Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Heboh PR Matematika: Guru SD Tidak Salah

23 September 2014   23:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:47 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lama-lama agak bosan juga mengikuti perdebatan tentang benar atau salah PR Habibi. Ada yang mencaci membabi buta, ada yang setengah-setengah, ada yang komen tapi ragu, ada yang menyodorkan alternative penyelesaian, Dari kemarin itu lagi itu lagi. Ada yang mengatakan : menurut perasaan saya ......., ada yang mengatakan : saya pikir bla-bla-bla. dan seterusnya. Bahkan ada yang menyarankan mendikbud turun tangan. Betapa besarnya masalah ini hingga sampai ke menteri segala. Sementara masih banyak masalah besar dalam dunia pendidikan kita sekarang ini.

Matematika di SMA tak seriskan di SD

Saya sebagai orang yang sejak 1992 mendampingi anak-anak belajar matematika di salah satu SMA, merasakan bahwa matematika di SMA tidak seriskan di SD. Memang di beberapa hal ada yang perlu dimaklumi dengan perbedaan “bekal” guru dan “trik, taktik dan strategi” yang pernah anak-anak dapatkan sewaktu di SD. Ada siswa yang sangat lancar menggunakan operasi hitung ada yang ngadat-ngadat seret. Tak ada yang dipersalahkan, Banyak factor yang dapat mempengaruhi cara belajar, hingga buahnya tampak ketika SMA. Materi matematika di SD dan SLTP memang diibaratkan “peralatan” untuk memproses kasus-kasus dalam matematika di SMA, Jika peralatannya lengkap maka pekerjaan di SMA akan ringan, tetapi jika peralatannya kurang lengkap maka pekerjaan di SMA-nya akan tersendat juga.

Matematika di SD memang harus diberikan dengan cara yang sangat hati-hati. Terutama dengan pendekatan belajar yang menyenangkan. Diharapkan tidak sampai terjadi trauma dengan nilai jelek di matematika. Buku-buku matematika di SD harus lengkap, suplai dari pemerintah harus lancar. Setelah kesiapan mental bapak ibu gurunya ada, dukungan kreativitas mencara berbagai bahan belajar harus diprioritaskan.

Pondasi-pondasi matematika harus didasarkan pada sumber rujukan yang banyak. Memang dilematis juga ketika seorang guru SD harus berhadapan dengan anak-anak SD yang “susah diatur untuk tertib”, anak-anak yang manja. Pembinaan terhadap anak-anak ini mungkin lebih ke dalam proses pembentukan watak dan kepribadian, tidak terlalu focus ke pembentukan penguasaan kognitif (apalagi terhadap matematika). Beda dengan anak-anak SMA, KBM mudah diarahkan kondusif (dengan indikatior ketenangan siswa di kelas). Ketika anak-anak SMA sedikit heboh di kelas, maka ada kalanya guru menanyakan : Kalian ingin lulus UN nggak? (Biasanya anak-anak menjadi lebih tenang). Itulah pendekatan guru dengan type pengancam (humor).

Kasus PR Habibi : Guru SD-nya Tidak Salah

Saya punya buku terjemahan terbitan Penerbit Erlangga cetakan kelima tahun 1995. Buku dengan judul KAMUS MATEMATIKA susunan ROY HOLLANDS (Departement of Mathematics Dundee College of Education) . Buku ini penterjemahnya adalah Drs. Naipospos Hutauruk dengan ISBN 24-00-015-0 . Pada halaman 57 saya kutip :
“Kali (times), bagaimana SERINGNYA SUATU PERTAMBAHAN DILAKUKAN. 4 KALI 5 ADALAH 5+5+5+5, YAITU 20″.
Seringnya “4″ , petambahannya “5″. Jadi 5+5+5+5 = 4 x 5
Dengan merujuk materi pada kamus tersebut, maka kasus Erfas akan berbentuk :
4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 , seringnya “6″, pertambahannya “4″, jadi 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4.
Dengan merujuk kamus susunan Roy Hollands tersebut, maka guru SD tersebut tidak salah. Ada rujukannya (walapun mungkin tidak mengkait secara langsung apakah beliau melihat rujukan ini atau tidak) tetapi kadang-kadang ilmu yang telah lazim kita gunakan, kita lupa (bahkan tidak perlu tahu) sumber aslinya itu apa.

Roy Hollands BSc,MA(Ed) dulunya lector kepala dalam bidang matematika pada  Dundee College of Education. Ia adalah penulis dan editor untuk Schools University Project 7-13 (Cambiridge University Press) dan anggota dewan pengurus editor Hey Mathematics (Cafrey ans Smith), demikian penggalan biografi Hollands dalam buku tersebut.

Cari Rujukan untuk Mendebat

Bagi yang kontra dengan guru SD di atas, ada cara yang santun secara ilmiah bisa digunakan untuk mengkomparasikan hal itu. Jika pendebat ini menolak pendapat Hollands, silakan saja. Sebutkan sumbernya, buku apa, siapa penulisnya, terbitan mana. Bukankah tinggal begitu saja? Jika kedua cara  6 x 4  ada rujukan, dan 4 x 6 ada rujukan, maka keduanya boleh kita pakai kok. Keduanya tidak ada yang salah. Apalagi jika orientasi kepada hasil, maka sifat komutatif dalam perkalian bilangan riil akan mengatasi semuanya.

Mungkin kita bisa mengambil analogi yang sedikit ekstrim dalam amalan kehidupan beragama. Ada yang mengatakan bahwa shokat shubuh tidak boleh pakai qunut, ya silakan. Yang meyakini itu , pasti punya dasar atau referensinya. Yang mengatakan harus pakai qunut, juga punya dasar atau referensi. Nyatanya, kedua dasar dipakai masing-masing kelompok. Semuanya bermanfaat, indah-indah saja dalam pengamalan agama secara berdampingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun