Pendidikan Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dan tantangan dalam beberapa dekade terakhir. Sistem pendidikan kita, seperti banyak sistem dinamis, mengalami fenomena yang kompleks dan tidak linier. Dalam pandangan teori bifurkasi, kita dapat memandang ekosistem pendidikan sebagai sistem yang sensitif terhadap perubahan dan dapat beralih antara kekacauan dan ketertiban.
Sistem zonasi yang diberlakukan pada tahun 2017 menjadi salah satu contoh perubahan yang signifikan. Dalam teori bifurkasi, sistem ini dapat dianggap sebagai "parameter" dalam sistem pendidikan. Penerapan sistem zonasi mempengaruhi pola distribusi siswa di sekolah-sekolah dan berpotensi menghasilkan bifurkasi dalam akses pendidikan. Bagian dari sistem pendidikan yang berada dalam zona-zona sekolah yang populer akan cenderung mengalami ketertiban dalam akses pendidikan, sedangkan siswa yang berada di luar zona favorit mungkin menghadapi kesulitan dalam mencari sekolah negeri terdekat, atau lebih buruk, rumahnya tidak masuk zonasi sama sekali dan harus menggunakan jalur prestasi. Jika ini tidak bisa, pilihannya adalah masuk sekolah swasta.
Menyorot Zonasi: Transformasi atau Tantangan?
Penerapan zonasi adalah langkah berani yang menandai komitmen pemerintah dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif. Namun, lima tahun berlalu dan pertanyaan kritis tentang efektivitasnya mulai muncul. Apakah zonasi telah berhasil mencapai tujuan inklusi yang diharapkan? Ataukah ini justru menciptakan tantangan baru?
Dianggap sebagai solusi inklusi sekolah, sistem zonasi bertujuan untuk mengurangi ketimpangan akses pendidikan dan memberikan peluang yang lebih adil bagi semua siswa. Namun, pertanyaan mendasar muncul: Apakah zonasi benar-benar menjadi solusi inklusi pendidikan? Karena berdasarkan hasil Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) tahun 2022 di Kota Semarang, SMA Negeri 3 masih menempati peringkat tertinggi sebagai sekolah dengan alumni terbanyak yang berhasil masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN).Â
Zonasi juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah yang kurang diminati. Namun, tantangan muncul ketika sekolah-sekolah di luar zona-zona favorit tidak mampu meningkatkan kualitasnya secara merata. Apakah sistem zonasi hanya menciptakan pergeseran masalah tanpa memberikan solusi yang menyeluruh?
Dalam lima tahun terakhir, zonasi telah menciptakan perubahan dalam ekosistem pendidikan Indonesia. Namun, tantangan dan pertanyaan tentang inklusi masih terus mengemuka. Inklusi pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama dalam menciptakan masa depan pendidikan yang lebih inklusif dan berkualitas.
Zonasi Guru? Variabel Wajib dalam Sistem Menyeluruh
Berbicara mengenai sistem yang serumit pendidikan nasional, solusi satu masalah tidak hanya bisa hanya menggerakkan satu variabel. Bagaimana jika bukan variabel murid saja yang di beri zona, melainkan guru juga? Jika nanti variable guru dimasukkan dalam sistem zonasi, beberapa unsur yang perlu diperhatikan dalam penempatan guru adalah: kualifikasi, kebutuhan (misalnya, daerah terpencil atau daerah dengan kesulitan rekrutmen guru dapat mendapatkan perhatian lebih dan diberikan insentif untuk menarik guru berkualitas), pelatihan dan pengembangan guru, pengalaman, dan dapalm implementasinya perlu evaluasi kinerja guru secara holistik (evaluasi yang lebih tepat dapat membantu dalam memperbaiki kualitas pengajaran dan mengidentifikasi kebutuhan pengembangan guru.)
Meskipun ide zonasi atau mutasi guru memiliki potensi manfaat, implementasinya juga harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan data yang akurat. Diperlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi dalam merancang kebijakan penempatan guru agar tidak menimbulkan ketidakseimbangan atau masalah baru dalam sistem pendidikan.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa penerapan zonasi atau mutasi guru dilakukan dengan transparansi dan partisipasi aktif dari para guru dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Dukungan dan kerjasama dari semua pihak akan menjadi kunci dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berkualitas bagi semua siswa dan guru di Indonesia.
UN dan ANBK
Keputusan menghapuskan Ujian Nasional pada tahun 2021 menyebabkan pergeseran lain dalam sistem pendidikan. Hal ini berdampak signifikan pada tingkat pendidikan dasar dan SMP. Dengan adanya UN, siswa dihadapkan pada tekanan untuk mencapai hasil yang tinggi, sedangkan penghapusan UN meninggalkan secercah kebimbangan di kalangan para pelajar dan para pendidik. Ketidakteraturan dalam seleksi masuk SMP dan SMK mengakibatkan animo masyarakat yang semakin tinggi untuk masuk ke SMP swasta, di mana nilai rapor menjadi alat ukur utama. Fenomena ini khususnya terasa di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh zonasi SMA, yang mengalami tantangan untuk menyelaraskan pendidikan dasar dan menengah atas.
Hasil dari kekacauan yang terjadi dalam ekosistem pendidikan adalah meningkatnya minat masyarakat untuk masuk ke sekolah swasta yang dikenal lebih "generous" dalam memberikan nilai kepada siswa. Ini mengakibatkan rata-rata nilai rapor siswa di sekolah swasta menjadi tinggi, sedangkan sekolah negeri masih menghadapi kesulitan dalam penyebaran nilai yang merata. Selain itu, perubahan ini juga berdampak pada seleksi masuk ke SMK, yang mendasarkan penilaiannya pada rata-rata nilai rapor. Semakin sulit bagi pemerintah untuk mencapai keadilan dalam sistem seleksi masuk sekolah.
Kekacauan yang diakibatkan oleh penghapusan UN dapat dianggap sebagai titik bifurkasi yang mempengaruhi cara seleksi masuk sekolah. Pergeseran dari penggunaan hasil UN sebagai acuan diganti menjadi rata-rata nilai rapor sebagai kriteria seleksi telah menyebabkan perubahan dalam pola distribusi siswa di sekolah-sekolah. Â
Namun, kekacauan ini tidak dianggap sebagai akhir dari perjalanan pendidikan Indonesia. Sebaliknya, ini bisa menjadi titik awal menuju pola keteraturan baru, sebagaimana diilhami oleh teori chaos and order. Sepertinya pemerintah sengaja menciptakan kekacauan untuk mencari pola yang tepat dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Meskipun tantangan yang dihadapi semakin kompleks, pemerintah masih menyediakan pelatihan dan diklat, termasuk diklat TIK bagi guru. Namun, tantangan yang semakin meluas menyulitkan pemerintah dalam mencari solusi yang tepat untuk menghadapi kekacauan dalam ekosistem pendidikan.
Gambaran teori bifurkasi dalam ekosistem pendidikan Indonesia menjadi semakin jelas dengan masifnya perkembangan teknologi AI ke dalam proses pembelajaran. Penggunaan teknologi AI sebagai "parameter" dalam sistem pendidikan juga dapat menciptakan perubahan dan bifurkasi dalam cara pembelajaran dan penilaian. Teknologi AI memiliki potensi untuk menghadirkan ketertiban dalam pembelajaran dengan menyediakan pendekatan pembelajaran yang lebih adaptif dan personal. Namun, di sisi lain, kemajuan teknologi AI juga dapat menyebabkan kekacauan dalam cara pengajaran dan tantangan baru bagi para pendidik.
Kurikulum Merdeka: Tantangan dan Harapan dalam Mencapai Kemerdekaan Pendidikan
Dalam upaya mengatasi kekacauan dan mencapai ketertiban, pemerintah merespons dengan peluncuran kurikulum merdeka. Kurikulum ini diharapkan dapat membawa perubahan yang positif dalam sistem pendidikan dan mencari pola keteraturan yang lebih tepat. Namun, tantangan kompleks seperti bonus demografi dan perkembangan teknologi tetap menjadi ujian berat dalam mencapai ketertiban yang berkelanjutan dalam ekosistem pendidikan.
Sebagai salah satu reformasi besar dalam dunia pendidikan Indonesia, Kurikulum Merdeka telah menarik perhatian banyak pihak sebagai langkah maju menuju kemerdekaan pendidikan. Konsep yang menggugah semangat kebebasan dan inovasi, Kurikulum Merdeka memiliki potensi untuk menghadirkan pendidikan yang lebih relevan, kreatif, dan adaptif sesuai dengan tuntutan zaman.
