Mohon tunggu...
DICKY TAKNDARE
DICKY TAKNDARE Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Quo Vadis Otonomi Daerah? (Kritisi Terhadap Peraturan Menteri Perhubungan No. Pm 39 / 2017)

24 September 2017   16:59 Diperbarui: 24 September 2017   17:26 1881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan perundang-undangan menempatkan PP pada hierarki tertentu dan dengan demikian memiliki kekuatan hukum yang mengikat diatas Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten / Kota. PM 39/2017 tidak memiliki hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sehingga seharusnya, ketentuan-ketentuan di dalam PM 39/2017 tidak boleh menyalahi atau bertentangan dengan PP 38/2007 yang memiliki kedudukan hierarki lebih tinggi. Selanjutnya patut dinyatakan bahwa PM 39/2017 harus gugur secara otomatis.

Di sisi lain, terlepas dari disputemengenai kewenangan penerbitan pas kecil sebagaimana telah dijelaskan diatas, dapat diperkirakan bahwa kemungkinan langkah Kemenhub untuk mengambil alih kewenangan tersebut adalah sebagai akibat dari adanya masalah-masalah yang muncul dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam hal ini di sector perhubungan laut. Jujur harus diakui bahwa otonomi daerah memberikan kekuasaan yang luas kepada daerah otonom sehingga pada gilirannya memunculkan berbagai penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan. Sampai saat ini sudah sekian banyak oknum kepala daerah maupun pejabat penyelenggara negara di daerah yang harus berurusan dengan hukum karena melakukan tindakan pidana. Penyalahgunaan kewenangan mereka ini banyak berkaitan dengan masalah perizinan dan pengadaan barang / jasa. Di level bawah, muncul berita-berita tangkap tangan terhadap oknum-oknum pegawai negeri sipil di daerah yang melakukan pungutan liar (pungli) terhadap berbagai permasalahan. Berbagai permasalahan ini membawa dampak negatif bagi masyarakat  kepada aparat negara di daerah seperti tingkat kepercayaan yang menurun, wibawa yang luntur dan proses pengurusan yang berbelit-belit. Masyarakat bukannya merasa semakin mudah dalam melakukan urusannya dengan aparat pemerintah di daerah malah sebaliknya merasa khawatir akibat proses yang panjang dan pungutan liar yang menjamur.  Intinya, masyarakat tidak merasakan manfaat otonomi daerah secara nyata. Perizinan merupakan salah satu titik rawan kewenangan yang sering disalahgunakan.

Bila salah satu pertimbangan Kemenhub untuk mengambil alih kewenangan penerbitan pas kecil adalah karena banyaknya permasalahan di daerah yang menghambat pelayanan kepada masyarakat maka alasan tersebut dapat dipahami. Namun, ada baiknya jika ada koordinasi yang baik dengan pemerintah-pemerintah daerah otonom sebelum menarik kewenangan tersebut. Apakah setiap permasalahan implementasi kewenangan otonomi daerah yang terjadi mesti ditanggapi dengan mengambil alih kewenangan tersebut? Apakah ini adalah gejala dan langkah perlahan untuk kembali kepada sistem sentralistik? Selain itu, apakah dengan ditariknya kewenangan-kewenangan tersebut dapat menghilangkan berbagai permasalahan atau pun penyimpangan yang mungkin muncul di dalam proses pengurusan perizinan? Tentu hal ini masih dapat diperdebatkan mengingat berbagai permasalah yang juga muncul di lingkungan Kemenhub sendiri.

Yang terpenting, berkaca kepada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “negara Indonesia adalah negara hukum”, adalah bahwa penerbitan suatu produk hukum yang tingkatannya lebih rendah jangan sampai bertentangan dengan ketentuan hukum atau perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkinya. Dengan demikian, jangan sampai ada produk hukum yang lebih dibawah tingkatannya bisa mengangkangi peraturan yang memiliki hierarki lebih tinggi. Disarankan agar Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 39 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran Dan Kebangsaan Kapal terutama mengenai kewenangan penerbitan pas kecil ditinjau ulang. Jangan sampai memunculkan pertentangan akibat perebutan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Jangan sampai suara-suara lantang makin keras menggema, “Quo Vadis Otonomi daerah?” Jangan sampai pada suatu saat nanti yang tertinggal hanyalah istilah otonomi saja sedangkan kewenangannya tinggal kenangan_ AXL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun