Mohon tunggu...
Reza Aditya
Reza Aditya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Video Game: Hiburan, Konspirasi, dan Terorisme

10 Januari 2016   20:27 Diperbarui: 10 Januari 2016   21:06 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Sebelum Anda menuduh penulis adalah seorang "anti-video game", penulis sendiri merupakan seorang gamer yang masih aktif sejak tahun 2000. Tulisan ini tidak mengandung konten yang membias dan tidak menyudutkan satu pihak. Pembaca dimohon untuk berpikiran terbuka dan tidak menyerang pihak lain.

Tragedi Paris bisa dibilang sudah tidak relevan lagi mengingat banyaknya tren dan berita baru dengan topik yang lebih “seksi” berlalu-lalang di internet. Namun, lukanya tak cepat padam, banyak yang masih berduka serta bersimpati mengenai jatuhnya korban di Paris tahun lalu. Terlihat dari masih adanya akun yang menggunakan filter bendera Perancis pada profile picturenya, entah itu karena masih tersisa trauma atau terlalu malas untuk mengganti penampang profilnya.

Trennya mungkin sudah lewat, namun bukan berarti telah dilupakan dan hilang dari muka dunia, apalagi dari internet. Sekali terpampang di internet, maka hal tersebut akan tetap tersimpan di sana – tragedi Paris bukan pengecualian. Masukkan keyword “Paris” dan Google akan memberikan ribuan sugesti terkait peristiwa pengeboman dan penembakan yang terjadi beberapa bulan lalu di kota romantis tersebut. Jutaan orang menyampaikan belasungkawa dan kepeduliannya terhadap korban yang berjatuhan, begitu pula blame terhadap Muslim in general. Tapi apakah hanya Muslim yang mendapat kecurigaan atas semua ini?

Tak ada yang menduga peristiwa tersebut akan terjadi. Tak ada yang menyangka bahwa Paris akan terkena aksi terorisme, or is it? Bagaimana jika skema tersebut telah diprediksi kurang-lebih 4 tahun ke belakang? Mengejutkannya, ribuan bahkan jutaan dari “kaum” ini mengaku merasakan de ja vu. Gamer di seluruh dunia hingga saat ini tengah mengutarakan kecurigaan mereka terhadap kemungkinan konspirasi yang ada dalam Battlefield 3, sebuah game kelas AAA yang dikembangkan Dice dan dipublikasikan oleh Electronic Arts.

 Game yang dirilis akhir tahun 2011 tersebut menuai banyak tanya dan kecurigaan, namun bukan tanpa alasan. Salah satu misi (level) yang terdapat dalam game tersebut berkisah mengenai bagaimana 3 orang agen Rusia mencoba memburu sekelompok teroris yang berbasis di Timur Tengah yang mencoba meledakkan nuklir di tengah kota Paris, namun pada akhirnya gagal menghentikan ledakan tersebut. Penembakan di jalan-jalan Paris memakan banyak korban yang berupa aparat keamanan, Paris dipenuhi radiasi, gedung-gedung rata dengan tanah, 80.000 jiwa terenggut.

[caption caption="Battlefield 3 menuai banyak tanya dan konspirasi dengan adanya misi yang mengambil tempat di Paris. Image source."][/caption]

            Skala pengeboman dan jumlah korban jiwa memang terlihat sangat kontras dari kenyataan, namun ada satu hal lagi yang memperkuat dugaan masyarakat akan adanya konspirasi dalam game shooter tersebut. Tanggal pengeboman dalam game tersebut adalah 13 November, cukup dekat dengan kejadian aslinya.Terkait pesan terselubung dalam game-game populer, Battlefield 3 bukanlah satu-satunya game yang menyiarkan propaganda perang dunia.

Pesaingnya, Call of Duty, telah merilis lebih banyak banyak seri game peperangan yang menyematkan propaganda mengenai korupnya pemerintahan, skema terorisme, dan hal terkait politik serta spionase lainnya. Rumor mengatakan bahwa Activision, pengembang seri game Call of Duty sebelum pengembangannya diserahkan kepada Sledgehammer, sempat bekerja sama dengan Pentagon untuk menyusun skema realistis operasi militer anti teroris dalam salah satu serinya. Banyak yang berpendapat bahwa Activision tengah mencoba membuka skenario perang Amerika terhadap negara lain.

Terdengar baik memang, ketika kita berpikir bahwa Activision seolah sedang membantu membongkar rencana busuk Amerika. Skema dan alur cerita yang terdapat dalam game biasanya diangkat berdasarkan kejadian di dunia nyata, yang berarti, berdasarkan apa yang pernah terjadi. Ataukah justru kemunculan game-game bertema peperangan modern inilah yang mengilhami para teroris di dunia? Jika memang benar, maka game tak hanya mempermudah para teroris untuk sekedar mencari ide skema saja – game bahkan dapat mempermudah koordinasi dan komunikasi antar agen.

Banyak medium yang dapat digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh, salah satunya adalah melalui media sosial dan layanan chat. Namun, layanan tersebut dapat dengan sangat mudah dilacak dan disadap oleh pihak yang memiliki otoritas maupun hacker. Para teroris tidak kehabisan ide, nampaknya, mereka mulai mencari alternatif komunikasi lain yang tidak memiliki jejak dan tidak diawasi oleh pihak berwajib – melalui in-game chat. Kurang lebih seperti itulah dugaan sementara para kaum intelektual dan jurnalis.

Serangan terkoordinasi seperti Tragedi Paris tidak meninggalkan jejak di internet dalam bentuk percakapan maupun komunikasi lainnya membuat para penyelidik mencurigai adanya penggunaan layanan percakapan yang terenkripsi. Baik itu melalui Playstation 4 maupun app smartphone, alat enkripsi atau penyamar yang kuat sangat mudah didapatkan siapapun, bahkan kebanyakan gratis. (abc7ny.com, 16/11 18:33)

Cara para teroris berkomunikasi dalam game sama halnya dengan cara pemain-pemain lain berinteraksi, baik itu dengan chat, perintah, maupun melalui voice chat menggunakan headphone. Agen ISIS diduga menggunakan Playstation 4 untuk saling berkomunikasi, jalan ini dipilih merujuk kepada fakta bahwa Playstation 4 terkenal amat sulit untuk dimonitor. “Playstation 4 bahkan lebih sulit untuk dilacak ketimbang WhatsApp”, menurut menteri Belgia, Jan Jambon. (forbes.com, 14/11 18:17)

[caption caption="Pertukaran informasi via Playstation 4 yang sulit dideteksi menjadi keuntungan tersendiri bagi teroris. Image source."]

[/caption]

Ketika pertama kali diluncurkan, ada kekhawatiran bahwa console generasi baru tidak akan terlalu mementingkan privasi. Dengan adanya kewajiban penggunaan Kinect dan harus selalu tersambung ke internet oleh Xbox dari Microsoft serta penggunaan Playstation Camera, memperbesar kemungkinan adanya spionase oleh pemerintah. Hal ini membuat masyarakat berang dan segala regulasi terkait pelanggaran privasi dicabut.

Meskipun kebijakan tersebut merenggut hak asasi manusia, namun komunikasi sederhana dan tak berbasis perangkat tambahanlah yang justru memberikan kemudahan bertukar pesan dari satu teroris ke teroris lainnya. Spesifikasi sistem yang masih terhitung lemah dibandingkan dengan device lainnya dapat menawarkan jalur komunikasi yang lebih aman dan tak terlacak bahkan lebih dari telepon genggam terenkripsi.

Selain dapat memberikan manfaat berupa layanan komunikasi instan, video game juga dapat dimanfaatkan untuk melatih kecerdasan. Video game seperti Battlefield dan Call of Duty, selain dapat memberikan gambaran tentang skema canggih terorisme dan penangkalannya, juga dapat melatih kecepatan berpikir dan koordinasi tangan-mata. Manfaat ini dapat dirasakan oleh semua pemainnya, semua pemain termasuk teroris.

Rumor-rumor tersebut mulai terbesit dalam pikiran para kaum intelektual sebagai salah satu bentuk dugaan konspirasi. Banyak gamer marah akan hal ini, sebab merasa disalahkan atas apa yang telah terjadi. Tak salah memang reaksi yang diberikan para pemain game atas munculnya hasil nalar para netizen ini, namun mestinya hal ini justru menjadikan mereka semakin alert dan sadar akan bahaya yang dapat disalurkan melalui game. Harapannya adalah mampu menumbuhkan kepedulian untuk saling mengawasi pundak masing-masing.

Lagipula, semua bahasan tersebut tak ubahnya sekumpulan hipotesis dan rumor. Emosi berlebih dan tuduhan membabibuta hanya akan membuahkan hasil pemikiran yang tergesa-gesa dan mentah. Memang, kemampuan nalar manusia tak lebih dari sekedar asumsi, namun akan lebih bijak rasanya jika kita lebih percaya dan mengandalkan fakta ketimbang rumor dan dugaan sementara. But, in the other hand, facts could be so misleading, where rumours, whether it’s true or false, are often revealing, right?

[caption caption="Facts could be so misleading, but romours, true or false are often revealing. Isn't that right, Col. Hans? Image source."]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun