Mohon tunggu...
Didid Kuncoro
Didid Kuncoro Mohon Tunggu... Entrepeneur -

Seorang yang hobby jurnalisme sekaligus awak media lokal, senang berkebun & bersosialita.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jokowi-Prabowo Legowo, Mega dan SBY Piye?

19 Oktober 2014   19:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:28 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Momentum pelantikan Presiden RI ke 7 tinggal beberapa saat lagi, kegembiraan politik kian terasa setelah pertemuan Presiden terpilih Joko Widodo dan rivalnya dalam pilpres Prabowo Subianto berlangsung kemarin Jum'at, 17 Oktober 2014. Meskipun singkat pertemuan kedua tokoh tersebut harus kita apresiasi sebagai bentuk 'kegembiraan politik' sekaligus pembelajaran politik kedepan. Dimana sikap rendah hati dan berlapang dada bersua membentuk jiwa kenegarawan sejati demi Indonesia tentunya.


Meskipun berada pada sisi yang berbeda seiring perjalan politik 5 tahun kedepan, namun keduanya sudah bisa berdiri sejajar, saling menghormati dan rendah hati menjalin silahturahmi sebagai bentuk tradisi konstruktif dalam demokrasi ala Indonesia.

Sopan santun, menghargai yang lebih tua, ramah-tamah dsb. adalah bagian ke-Indonesian yang kini perlahan mulai tergerus dengan arus kepentingan serta kompetisi politis yang dinamis.


Nah, pertemuan kedua tokoh inilah yang seharusnya dijadikan awal dimulainya menanamkan nilai demokrasi ala Indonesia sebagai manifesto demokrasi Pancasila kedepan. Siapapun putra dan putri terbaik bangsa yang bersaing dalam proses politik harus dilandasi nilai-nilai diatas, sehingga negara demokrasi terhebat dan terbesar memang Indonesia.

Sehingga ada harmonisasi antara proses politik dan akselerasi ekonomi, dan kita sebagai bangsa bisa menjadi kiblatnya demokrasi dunia, bukan demokrasi liberal-kapitalis, demokrasi kontekstual akan tetapi demokrasi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia.


Tentu ini adalah proses pembelajaran dari Pilpres masa lalu disaat rivalitas SBY dan Megawati belum berakhir hingga kini, keburu didahului Jokowi dan Prabowo yang bersua dengan apapun alasan, latar belakang dan kepentingan didalamnya mereka tampak mesra & membawa dampak yang luar biasa terhadap menurunnya suhu politik sekaligus bergairahnya ekonomi dengan penguatan nilai tukar rupiah juga naiknya Indexs harga saham.

Ini mengindikasikan pasar dan investor menaruh respon positif terhadap peristiwa ini.


Nah, kembali pada kebekuan hubungan SBY dan Mega tentu tak bisa lepas dari peristiwa yang menjadi penyebabnya. Agar kita juga obyektif nantinya menilai, meski secara umum perspektif bisa beda antara satu dan lainnya.

Berawal dari klarifikasi Megawati saat menjadi Presiden dan SBY sebagai Menkopolhukam di akhir 2003, dari laporan intelejen yang sampai ke Mega ditengarai SBY mau mencalonkan diri sebagai capres kala itu, Megapun bertanya ; Apakah SBY benar mau mencalonkan diri sebagai Capres/Cawapres, di jawab tidak dan bahkan sampai 4 kali hal itu ditanyakan, SBY tetap menjawab 'tidak ibu Presiden'. Di saat bersamaan pula SBY mendirikan Partai Demokrat dengan Ani Yudhoyono sebagai waketum dan ketua dipercayakan pada Prof. Subur Budisantoso. Semenjak itulah Mega tidak pernah mengajak rapat kabinet untuk persiapan Pemilu dan lebih dipercayakan pada Mendagri Hari Sabarno untuk melakukan koordinasi ke daerah-daerah.

Konspirasi Asingpun tak ketinggalan memainkan peran, disaat efek krisis '98 belum usai tekanan begitu luar biasa. Bisa dibayangkan boikot " the seven sisters" sampai akhirnya gas alam tangguhpun hanya RRC yang mau, penjualan Indosat, kapal tanker VLCC milik Pertamina dst. semua tidak serta merta terjadi ada konspirasi dibelakangnya agar embargo terhadap RI sukses. Belum lagi tekanan politik dalam negeri yang memperburuk situasi. Megawati seolah menangis, namun apa dikata itulah beban yang harus ditanggung sebagai seorang Presiden dengan segala resikonya.

Ditambah pernyataan alm. Taufik Kiemas dengan "Jenderal cengeng" makin menambah simpati rakyat pada SBY dengan back up media, hampir sama seperti era Jokowi tempo hari hanya dimensi ruang dan waktunya saja yang berbeda.


Singkat cerita Pemilu digelar, untuk pertama kali Presiden dipilih oleh rakyat berlangsung secara demokratis dan SBY terbukti memenangkan kompetisi.

Maka makin menjadilah keengganan Mega akan sosok SBY, meski pada akhirnya kini banyak yang tau akan sepak terjang aslinya.


Megawati memang terkenal teguh dalam pendirian, keras dan beku, pada satu sisi lain beliau adalah seorang wanita lebih mengedepankan perasaan.

Sementara SBY lamban dan penuh kehati-hatiaan, rasional dan lebih mengedepankan pencitraan.


Harusnya SBY lebih rendah hati, menghargai dan gentlemen menghadapi situasi seperti saat ini.

Begitu juga Megawati, harus berlapang dada, lebih membuka diri untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Artinya keduanya bersikap negarawan sebagai sesama anak bangsa. Momentum inilah yang tepat, disaat akhir pemerintah SBY juga transisi pemerintahan Jokowi.


Jokowi seolah memberi contoh akan sebuah nilai, bukan sekedar retorika, meski dinyatakan presiden terpilih dengan kerendahan hati mau menemui Prabowo, kuncinya adalah kemauan yang tulus dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran akan hakekat sebuah silahturahmi.


Sehingga wajar bila kemudian pertanyaan tertuju pada Presiden ke 5 dan 6 tersebut.

SBY piye, berarti bagaimana SBY ? Langkah yang sudah dan akan anda tempuh sebagai penghormatan terhadap yang lebih tua, menjalin komunikasi, memberi contoh akan nilai-nilai serta pertanggungjawaban atas sumpah dan janji selama 10 tahun memimpin Indonesia ?


Begitu juga Megawati, akankah tetap mempertahankan kebekuan suasana & berpegang pada prinsip diam sebagai jawaban ?

Bersyukur Jokowi dan Prabowo bisa legowo, menerima kenyataan atau realita, kini harapan ada di Presiden ke 7, jadikanlah pemimpin masa lalu sebagai panutan akan hal-hal yang positif dan singkirkan hal-hal yang negatif demi mencapai tujuan yang lebih besar " Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ".

[caption id="attachment_348567" align="aligncenter" width="724" caption="kompas.com"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun