Oleh : Didi Junaedi, M.A.*
“All scientists are the same, until one of them writes a book”
Kali pertama saya membaca ungkapan tersebut, saya bergumam dalam batin: “Yes, absolutely right!” Selanjutnya, saya langsung melihat ke dalam diri sendiri. Apakah selama ini, saya yang berprofesi sebagai dosen termasuk ke dalam bagian ilmuwan (scientist) yang punya kualitas rata-rata alias sama saja dengan yang lainnya, ataukah punya sisi pembeda yang menjadi ‘nilai’ tersendiri di antara sekian banyak rekan seprofesi yang ada?
Ungkapan di atas ternyata benar-benar menohok saya. Karena, ketika itu, belum ada satu pun karya berupa buku yang saya terbitkan. Saya benar-benar tersindir dengan ungkapan tersebut. Selama ini saya merasa jumawa dengan status ‘mentereng’ yang saya sandang, yaitu dosen. Saya merasa menjadi bagian masyarakat akademis, komunitas intelektual yang memiliki status sosial tinggi di masyarakat. Tetapi, ketika mencermati pesan di balik ungkapan tersebut, sikap jumawa saya seketika sirna. Kebanggan sebagai dosen pun langsung pudar.
Apalah artinya status dosen, kalau cuma bisa bercuap-cuap di kelas, menyampaikan materi kuliah yang sama selama bertahun-tahun, yang seringkali hanya berupa repetisi atau pengulangan semata, tanpa menghasilkan satu pun karya berupa buku.
Apa yang patut dibanggakan dari seorang dosen, jika selama bertahun-tahun menekuni profesinya tersebut, hanya sebatas jago berbicara di depan mahasiswa saja, tanpa mampu ‘berbicara’ melalui karya di hadapan komunitas akademik lainnya.
Bukankah yang terucap akan mudah hilang, sedangkan yang tertulis akan abadi? Bukankah kata-kata akan menguap begitu saja setelah diucapkan, sedangkan kalimat demi kalimat yang tertulis akan kekal abadi?
Berangkat dari pernyataan serta pertanyaan-pertanyaan itulah, saya mencoba untuk melihat kondisi yang sesungguhnya terjadi di perguruan tinggi terkait dengan dunia literasi.
Budaya Menulis di Perguruan Tinggi
Ada masalah serius yang tengah terjadi di dunia akademis, khususnya di perguruan tinggi. Selain budaya baca yang rendah, budaya tulis juga belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, bahkan cenderung memprihatinkan.
Hal ini dapat kita buktikan dengan minimnya jumlah karya berupa buku yang ditulis oleh para akademisi di perguruan tinggi. Jangankan mahasiswa yang masih menempuh studi S1, bahkan mereka yang telah menyelesaikan studi S2 dan S3, dan menyandang gelar Master dan Doktor pun banyak yang miskin karya. Lebih memprihatinkan lagi, para guru besar, yang seharusnya sudah saatnya untuk menuangkan seluruh ide-ide briliannya terkait bidang keahlian yang ditekuninya melalui sejumlah karya berupa buku, ternyata masih banyak yang belum tergugah untuk melakukan tugas mulia tersebut.