Namun, di tahun kedua implementasinya, realita tidak semudah kata dalam pidato Pak Menteri. Kurikulum Merdeka masih menemui banyak rintangan dalam penerjemahan ke dalam aplikasi sehari-hari di persekolahan. Kurangnya persiapan, kurangnya pelatihan bagi guru, dan ketidakjelasan panduan implementasi menjadi tantangan utama yang menghambat kesuksesan kurikulum ini.
Sejatinya, tujuan utama dari Kurikulum Merdeka adalah menciptakan sistem pendidikan yang memberdayakan siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan mandiri. Namun, tanpa pemahaman yang mendalam dan dukungan yang memadai, guru sering kali menghadapi kesulitan dalam mengimplementasikan pendekatan baru ini. Proses belajar mengajar di kelas masih terasa kaku, dan siswa sering merasa terjebak dalam paradigma tradisional yang tidak lagi relevan.
Kemerdekaan pendidikan sejatinya bukan sekadar kebebasan dalam pemilihan materi atau metode, tetapi juga kebebasan dalam memberdayakan setiap individu untuk mencapai potensi maksimalnya. Kurikulum Merdeka menjadi cermin dari semangat ini, tetapi untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak.
Salah satu kunci keberhasilan Kurikulum Merdeka adalah investasi dalam pelatihan dan pengembangan profesional bagi para pendidik. Pemerintah telah memberikan banyak diklat gratis, seperti program Guru Penggerak yang sekarang memasuki batch 10, PembaTIK (diklat TIK untuk para guru), diharapkan para guru bersemangat menyongsong kemerdekaan ini sebab mereka adalah garda terdepan dalam transformasi pendidikan. Pelatihan yang digagas pihak swasta juga banyak yang gratis, ini memberikan mereka alat dan keterampilan yang tepat akan memberi dampak besar pada kualitas pendidikan. Pelatihan dalam penerapan pendekatan pembelajaran aktif, teknologi pendidikan, dan evaluasi holistik harus menjadi prioritas baik bagi pemerintah maupun guru itu sendiri sebagai subyek perkembangan. Mendukung kurikulum yang merdeka berarti memberikan kesempatan yang setara bagi setiap anak, tanpa memandang latar belakang sosial atau geografis.
Tantangan yang dihadapi Kurikulum Merdeka tidak dapat diselesaikan dalam semalam. Namun, dengan tekad dan kerja sama yang kuat, kita dapat melewati liku-liku ini menuju visi kemerdekaan pendidikan yang sejati. Kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang membebaskan potensi setiap individu, memupuk kreativitas, dan membuka pintu menuju masa depan yang lebih cerah.
kemerdekaan belajar dan pendidikan. Â
Sebagai konklusi, ekosistem pendidikan Indonesia adalah sistem dinamis yang kompleks, sensitif terhadap perubahan, dan mungkin mengalami bifurkasi antara kekacauan dan ketertiban. Dalam menghadapi tantangan dan perubahan, pemerintah, sekolah, guru, dan masyarakat harus bekerja sama dalam mencari solusi inovatif dan adaptif. Menggunakan teknologi AI dan pendekatan inklusif dalam pembelajaran dapat menjadi kunci dalam mencapai ketertiban yang berkelanjutan dan menciptakan masa depan pendidikan Indonesia yang gemilang bagi generasi mendatang. Dan kurikulum merdeka diharapkan dapat mewujudkanDalam kekacauan ini kita tidak butuh perubahan besar yang sifatnya monumental, tetapi perubahan mental. Disiplin kecil dari kebaikan yang ditanamkan kepada peserta didik yang dituai di kehidupan mereka kelak. Dalam bentuk projek pancasila yang bisa kita lakukan, perhatian yang kita berikan setiap hari, dan doa-doa yang kita panjatkan dalam perjalanan sunyi menjadi pendidik. Dalam bifurkasi, kita berharap adanya pola baru yang konsisten dan teratur. Semoga ada dari perubahan-perubahan kecil tadi menjadi kesempatan mengubah arah angin. Dalam kemerdekaan kurikulum, kita (semoga) merdeka menentukan langkah ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H