Mohon tunggu...
Dicky Wibowo
Dicky Wibowo Mohon Tunggu... dokter hewan -

Instagram: Mlaku Wae Project / Menulis di www.mlakuwae.blogspot.co.id serta menulis fiksi di www.pawonfiksi.blogspot.co.id / dokter hewan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Saya Golput Karena...

17 April 2019   18:10 Diperbarui: 17 April 2019   18:15 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemilihan umum sudah berlangsung; terutama dalam pemilihan capres-cawapres, masing-masing kubu telah  mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya untuk mendapat simpati masyarakat. Banyak warga negara yang tetap berada di pilihannya semula dan mungkin banyak juga yang berpindah ke kubu lain, tentunya dengan alasan-alasan yang hanya diketahuinya sendiri dan bisa jadi tidak bisa dijelaskan menggunakan logika. 

Mungkin bisa diibaratkan dukungan terhadap salah satu kubu yang berkompetisi tersebut seperti iman dalam memeluk keyakinan. Kadang susah untuk tergoyahkan jika imannya kuat (bahkan bisa dibelanya mati-matian jika ada yang mengkritik apa yang dibelanya) dan kadang mudah untuk tergoyahkan jika imannya lemah.

Di luar dua kubu tersebut, tentunya terdapat warga negara yang tidak mau "nyemplung" dalam kompetisi pemilihan pemenang antara dua kubu atau paslon tersebut. Mereka inilah yang bisa dikatakan sebagai golongan putih alias golput. Banyak faktor yang mendasari warga negara golput tersebut; diantaranya adalah faktor subjektif (tidak menyukai pribadi masing-masing paslon) dan objektif (tidak menemukan keunggulan visi misi masing-masing paslon, tidak menemukan keunikan program-program masing-masing paslon, tidak ada paslon yang kemungkinan menerima aspirasinya, muak dengan sistem politik, muak dengan politik identitas yang ditonjolkan masing-masing paslon, dll).

Golput adalah sebuah kepastian dalam negara demokrasi, dan seperti halnya warga negara yang memilih salah satu paslon, golput juga merupakan hak politik warga negara dan merupakan bentuk kemerdekaan mengeluarkan pendapat yang merupakan bentuk hak asasi manusia serta dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 di pasal 28. 

Kemerdekaan mengeluarkan pendapat juga telah diatur dan dijamin oleh turunan UUD 1945; diantaranya adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Setinggi apapun jumlah warga negara yang golput tidak akan mengganggu paslon yang terpilih di Pemilu 17 April 2019. Menurut hemat penulis, golput di pemilihan umum tahun ini bisa jadi merupakan bentuk protes terhadap beberapa permasalahan dalam sistem politik, pemilihan umum, maupun rekam jejak masing-masing paslon. 

Jika nanti angka protest voters alias golput terlampau tinggi dari harapan, maka hendaknya semua pihak baik yang tengah berkompetisi, pembuat kebijakan dan semua dari kita merenungi akan sistem politik, pemilihan umum, dan apa yang telah kita perbuat dalam mendukung masing-masing paslon saat masa kampanye.

Terdapat keanehan di masa-masa kampanye pemilihan umum kali ini, yakni masing-masing pendukung paslon tidak lagi mempedulikan kebenaran sebuah fakta, atau dengan kata lain kebenaran hanya ditentukan berdasarkan emosi dan perasaan; tidak lagi berdasar nalar dan rasionalitas. Dan benar saja, hoax atau fitnah begitu mudahnya tersebar di media sosial dan grup-grup whatsapp. 

Mungkin juga kondisi ini berkorelasi dengan meningkatnya politik identitas menjelang pemilihan umum (bahkan sebenarnya sudah meningkat saat Pilkada DKI beberapa waktu lalu) serta kampanye hitam. Menurut penulis, hal-hal seperti ini merupakan cara-cara kotor mereka yang berkompetisi untuk meraup suara masyarakat. 

Dalam hal ini, yang diuntungkan adalah mereka yang memenangkan kompetisi, dan yang dirugikan tentunya masyarakat yang sudah kadung benci satu sama lain dan sudah kadung muncul gap yang dalam. Mereka yang nantinya menang, sudah pasti dan tentu tidak akan bisa dengan mudah mengubah gap yang sudah dalam tersebut. Inilah sejatinya luka Indonesia.

Juga, miris memang apa yang terjadi di Indonesia saat ini, ada yang menganggap pemilihan umum kali ini sebagai ajang perang yang boleh menghalalkan segala cara (bahkan sebenarnya perang pun ada aturannya), menganggap warga negara yang memilih kubu sebelah sebagai musuh agama tertentu, capres yang mengamankan suara mayoritas dengan menggandeng tokoh yang terkesan juga bermain di politik identitas. 

Kondisi-kondisi inilah (terutama politik identitas dan hilangnya nalar) yang membuat penulis muak dengan masa pemilihan umum kali ini, dan akhirnya memilih golput. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengajak siapa pun untuk tidak memilih dalam pemilihan umum 17 April 2019. Yang sudah mantab memilih silakan memilih, yang golput tidak usah dipaksa untuk memilih, dan yang golput juga tidak memaksa untuk golput. Inilah pesta demokrasi.

Kemudian lagi, banyak yang bilang bahwa warga negara yang golput tidak berhak melakukan "komplain" atau "protes" alias "kritik" pada pemerintahan terpilih. Menurut hemat penulis, pernyataan ini tampaknya kurang pas, karena warga negara yang golput juga merupakan warga negara yang membayar pajak, sehingga kritik dan protes merupakan hak mereka yang golput juga sebagai warga negara yang membayar pajak dan tinggal di republik ini. 

Kemudian, terdapat juga anggapan bahwa warga negara golput adalah "tidak nasionalis", dan anggapan ini menurut hemat penulis juga kurang pas, karena golput yang berkesadaran atau protest voters merupakan bentuk protes terhadap kekurang pantasan atau ketidakadilan pembuat kebijakan, mereka yang tengah berkompetisi dan para pendukungnya. 

Meskipun ada sekelompok masyarakat yang memilih golput karena alasan bahwa sistem demokrasi tidak sesuai dengan apa yang dianutnya (misalnya masyarakat yang tergabungi dengan HTI), dan mereka ini yang harusnya disebut sebagau "tidak nasionalis". Eh, tapi Pemilu kali ini, mereka, HTI, mungkin bisa jadi membela salah satu kubu karena iming-iming sebuah janji politik identitas, entahlah. 

Semoga pemilihan umum kali ini berjalan aman dan tenang, tidak ada huru-hara dan semua menikmati. Namun, sepertinya penulis agak skeptis terhadap "kelakuan" mereka para pendukung yang sudah terbius dalam fanatisme subjektif paslon. Mungkin bisa jadi ada paslon  yang kalah bersama pendukungnya akan berkoar-koar kalau dirinya dicurangi. Entahlah, semoga tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun