“Kau bukan siapa-siapa Mad. Justru aku yang berhutang budi padamu.”
“Kamu jangan ngomong gitu. Kampung ini sejarah kita dari kecil. Sejarah yang baru terjadi antar ayah kita juga sejarah yang tidak akan bisa kita lupakan. Lestarikan peninggalan ayahmu walau sedikit. Siapa tahu suatu saat, kau mau membangun rumah di sini. Lumayan, tanah itu cukup untuk membangun tempat tinggal.”
“Mad....”
“Masih ada aku To. Itupun kalau kau mau menganggap aku adalah saudara. Tempat kita bersua kembali ketika lebaran, juga lebaran nanti, dan nantiii....”
“Maaddd....”
Mata Darto terasa panas. Dipandanginya Ahmad, teman sepermainan sejak kecil. Ada rasa tak percaya atas perkataan Ahmad. Benar, ia kini sebatangkara. Tak ada sanak, tak ada saudara.
Bayangan ayahnya berkelebat. Apakah ini berkat kebaikan ayahnya yang selama ini tak diketahuinya? Laki-laki itu menangis. Ia menyesal telah meninggalkan ayahnya. Sama sekali ia tak berfikir bahwa ayahnya membalasnya dengan buah amal, memberinya jalan bagi orang lain untuk mengakuinya sebagai saudara. ***
Purbalingga, 04 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H