Mohon tunggu...
Didik Djunaedi
Didik Djunaedi Mohon Tunggu... Editor - Penulis, Editor dan Penikmat Hiburan

Editor, penulis, dan penikmat hiburan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Bohemian Rhapsody", Freddie Mercury sebagai Superhero Baru

6 November 2018   18:55 Diperbarui: 7 November 2018   07:00 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“We can be. We believe in each other... that's everything. We are going to do great things. It's an experience - love, tragedy, joy... it's something that people will feel belongs to them."

Begitu ucap Freddie Mercury dalam salah satu adegan di film Bohemian Rhapsody. Film ini mengisahkan penggalan perjalanan band legendaris Queen dan sang vokalis flamboyan, Freddie Mercury. Film dibuka dengan konser amal Live Aid yang digagas oleh Bob Geldof pada 13 Juli 1985  di Wembley Stadium dengan Queen jadi salah satu penampil. Lalu kita dibawa ke masa-masa awal terbentuknya band rock asal Inggris yang memiliki banyak sekali hit ini. 

Bermula dari band anak-anak kampus yang manggung di sebuah bar, lalu setelah masuknya Freddie Mercury band lokalan ini berkembang memasuki dunia rekaman dan serangkaian konser. Lagu-lagu mereka yang tercipta dari kejeniusan Freddie dan kawan-kawan yang penuh unsur "main-main"  ternyata dapat diterima penikmat musik saat itu, bahkan hingga sekarang.

Proses penciptaan lagu yang sebagian besar dilatarbelakangi kisah hidup Freddie menjadi benang merah kisah yang diangkat dalam film ini. Lagu Love of My Life misalnya, seperti kita ketahui secara umum adalah lagu yang ditujukan pada seseorang yang dicinta. Kita dengan mudah merelasikan lagu ini ke seseorang yang kita cintai dengan melodi dan lirik yang gamblang.

Kita semua, terutama generasi yang masa remajanya berada pada rentang tahun 80-an hingga 90-an, pasti sudah tahu penggalan-penggalan kisah Queen dan Freddie Mercury. Akan tetapi, ketika menyaksikan film berdurasi dua jam 14 menit ini kita seakan dibawa menyelami lebih dalam perasaan Freddie yang bernama asli Farrokh Bulsara ini.

Kisah cinta segitiga atau malah bisa jadi segi banyak antara Freddie, Mary dan Paul lalu Jim dan mungkin sederet nama yang tidak pernah terungkap memang berpotensi untuk mengaduk emosi penonton. 

Kita akan berspekulasi lagu Love of My Life sebetulnya ditujukan untuk Mary atau Paul. Cinta pertama Freddie pada Mary yang terlihat tulus dan tanpa syarat hingga akhir hayatnya memang layak diganjar lagu melodius yang abadi tersebut.

Sementara itu pilihan Freddie untuk tetap menggengam cinta suci pada Mary dan memisahkan kebutuhan seksual penuh petualangan dengan gaya hidup tak terkendali tidak dapat diterima pemikiran secara umum, termasuk Mary.

Sindrom puncak ketenaran yang sering dialami para superstar dunia seperti Freddie Mercury ini memang sering kita lihat. Ketika kita sudah menggenggam segalanya, terutama kekayaan material dan popularitas, kita seakan dibebaskan untuk memilih cara hidup kita, di sisi lain muncul ketakutan akan kehilangan semua itu. Superstar seperti ini akan membutuhkan pelarian yang membebaskan sejenak beban mereka. 

Meskipun kisah percintaan yang melelehkan hati penonton ini mewarnai film Bo-Rhap, sebetulnya ada beberapa poin lain yang bisa kita petik. Salah satunya adalah kemurnian karya seni yang terbebas dari gaya hidup penciptanya. Meskipun kita tahu penyimpangan seksual yang dilakukan Freddie, jeratan narkoba dan hal-hal lain yang kita anggap "sakit", tetapi lagu-lagu Queen tetap bisa kita terima dengan hati yang lapang.

Kita mencintai lagu-lagu mereka dan bernyanyi bersama sepanjang film. Semua itu karena Freddie Mercury, Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon memiliki kekuatan sebagai sebuah grup band, rasa kekeluargaan, saling percaya dan mampu memunculkan perasaan yang terelasi dengan kita semua penikmatnya.

Tentang film ini sendiri, penggambarannya tidak berlebihan dan para pemain mampu memerankan dalam porsinya dengan baik. Yang layak mendapat acungan jempol lebih tentu saja Rami Malek (Freddie Mercury) dan Lucy Boynton (Mary Austin) yang menafsirkan dengan pas kedua karakter tersebut. Dan satu lagi, yang tidak pernah kita duga, peran Mike Myers sebagai Ray Foster, eksekutif perusahaan rekaman EMI.

Ada adegan kocak saat sang eksekutif ini menolak lagu Bo-Rhap menjadi lagu utama dalam salah satu album Queen karena alasan durasi 6 menit karena pada saat itu radio hanya mau memutar lagu yang berdurasi 3 menitan.

Alasan lain yang disampaikan kurang lebih adalah sebagai berikut:  "Tidak akan pernah ada orang yang headbanging dengan lagu ini di dalam mobil." Sementara kita tahu Mike Myers pernah beradegan headbanging di mobil dengan lagu Bo-Rhap di film Wayne's World. Tentu saja, ini adalah adegan rekaan dengan humor yang cerdas.    

Film keren-berdurasi-panjang-namun-terasa-singkat ini tentu saja tidak terlepas dari tangan dingin sang sutradara (Bryan Singer) dan penulis skenario (Anthony McCarten). Anthony McCarten kita kenal sukses dengan film The Theory of Everything yang mengisahkan ilmuwan Stephen Hawking dan masuk nominasi Oscar. 

Sementara itu sang sutradara Bryan Singer yang sebelumnya kita kenal dengan serial film superheroes X-Men dan Superman Returns  mampu menjadikan Freddie Mercury sebagai sosok superhero baru, lengkap dengan kedigdayaan yang dia miliki dan sisi gelap yang  menyertai. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun