Mohon tunggu...
Didha Akbar
Didha Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang Mahasiswa yang selalu haus akan ilmu dan merasa bertanggungjawab terhadap sedikit ilmu yang telah diperoleh agar sebisa mungkin dapat diajarkan pada masyarakat dan disuarakan pada Pemerintah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbedaan Sanksi Pidana Berzina dalam KUHP dengan Hukum Pidana Islam

3 April 2023   05:03 Diperbarui: 25 Mei 2023   02:07 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu Negara pasti memiliki konstitusi, yaitu suatu keseluruhan sistem ketatanegaraan yang menjadi pedoman dan kerangka umum suatu Negara dalam menjalankan negaranya. Dalam Konstitusi Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum. Dengan demikian segala tindakan yang diambil oleh negara harus berdasarkan Hukum yang berlaku di negara tersebut.

Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki sistem hukum Pancasila yaitu perpaduan antara sistem hukum civil law dan common law yang dikolaborasikan secara berimbang dengan menyesuaikan kondisi dan situasi bangsa Indonesia. Namun, dikarenakan Indonesia merupakan negara bekas jajahan Belanda, corak hukum di Indonesia lebih cenderung menganut sistem hukum civil law yang mendasarkan hukumnya pada konsep Rechstaat atau konsep hukum tertulis. Negara dengan konsep Rechstaat seperti Belanda, memiliki suatu kitab kodifikasi hukum yang berisi keseluruhan hukum secara umum terkait suatu biudang hukum tertentu. Di antaranya adalah Wetboek van Strafrecht  atau biasa disebut KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Karena pada Saat itu Belanda sedang menjajah Indonesia, maka berlakulah asas Konkordansi yaitu asas yang menyatakan bahwa hukum yang diterapkan di negara jajahan adalah hukum yang dibawa oleh penjajahnya. Dengan demikianlah KUHP sempat diberlakukan oleh Belanda di Indonesia pada masa penjajahan meskipun tidak pada semua golongan. Setelah Indonesia merdeka, Kitab-Kitab kodifikasi hukum peninggalan Belanda tersebut diberlakukan kembali oleh pemerintah demi mengisi kekosongan hukum atau vacuumrecht karena Indonesia yang baru saja merdeka belum memiliki Hukum negara sendiri. Hal itu termuat dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

Karena hingga kini Indonesia belum memiliki KUHP yang baru atau setidaknya KUHP yang baru disahkan belum berlaku, maka secara hukum, Indonesia masih menganut hukum Pidana yang bersumber dari KUHP. Dikarenakan bersumber dari Belanda yang notabene merupakan Negara penjajah Indonesia pada masa lampau, materi muatannya pun banyak yang bercorak colonial yang mana hal itu sangat sudah tidak relevan apabila diterapkan kepada masyarakat Indonesia yang agamis dan memiliki nilai- nilai kearifan lokal sendiri. Bahkan di Negara asal KUHP atau Wetboek van Strafrecht itu berasal yaitu Belanda pun KUHP Belanda sendiri sudah mengalami banyak perubahan berkali-kali. Jadi, selain tidak cocok diterapkan di Indonesia karena nilai-nilai pembentukan hukumnya sangat berbeda dengan masyarakat Indonesia, juga sudah tidak relevan lagi diterapkan di waktu saat ini karena sudah ketinggalan zaman.

Hal itu dikarenakan Hukum itu secara abstrak memiliki suatu gejala Universal yang mana akan hadir menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya. Apa yang dianggap baik-buruk, boleh-tidak boleh itu tergantung pada nilai-nilai yang hidup di suatu persekutuan bangsa  atau masyarakat. Sehingga bila hukum yang tidak sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masyarakat dipaksakan untuk diterapkan, maka akan menimbulkan gangguan terhadap keteraturan sosial dalam masyarakat. Karena hukum yang diberlakukan tidak berdasarkan nilai-nilai di suatu masyarakat yang bersangkutan tidak bisa memenuhi ekspektasi rasa keadilan masyarakat.

Dalam hal ini, contohnya saja mengenai tindak pidana perzinahan. Indonesia yang hukum negaranya didasarkan pada KUHP peninggalan Belanda, memiliki pasal terkait perzinahan di antaranya yaitu:

Pasal 284 KUHP

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:

1.

a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun