Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Tangisan Santri Terakhir

6 Desember 2016   09:45 Diperbarui: 6 Desember 2016   10:00 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Enggak!”

“Ah kamu ini! Jangan brengkunung to!”

“Ya sudah jadi guru saja!”

“Jangan jadi guru! Nanti kaya Bapak ini, nggak punya apa-apa.”

“Jadi guru enak, seperti Pak Guru. Pagi-pagi memberi makan ayam. Pukul delapan ke sekolah, jalan kaki, sepatu ditinggal di sekolah. Di sekolah bermain dengan anak-anak, membuat kerajinan, menanam tanaman, dongeng ..... cerita-cerita lucu, enak Pak jadi guru.”

Samekto tersenyum getir mendengar penuturan muridnya yang polos. Namun ada rasa kebanggan pula melihat kepolosan murid yang satu ini. Murid yang tak pernah mengerti bagaimana perjuangan dirinya untuk mempertahankan hidup bertugas di daerah yang jarang disentuh oleh kebijakan pemerintah, sekalipun pemerintah daerah.

SMP yang ada hanyalah sebuah SMP filial,dengan murid yang hanya sedikit.  Adi tak tahu jika dirinya adalah guru honorer. Dan memang tak pernah tahu. Di mata murid-murid, Samekto adalah guru. Bahkan mungkin guru terbaik di mata murid-muridnya. Mungkin mereka membandingkan beberapa guru yang tinggalnya di kota jarang datang ke sekolah terpencil itu.

Kadang ia ingat kota Semarang yang pernah disinggahi dalam hidupnya. Betapa banyak sahabatnya dulu di IKIP yang memberinya banyak motivasi, memberi inspirasi, namun sekarang telah putus kontak. Dulu ia kenal dengan banyak tokoh yang energikterutama dalam dunia seni dan kepenulisan, baik yang di IKIP maupun di Semarang umumnya.

Ada Aslam Kusatyo, Murywanto Broto, Joko Sunarto, Untung Surendro, Mahmud “Entong” Hidayat, Ali Ridlo, Ponco Widodo, Timur SS, Barat Pajar, Triyanto,  dan masih banyak lainnya. Betapa ia ingat Aslam Kussatyo, ketua Teater SS IKIP Semarang, teman berbentak-bentakan. Sekarang entah dimana. Selentingan kabar, Aslam membuka sanggar di daerah Kendal dan ia menjadi Begawannya.

Broto sahabatnya juga, selentingan menjadi dosen di Semarang. Mahmud “Entong” Hidayat, boss perpustakaan kos-kosan, di mana? Mungkin kembali ke Kudus. Joko Sunarto, yang ia kenal dengan prinsip “Biar kuliah di IKIP tetapi nggak akan jadi guru”, dulu bahkan pernah KKN bareng di Wonosobo. Menurut kabar, ahli desain batik itu kini menjadi salah satu tim motor desain artistik di koran terbesar Jateng. Lainnya Samekto tak banyak tahu. Ia tak banyak mengakses kabar teman-temannya. Apa boleh buat. Ia tinggal di daerah blanktanpa signal. Lagi pula baginya, untuk apa membuang kuotadengan percuma tak ada keuntungan secara ekonomis. Tak mungkin pula ia berbisnis lewat internet. Sebuah keinginan yang pernah terlintas di benaknya, tetapi langsung hilang ditelan sebuah kesadaran. Sadar diri. Guru di daerah terpencil, yang ada hanya alam dan manusia-manusia polos.

“Pak Guru... kenapa melamun?” tanya Adi mengingatkan dirinya sambil menggoyang-goyangkan pahanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun