lima juta. Hiburan mainan yang lain taruhlah sekitar lima sampai sepuluh juta. Jadi, untuk gambaran sementara ... pihak kami untuk makan tujuh hari, tujuh kali tujuh juta, untuk pihak Nak Tamtomo sekitar sembilan puluh delapan juta, bulatkan saja seratus juta.

"Pak....."

"Tergantung lamaran ini mau menentukan Tanggal nikahnya kapan. Kalau dalam bulan ini, maka tujuh puluh lima persen harus dikirim ke kami minggu ini."

"Pak..."

"Tapi jika ada, langsung semuanya juga boleh...."

"Paak... paaaak..... aaaa..... aaaakkkkk......"

Perlahan tubuh Tamtomo lunglai. Pemuda itu pingsan.

***

Selang seminggu Tamtomo main ke rumah Bu Sutejo.
Sejak dua hari lalu kondisi tubuhnya sudah mulai membaik. Hanya secara psikis, pengalaman di Kedunggalar membuatnya trauma.
"Apa memang harus sejelas itu Bu?" tanya Tamtomo ke Bu Sutejo.
"Desa mawa acara, negara mawa tata! Tergantung kebiasaan adat istiadat."
"Tapi rasanya baru kali ini ada orang sekejam ayahnya calon Nyonya Tamtomo."
"Haha! Sampai langsung pingsan ya Mas?"
"Huuuh!"
"Pingsan bahagia! Hahaa!"
"Iya bahagia karena bisa melupakan permintaan seratus juta!"
"Haha!"
"Yaaah... nasib."
Ketika kedua melanjutkan pembicaraan tentang kekejaman calon mertua batal, Mbak Marwati datang membawa dua gelas teh dan satu keler kueh nastar.
"Silakan, Bu, Mas....."
"Iya makasih Mar."
"Saya mau langsung pulang Bu."
"O iya, jangan lupa bungkusan di kresek merah dibawa."
"Injih Bu, sudah saya masukin ke tas ini ..."
Sepeninggal Mbak Marwati, Bu Sutejo dan Tamtomo melanjutkan melirik Bu Sutejo.

"Rasanya dia sudah lama ikut Ibu ya Bu?"

"Ho-oh, lumayan lam. Kenapa?

"Ketoke cahe temuwo!"

"Jangan banyak menghayal."

"Kenapa?"

"Sudah ada yang punya"

"Orang mana?"

"Orang tuanya."
***
Dua minggu berselang.
Tidak biasanya Bu Sutejo bertamu malam-malam. Kali ini perempuan itu ke rumah Mbak Marwati. Termasuk keluarganya kaget. Perempuan itu berpakaian rapi.
"Ibu mau tindakan ke mana?" tanya Mbak Marwati memberanikan diri.
"Pergi kemana? Ya ke sini laah."
"Ke sini? Ada perlu apa ya Bu, tumben malam-malam."
"Begini, ni Pak Narsum, selaku ayahnya Marwati. Mohon maaf jika menganggu ketentraman dan kenyamanan keluarga ini."
"Looohhh.... Kok saya semakin deg-degan to?" kata Mbak Marwati dengan duduk yang tidak nyaman.
"Biasa saja ....mmmm ..... bukan berarti saya nranyak nggak punya unggah-ungguh, tapi ini benar-benar serius."
"Mbok ya langsung ngendika to Bu .... Ada apa to Bu?" tanya Mbak Marwati semakin gelisah.
"Setengah jam lagi dari sekarang ada satu rombongan dari desa lain, maksudnya adalah mau menyatakan lamaran untukmu Ti."
"Apa????"
"Melamarmu."
"Melamar? Melamar betulan Bu?"
"Iya betulan."
"Untuk dinikahi? Saya dilamar mau dinikahi?"
"Iya."
"Saya belum siap Bu."
"Marwati .... pernah nggak Marwati bilang ke ibu tentang jika ada orang yang datang melamar .... maka.... " Bu Sutejo mengingatkan.
"Mmmhhh.... tapi ...... tapi ...."
"Ingat perkataanmu nggak? Janjimu?"
"Iya ingat Bu."
"Apa?"
"Siapapun yang duluan datang melamar saya, akan saya terima, dengan harapan dia adalah jodohku yang terbaik."
"Naaahhhh! Itu, itu yang aku maksud."
Beberapa saat kemudian rumah Mbak Marwati sibuk menyiapkan penyambutan seadanya. Sementara itu hati gadis perias itu gundah gulana. Ia sama sekali tak tahu siapa yang datang melamar. Bu Sutejo hanya memberikan kriteria didasarkan janjinya ketika pada suatu saat ia berkata kepada majikannya itu.
***
Saat yang mendebarkan tiba.
Dari pengkolan gang depan, turun beberapa orang dari kendaraan. Mbak Marwati yang berada di dalam mendengar bahwa sang pelamar sudah datang. Hatinya semakin berdebar tak terkontrol. Ia membayangkan siapa yang bakal menjadi suaminya beberapa detik lagi. Ketika acara dimulai, ia benar-benar tidak mendengar. Ia menutup telinga. Barulah ketika kemudian ia digamit, dibawa ke ruang tamu, barulah ia menurut.
Perlahan ia membuka gordyn penghalang ruang dalam dan ruang tamu.
"Naaah..... inikah gadis yang kamu maksud Nak Tamtomo?" belum juga duduk, ia telah dikomentari oleh wakil keluarga. Gadis itu gemetar. Perlahan ia melirik ke arah pemuda yang duduk dengan pakaian paling rapi.
"Iii... iya benar Pak."
"Nduk Marwati, duduklah...."
Ketika telah duduk, gadis itu tidak lagi melirik, namun keduanya beradu pandang. Demi melihat siapa pemuda pelamar yang dimaksud,mendadak Mbak Marwati berdiri kemudian berlari masuk ke dalam sambil menutup muka. Yang hadir terhenyak kaget. Terlebih Bu Sutejo sebagai orang yang pertama berinisiatif mengadakan acara lamaran.
Perempuan itu melebihi ibu Mbak Marwati sendiri, Bu Sutejo mengejar gadis itu hingga ke kamarnya. Gadis itu duduk di pinggir ranjang. Tangannya menutupi mukanya. Perlahan Bu Sutejo mendekat. Dipegangnya pundak gadis itu perlahan.
"Maafkan Ibu Ti...."
"Nggak apa-apa Ibu.. saya nggak apa-apa."
"Lalu kenapa kamu lari?"
"Aku pernah cemburu kepada gadis Kedunggalar yang aku rias kemarin. Ingin aku mengacak-ngacak dandanannya ..."
"Gadis itu? Yang dilamar Tamtomo?"
"Iya."
"Lalu?"
"Bu ... selama hidup saya, saya nggak pernah berani membayangkan menikah dengan siapapun."
"Oooo..."
"Hanya Mas Tamtomo lah yang berani saya bayangkan menikah dengan saya ......"
"Marwati?"
"Selama ini hanya dia yang saya cintai Bu."
"Ti?"
"Terimakasih Bu Sutejo ...."
"Tiiii... syukurlah. Dari dulu sebenarnya dia suka nanya tentang dirimu, tapi kata Tamtomo, dia nggak punya keberanian." kata Bu Sutejo perlahan. Mbak Marwati menghela nafas dalam.
"Kenapa Bu?"
"Kata Tamtomo .... kamu terlalu cantik buat diaaa....."
Malam itu merupakan malam yang tak terduga bagi sang perias. Dipandanginya guru riasnya. Namun dalam hati bersyukur, semua tampak tertata rapi. Hal-hal yang berkait dengan keyakinan. Mbak Marwati telah mengetuk pintu Sang Maha Pemilik di sepertiga malam, selama berbulan-bulan. ***

                                                                Majalengka, 27 Oktober 2017

Keterangan Bahasa Jawa :

1. Injih Bu   :  Iya Bu
2. Monggo Ibu, kulo dherekaken      :  Mari Bu, saya temani

3. ewuh pakewuh     :  Tidak enak hati

4. desa mawa cara, negara mawa tata     : desa dengan caranya,

     negara dengan  ketatanegaraan arti pepatah tersebut :

     Tiap daerah memiliki adat istiadat yang  berbeda-beda

5. Ketoke cahe temuwo!  :  Kelihatannya anaknya dewasa

    (pikirannya)                                      

6. bukan berarti saya nranyak nggak punya unggah-ungguh

    : bukanberarti saya  seenaknya nggak punya sopan santun

7. Mbok ya langsung ngendika to Bu!   : Langsung bicara to Bu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun