Sederhananya, Kuasa Pemohon ingin menyampaikan pesan bahwa terdapat dugaan pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan petahana dan penyelenggara pemilu.Â
Dengan alasan inferioritas dan tidak memiliki alat-alat kekuasaan seperti petahana, menjadi sulit untuk dibuktikan dan memohon majelis agar tidak hanya melihat bukti-bukti kuantitatif dan/atau kualitatif saja sesuai kelaziman tetapi didorong untuk membuat terobosan hukum dengan semangat bahwa MK adalah penjaga amanat konstitusi. Apakah bisa?Â
Sebenarnya ada celah untuk itu, karena MK selain menjadi penjaga konstitusi juga sebagai  penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution) bukan seperti peradilan biasa yang selalu berdasar fakta (Damihi Facta Do Tibi Ius) tetapi entah mengapa tidak dilakukan oleh kuasa pemohon melalui keterangan ahli yang hebat, misalnya melalui konstruksi tafsir undang-undang tentang status KH Ma'ruf Amin dan pendapat ahli hukum tentang kasus TSM serupa di negara lain, atau pendapat hukum dari ahli yang punya kapasitas mumpuni.Â
Menariknya ketika Prof Denny terpancing ingin menggiring argumen sulitnya pembuktian dalil dengan speedy trial dalam sidang terakhir, dijawab dengan mudah oleh Prof Eddy dengan referensi dibentuknya extraordinary chamber in the court of cambodia (ECCC) yang menyidangkan kasus genosida oleh rezim Pol Pot dalam waktu hanya 2 minggu dengan 10 saksi (perlu studi lebih lanjut).
Kuasa pemohon malah terkesan ingin menguasai panggung mahkamah dan seolah over confidence dapat meyakinkan majelis tanpa diperkuat pendapat ahli (atau mungkin tidak ada ahli yang bersedia). Â Ahli yang diajukan malah berputar-putar pada hal-hal analisa secara teknis forensik yang sangat sulit untuk meyakinkan majelis dalam speedy trial ini.Â
Majelis diarahkan untuk meyakini bahwa sistem informasi KPU (yang tidak pernah diaudit itu) tidak handal, lemah oleh sebab itu tidak dapat dipercaya publik. Karenanya produk situng KPU tidak benar. Padahal banyak ahli hukum di Indonesia seperti Prof Erman RGG, Prof Romli Atmasasmita, Prof Jimly AS, Prof Nindyo, dan lainnya.Â
Sebaliknya, pendapat ahli dari pihak terkait begitu memukau publik. Terlihat bahwa majelis sangat tertarik untuk lebih jauh terlibat dalam diskursus azas dan teori hukum yang ditulis ahli. Komposisi ahli yang diajukan juga pas, Prof Eddy fokus kepada azas dan teori, dan Dr Heru Widodo dalam kapasitasnya sebagai peneliti kasus TSM juga berpraktek sebagai kuasa hukum dalam banyak kasus sengketa pemilu memberi kelengkapan konstruksi argumen teori dan praktek yang komplementer tentang TSM.
Apabila pertanyaan diajukan tentang siapa yang menang dalam sengketa ini, jawabannya bagi sebagian orang cukuplah mudah. Sampai sidang hari ketiga sebenarnya banyak yang sudah mengetahui apa hasil putusan majelis. Fakta persidangan yang terbuka ini sungguh sangat terang benderang. Selebihnya hanya forum edukasi hukum tata negara bagi publik saja.
Apakah putusan mahkamah baik itu Niet Ontvankelijk Verklaard karena Obscuur Libel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan 51 UU MK, atau kemudian juga misalnya permohonan ditolak (Ontzigd) karena pemohon gagal membuktikan dalil gugatannya dalam persidangan semoga bisa diterima pihak pemohon.Â
Tetapi yang menarik apabila mahkamah mengabulkan permohonan gugatan pemohon, kelak kepastian hukum di Indonesia akan mengalami masalah serius, karena bisa saja status pemohon sekarang kelak bisa menjadi pihak terkait yang bersengketa.Â
Karena biasanya putusan mahkamah akan konsisten dalam ratio (alasan putusan) yang bisa saja menjadi faste yurisprudensi (yurisprudensi tetap) terhadap putusan atas dasar pembuktian dengan teori generalisir seperti yang dikatakan Prof Eddy dalam kasus sengketa pilpres kali ini.