Pernahkah Anda menonton film Don Kisot (Don Quixote)? Sebuah film televisi tahun 2000 yang diangkat dari cerita novel legendaris karya Miguel de Cervantes dengan judul yang sama.
Film yang mengisahkan petualangan ksatria konyol dan kepo yang berimajinasi sebagai seorang Don (ksatria) pembasmi kejahatan, pembela nasib rakyat kecil dan macam-macam khayalan dan bayang-bayang heroik lainnya. Novel asli Don Quixote atau Don Quixote de la Mancha terbit pertama kali tahun 1605 M dan selanjutnya menjadi karya sastra besar yang menjadi perbincangan sepanjang masa.
Kemudian pernahkah Anda menonton film Desperately Seeking Susan, sebuah drama komedi produksi tahun 1985, menampilkan Rosanna Arquette dan Madonna. Bagaimana dua sahabat Roberta (Arquette) seorang ibu RT biasa dan Susan (Madonna), rocker, kemudian jadi saling tertukar identitas gara-gara kejadian sial kepala Roberta terbentur dan membuatnya setengah linglung (amnesia).
Celakanya, teman suami Susan bernama Dez mengira Roberta adalah Susan, dan Roberta pun cuek-cuek saja menikmati kekeliruan dan dari sini kedunguan serta kelucuan terus terjadi.
Dan sekarang, bagaimana rasanya jika Anda menonton kedua film tadi Don Quixote dan Desperately Seeking Susan secara bersamaan dalam sekali waktu? Duduk di depan dua layar film dalam sekali waktu secara bersamaan. Banjir informasi, pesan, kata, narasi, gambar, ujaran dan mungkin bercampur kebohongan dalam sekali daur waktu. Kusut.
Kemudian apakah Anda rajin berselancar mengarungi berita-berita seputar riuh rendah kampanye Pilpres saat ini serta lontaran-lontaran atau cuitan bising di laman, media sosial atau grup-grup WA?
Hiruk-pikuk yang benar-benar membuat kita butuh telinga tambahan atau mata ekstra atau kapasitas otak lebih saking kusutnya pesan dan informasi yang berseliweran. Seperti berita yang terbaru soal driver Grab sampai-sampai menurunkan penumpangnya gara-gara beda pilihan Capres (megapolitan.kompas.com). Sampai segitunya.
Persis seperti itulah jika mencermati hiruk-pikuk kebisingan dan riuh rendah masa kampanye Pilpres kali ini. Padahal Indonesia pernah mengadakan pemilu tersukses dan bertaburan orang-orang pilihan, yakni pilkada DKI 2012. Saat itu, ada 6 pasang Cagub dan Cawagub yaitu petahana Foke, Alex Nurdin (Mantan Gubernur Sumsel 2 periode), Didik J. Rachbini dan Faisal Basri, Hidayat Nur Wahid (Pimpinan PKS), tokoh muda Gerindra dan beberapa Jendral serta adik aktor Benyamin serta Jokowi & Ahok. Dan pemenangnya Jokowi dan Ahok. Kampanyenya sehat, positif dan konstruktif tanpa dicemari semburan kebohongan, saling menjelekkan apalagi membonceng isu agama.
Sebelumnya, Pemilu 2004 juga menghadirkan 5 pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden setidaknya memberikan 5 pilihan dan bolehlah dikatakan memilih terbaik dari yang ada. Semua berlomba adu program dan capaian dalam kompetisi yang sehat, tidak saling menjatuhkan, mengolok-olok atau memainkan propaganda hitam. Hampir dikatakan tak ada sentimen agama.
Kontras betul dengan masa kampanye Pilpres kali ini. Â Hanya tersedia 2 pasang Capres dan Cawapres, secara logika akan menjadi sederhana, tidak menguras energi apalagi perasaan dan akal sehat. Nyatanya, macam nonton 2 film tadi secara bersamaan. Satu layar ada seorang ksatria gaek (seolah-seolah ksatria) yang terus-menerus terjebak halusinasi sendiri sampai bertarung dengan kincir angin yang dikira raksasa yang harus dibinasakan.
Tatkala menoleh ke layar satu lagi disodorkan kelucuan dua orang tertukar peran. Siapa ingin menjadi siapa. Dan konyolnya, orang-orang sekitaran mereka makin membuat ketertukaran tersebut makin menjadi-jadi dengan membiarkan tertukar peran.
Teruslah kita toleh ke layar sebelah menyebelah berganti-ganti, sampai akhirnya pegal leher, habis energi terkuras dan cuma menyisakan capek, galau atau malahan ikut terjebak halusinasi si Don Kisot kalau tidak menjadi Susan palsu.
Pasukan kampanye dan strategi propaganda semua sibuk saling sindir menjelekkan lawan dan sibuk mengklaim siapa orang baik dan jahat. Salah satu tim suksesnya sudah mengakui 30% lebih energi habis cuma untuk mengurusi dan menangkis membalas isu-isu sesat, semburan kebohongan yang muncul terus di segala lini seolah tak kehabisan ide untuk semua kepalsuan. Sama halnya dengan memutar kaset kusut terus-terusan.
Menurut Wikipedia, kaset atau pita kaset atau tape adalah media penyimpan data yang umumnya berupa lagu. Dari tahun 1970 sampai 1990-an, kaset merupakan salah satu format media yang paling umum digunakan dalam industri musik. Pita seluloid ajaib yang jika sudah kusut susah diperbaiki ibarat perumpamaan seperti suara kaset kusut. Begitulah sekarang.
Padahal saat adu debat, sedikit sekali narasi, fakta-data dan rencana strategis 5 tahun ke depan untuk kelola negara yang sesuai trek yang sudah disebut dalam konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan masyarakat. Analog dalam bidang ekonomi perusahaan yang terbaik 5 tahun terakhir belum tentu baik untuk 5 tahun ke depan.
Coba lihat persaingan 10 tahun terakhir 15 perusahaan atau brand terbaik didunia. Bagaimana Nokia tumbang terlempar keluar, bagaimana munculnya Apple dan Amazone serta Google yang semula tidak ada. Dan perhatikan juga perusahaan lain: IBM, GE, Coca Cola dan lainnya terpuruk.
Saat kita sibuk meributkan bagaimana berdoa yang baik tanpa perlu membawa-bawa keillahian Tuhan, persaingan antar negara semakin ketat, jangan puas dengan kinerja 5 tahun terakhir karena negara lain juga tidak statis mereka berjuang menjadi yang terbaik.
Baru-baru ini kita melongo tanpa ekspresi bagaimana Israel sudah mulai menyelidiki bulan menggunakan robot dan teknologi AI seukuran mesin cuci tentunya dikendalikan dari bumi. Sejauh ini hanya 4 negara yang mampu menyelidiki dan meneliti semua aspek tentang bulan: AS, Rusia, China dan Israel.
Daripada menghabiskan energi, konsentrasi, biaya dan akal sehat untuk hal-hal kontra produktif memproduksi kepalsuan, semburan kebohongan dan informasi fiktif untuk ambisi jangka pendek dimana bayarannya akan sangat mahal, merusak kerukunan dan keharmonisan bersama tidakkah lebih baik berperilaku wajar saja. Jika diberi pilihan mau jadi Don Kisot atau Susan palsu, pasti semua tak mau. Kusut.
-didiadrian-
-venusgani-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H