Mohon tunggu...
Didiet Pujiadi
Didiet Pujiadi Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan

Pengamat, pemerhati segitiga dan pengagum fans Rocky Gerung

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Antara Prof Eddy, Sidang MK yang Melelahkan, dan Pendidikan Demokrasi Indonesia

22 Juni 2019   23:38 Diperbarui: 22 Juni 2019   23:51 2205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 "Saya selalu mengatakan, yang namanya seorang guru besar, seorang profesor hukum, yang pertama harus dikuasai itu bukan bidang ilmunya ,tapi yang harus pertama harus dikuasai itu adalah asas dan teori. Karena dengan asas dan teori itu dia bisa menjawab semua persoalan hukum"

Dalam postulat hukum pidana "In Criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores. Maknanya, dalam perkara pidana, bukti-bukti itu harus lebih terang dari cahaya"

"Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian sangatlah esensial karena yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materil," kata Prof Eddy O.S Hiariej dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian.

Dalam sidang MK sengketa pilpres ini, Prof Eddy menekankan pendapatnya bahwa amar putusan hakim harus didasarkan bukan pada banyaknya alat bukti yang diajukan untuk mendukung fundamentum petendi pemohon, tapi yang lebih penting adalah kualitas alat bukti dan pembuktian itu sendiri, tentu dengan tetap berpedoman pada hierarki bukti pada hukum acara.

Dalam hukum acara mahkamah konstitusi dijelaskan bahwa bukti berupa surat menempati hirarki tertinggi, kemudian keterangan para pihak dan selanjutnya keterangan saksi. 

Dalam sidang marathon kemarin terus terang publik bisa menilai rendahnya kualitas dari bukti-bukti yang diajukan oleh kuasa hukum pemohon. Ketiadaan bukti P-155 (bukti paling penting), keterangan saksi-saksi yang meragukan, dan pendapat ahli yang jauh dari harapan publik karena dapat dibantah dengan mudah oleh termohon (KPU) karena berputar-putar pada masalah situng KPU.

Strategi kuasa pemohon yang dituangkan dalam permohonan dilandasi dari konstruksi dalil DPT yang bermasalah, situng KPU yang tidak dipercaya, kecurangan yang bersifat TSM dan argumen tentang azas, teori serta tafsir hukum dalam kerangka konstitusi. Menjadi menarik karena kita tahu untuk membuktikan tiga konstruksi dalil yang pertama sangat sulit dan perlu bukti yang meyakinkan. 

Misalnya untuk dalil bahwa terdapat data "by name" DPT siluman, kuasa melalui saksi gagal membuktikan bahwa orang-orang tesebut apakah bisa dibuktikan secara nyata datang di TPS dan mencoblos. Dalil kecurangan yang bersifat TSM juga gagal dibuktikan secara terang benderang karena memang sangat sulit (syarat pembuktiannya harus kumulatif). Yang paling memprihatinkan adalah konstruksi dalil tentang lemahnya situng KPU sebagai suatu sistem informasi terbuka. 

Publik sangat paham bahwa Situng KPU adalah hanya sebagai sarana transparansi proses rekap perhitungan saja dan bukan sebagai dasar penentuan pemenang pilpres. Dan untuk mengetahui apakah situng itu handal atau tidak, tinggal dibandingkan saja hasilnya dengan sarana sejenis seperti kawalpemilu.org dan hasil pleno perhitungan suara nasional, sedang perkara keamanan dari sistem itu sendiri adalah persoalan lain. Sangat mudah.

Bagaimana dengan keterangan para pihak? Sesungguhnya sidang sengketa ini lebih pada "medan laga" adu argumentasi hukum kuasa masing-masing pihak. Dalil dibantah dengan dalil dan argumen dilawan dengan argumen. 

Kuasa pemohon mengarahkan diskursus persidangan pada tafsir konstekstual diatas tekstual, keadilan hukum diatas kepastian hukum, keadilan substantif diatas keadilan prosedural, bukti kualitatif diatas bukti kuantitatif, dan konstitusi (Droit Constitutionnel) diatas dasar hukum undang-undang yang sejalan, tetapi sayangnya kuasa pemohon tidak mengajukan ahli yang memperkuat pandangan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun