Quo Vadis Otonomi Daerah? (Kritisi Terhadap Peraturan Menteri Perhubungan No. Pm 39 / 2017 : Kewenangan Penerbitan Pas Kecil)
Ditetapkannya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 39 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran Dan Kebangsaan Kapal pada tanggal 10 Mei 2017 membawa dampak yang cukup nyata dikaitkan dengan kewenangan daerah otonom, dalam hal ini adalah Kabupaten / Kota.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota telah memberikan otoritas kepada daerah Kabupaten / Kota untuk menjalankan kewenangan penerbitan pas kecil bagi kapal-kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut. Namun keluarnya PM 39/2017 mencabut kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom tersebut dan menariknya menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Apabila ditelaah, terdapat keganjilan di dalam PM 39/2017 jika dikaitkan dengan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan PP 38 / 2007 sebagaimana telah disebutkan diatas. UU 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah dalam lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perhubungan Sub Urusan Pelayaran tidak secara eksplisit mencabut atau mengalihkan kewenangan penerbitan pas kecil yang semula menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten / Kota kepada Pemerintah Pusat yakni Kemenhub.
Tidak ada satupun kalimat atau bahasa yang dengan gamblang menghilangkan kewenangan tersebut. Menilik lebih jauh, pada pasal 408 UU 23/2014 disebutkan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU 23/2014. Dengan demikian, diketahui bahwa ketentuan di dalam PP 38/2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota yang memberikan kewenangan kepada Kabupaten / Kota untuk menerbitkan pas kecil masih berlaku karena sampai saat ini belum ada PP penggantinya dan kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi yakni di dalam UU 23/2014.
Menjadi pertanyaan, mengapa Menteri Perhubungan mengeluarkan PM 39/2017 tanpa mempertimbangkan UU 23/2014 dan PP 38/ 2007 yang secara jelas tidak saling bertentangan? Di dalam dasar pertimbangan penerbitan PM 39/2017 disebutkan :
- bahwa melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2012 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal, telah diatur tata cara, persyaratan pendaftaran kapal serta penerbitan surat tanda kebangsaan kapal, dan
- bahwa dalam perkembangannnya perlu dilakukan penyesuaian terhadap pengaturan penerbitan akta atau dokumen pendaftaran kebangsaan kapal, sehingga akan berdampak pada peningkatan investasi di bidang perkapalan.
Terlihat disini bahwa dasar pertimbangan penerbitan PM 39/2017 tidak sedikitpun mempertimbangkan kewenangan otonomi yang dimiliki oleh Kabupaten / Kota berdasarkan PP 38/2007. Seakan-akan terjadi bahwa kewenangan penerbitan pas kecil hanyalah masalah sektoral perhubungan laut yang menjadi urusan internal Kemenhub. Padahal, jelas bahwa kewenangan penerbitan pas kecil oleh Kabupaten / Kota sampai saat ini masih memiliki dasar hukum (legal standing) yang kuat.
Dalam pertimbangan selanjutnya disebutkan bahwa perlu dilakukan penyesuaian terhadap pengaturan penerbitan akta atau dokumen pendaftaran kebangsaan kapal, sehingga akan berdampak pada peningkatan investasi di bidang perkapalan. Sebenarnya, penyesuaian yang dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan investasi di bidang perkapalan tidak harus dilaksanakan dengan mencabut kewenangan otonomi daerah Kabupaten / Kota dalam hal penerbitan pas kecil. Yang perlu dilakukan adalah koordinasi teknis yang selaras dan sejalan sehingga kebijakan dan tindakan yang diambil oleh daerah Kabupaten / Kota tidak menghambat investasi.
Selanjutnya, cukup aneh bahwa PM 39/2017 yang terbit 3 tahun semenjak terbitnya UU 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah tidak mengingat sedikitpun kewenangan otonomi daerah di dalam dasarnya. Peraturan Menteri Perhubungan ini hanya merujuk kepada UU 26/2007 Tentang Penataan Ruang dan UU 17/2008 Tentang Pelayaran. Kemudian, Peraturan Pemerintah yang dikutip hanya PP 51/2002 Tentang Perkapalan. Tidak ada PP 38/2007. Dengan demikian, tampak bahwa ketentuan hukum dan aturan-aturan yang mendasari terbitnya PM 39/2017 tidak lengkap dan sangat berkesan sentralistik karena diabaikannya kepentingan daerah. Menjadi miris bahwa sejak berakhirnya era Orde Baru dan munculnya era reformasi, sistem sentralistik yang dianut di zaman Orde Baru sudah dirombak dengan sistem otonomi daerah yang membagi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, namun kini secara perlahan kewenangan-kewenangan tersebut dicabut tanpa dasar yang jelas dan bahkan terlihat bertentangan aturan hukum yang lebih tinggi hierarkinya.
Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
- UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan MPR;
- UU / Perppu;
- Peraturan Pemerintah (PP);
- Peraturan Presiden (Perpres);
- Perda Provinsi; dan
- Perda Kabupaten / Kota;
Pada ayat (2) disebutkan bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Peraturan perundang-undangan menempatkan PP pada hierarki tertentu dan dengan demikian memiliki kekuatan hukum yang mengikat diatas Perpres, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten / Kota. PM 39/2017 tidak memiliki hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sehingga seharusnya, ketentuan-ketentuan di dalam PM 39/2017 tidak boleh menyalahi atau bertentangan dengan PP 38/2007 yang memiliki kedudukan hierarki lebih tinggi. Selanjutnya patut dinyatakan bahwa PM 39/2017 harus gugur secara otomatis.
Di sisi lain, terlepas dari disputemengenai kewenangan penerbitan pas kecil sebagaimana telah dijelaskan diatas, dapat diperkirakan bahwa kemungkinan langkah Kemenhub untuk mengambil alih kewenangan tersebut adalah sebagai akibat dari adanya masalah-masalah yang muncul dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam hal ini di sector perhubungan laut. Jujur harus diakui bahwa otonomi daerah memberikan kekuasaan yang luas kepada daerah otonom sehingga pada gilirannya memunculkan berbagai penyalahgunaan dan kesewenang-wenangan. Sampai saat ini sudah sekian banyak oknum kepala daerah maupun pejabat penyelenggara negara di daerah yang harus berurusan dengan hukum karena melakukan tindakan pidana. Penyalahgunaan kewenangan mereka ini banyak berkaitan dengan masalah perizinan dan pengadaan barang / jasa. Di level bawah, muncul berita-berita tangkap tangan terhadap oknum-oknum pegawai negeri sipil di daerah yang melakukan pungutan liar (pungli) terhadap berbagai permasalahan. Berbagai permasalahan ini membawa dampak negatif bagi masyarakat kepada aparat negara di daerah seperti tingkat kepercayaan yang menurun, wibawa yang luntur dan proses pengurusan yang berbelit-belit. Masyarakat bukannya merasa semakin mudah dalam melakukan urusannya dengan aparat pemerintah di daerah malah sebaliknya merasa khawatir akibat proses yang panjang dan pungutan liar yang menjamur. Intinya, masyarakat tidak merasakan manfaat otonomi daerah secara nyata. Perizinan merupakan salah satu titik rawan kewenangan yang sering disalahgunakan.
Bila salah satu pertimbangan Kemenhub untuk mengambil alih kewenangan penerbitan pas kecil adalah karena banyaknya permasalahan di daerah yang menghambat pelayanan kepada masyarakat maka alasan tersebut dapat dipahami. Namun, ada baiknya jika ada koordinasi yang baik dengan pemerintah-pemerintah daerah otonom sebelum menarik kewenangan tersebut. Apakah setiap permasalahan implementasi kewenangan otonomi daerah yang terjadi mesti ditanggapi dengan mengambil alih kewenangan tersebut? Apakah ini adalah gejala dan langkah perlahan untuk kembali kepada sistem sentralistik? Selain itu, apakah dengan ditariknya kewenangan-kewenangan tersebut dapat menghilangkan berbagai permasalahan atau pun penyimpangan yang mungkin muncul di dalam proses pengurusan perizinan? Tentu hal ini masih dapat diperdebatkan mengingat berbagai permasalah yang juga muncul di lingkungan Kemenhub sendiri.
Yang terpenting, berkaca kepada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “negara Indonesia adalah negara hukum”, adalah bahwa penerbitan suatu produk hukum yang tingkatannya lebih rendah jangan sampai bertentangan dengan ketentuan hukum atau perundang-undangan yang lebih tinggi hierarkinya. Dengan demikian, jangan sampai ada produk hukum yang lebih dibawah tingkatannya bisa mengangkangi peraturan yang memiliki hierarki lebih tinggi. Disarankan agar Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 39 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran Dan Kebangsaan Kapal terutama mengenai kewenangan penerbitan pas kecil ditinjau ulang. Jangan sampai memunculkan pertentangan akibat perebutan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Jangan sampai suara-suara lantang makin keras menggema, “Quo Vadis Otonomi daerah?” Jangan sampai pada suatu saat nanti yang tertinggal hanyalah istilah otonomi saja sedangkan kewenangannya tinggal kenangan_ AXL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H