Mohon tunggu...
Penglaris Melengkung
Penglaris Melengkung Mohon Tunggu... Lainnya - RATED - W (- 00^00yo )

Didalam pikiran ini terdapat pikiran yang kepikiran!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Geni dan Raja Amurka

19 Februari 2024   22:43 Diperbarui: 19 Februari 2024   22:46 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari:https://wallpapersden.com

Siang itu, Geni meneteskan air matanya.  Para Algojo sedang mencambuk ayah Geni di atas tiang kayu. Punggungnya penuh luka terbuka menganga. Darah mengalir pelan dari luka-luka tersebut.

Tidak jauh dari ayah Geni, Raja Amurka juga memasung ibu Geni di halaman istana. Raja begitu marah, setelah Peramal Istana menubuatkan bahwa ia akan mati oleh seorang anak petani. Dan anak itu, Geni namanya.

"Katakan, tempat kau sembunyikan anakmu!"  Raja Amurka membentak pada ayah Geni. Sambil melotot seakan kedua bola matanya mau melompat dari cangkangnya.

"Aku belum mempunyai anak!" Seru ayah Geni. Wajahnya penuh keringat, mulutnya meneteskan liur. Matanya setengah terpejam karena menahan penderitaan teramat sangat.

"Bohong!. Aku melihatnya dalam ramalanku, Yang Mulia! Dia berbohong! Aku melihat keluarga petani dengan gelang kayu kelapa di tangannya" Peramal Istana menunjuk-nujuk muka ayah Geni.

"Cambuk lagi, sampai dia menunjukkan persembunyian anaknya!" Lalu Raja Amurka dan pengawalnya masuk ke istana.

"Geni, selamatkan dirimu!" Ibu Geni berbisik pelan. Dari kejauhan Geni bisa melihat gerak bibir ibunya.

Diantara kaki-kaki orang-orang dewasa, Geni menyelinap, menyaksikan kedua orang tuanya. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Bukankah kau adalah kobaran api matahari, Geni? Bukankah kau mampu membakar yang durjana?"

Suara itu muncul lagi dalam pikiran Geni. Geni menundukkan kepalanya, sambil berjalan pelan menjauhi keramaian halaman istana.

Matahari semakin terik. Siang itu terasa semakin panas. Geni terus berjalan menyusuri pinggiran jalan kota, menuju hutan untuk mencari suaka. Karena Geni kelelahan. Dia berhenti di sebuah rumah yang tak berpenghuni. Rumah itu cuma berisi kotoran kuda dan lalat saja. Karena kantuk tak tertahankan, Geni menyandarkan diri di dinding rumah tua itu.

"Kaulah api, Geni. Kaulah yang mampu membakar yang durjana!" Suara itu kembali muncul. Tetapi tidak ada siapa-siapa.

"Tunjukkan dirimu, hai suara! Siapakah kamu!" Geni berdiri dan mencari ke segala arah. Tak ada siapa-siapa. Namun, hanya kotoran kuda berserakan dan lalat yang beterbangan saja.

Kesedihan, amarah dan kekecewaan bertumpuk menjadi satu dalam hati Geni. Segalanya semakin tak tertahankan. Ingin sekali Geni berteriak dan menjerit, tetapi suara seorang anak kecil tak akan berarti apa-apa pada dunianya.

Dadanya terasa sesak. Geni merasa dirinya tidak tahan lagi. Seluruh kulitnya meletup-letup. Matanya mulai mengeluarkan asap. Kedua tangannya terkepal. Teringat Geni akan kedua orang tuanya yang disiksa Raja Amurka karena nubuat Peramal Istana.

"Besok pagi-pagi kita akan panen besar Geni! Akhirnya kita bisa menyerahkan panen kita pada Raja Amurka"  Ibu Geni mengelus rambutnya pelan.

"Tahun ini, kita akan berbakti pada Raja Amurka. Dan keluarga kita akan aman dalam lindungannya" Ayah Geni menepuk bahunya.

Betapa segalanya berubah seketika siang hari ini. Rasa benci, dendam, sakit hati, dan segala perasaan sakit berkumpul di dadanya. Semua perasaan itu berputar-putar di dada Geni hingga memercikkan api. Tubuh Geni mulai memercikan api.

"Jadilah aku Geni! Aku adalah kobaran api matahari. Api yang membakar yang durjana!" Dan seketika, muncullah sebuah bayangan berbentuk kepulan asap merah darah.

"Yang seharusnya melindungimu, malah menjadi siksamu. Hahahahaha!" Terdengarlah suara tawa yang menggetarkan ruangan rumah tua itu.

"Siapa kau! Tak tahukah aku sedang marah!" Suara Geni meradang. Semua percikkan api di tubuh Geni semakin besar.

"Bagus. Inilah saatnya membakar yang durjana! Bangun!" Kepulan asap merah itu kemudian memegang pundak Geni.

Geni segera menepis tangan kepulan asap itu. Lalu memukul kepulan asap merah itu dengan telapak tangannya.

"Pergi!" Geni mengusir kepulan asap merah itu dan meledakkan api yang membakar dari tubuhnya. Seketika, ruangan rumah tua tempat Geni penuh dengan api yang berkobar, bagaikan lautan yang  sedang mengamuk pada saat badai.

"Lalat!" Geni memukul pipinya sendiri. Tidak ada api. Ruangan rumah tua itu masih sama. Hanya berisi kotoran kuda dan lalat berterbangan.

Geni lalu melangkahkan kakinya. Geni segera melanjutkan perjalanan ke hutan. Matahari makin terik. Geni makin kelelahan. Sementara perjalanan ke hutan makin jauh. Tiba-tiba Geni mendengar suara kaki kuda dari kejauhan.

"Berhenti! Berhenti! Aku perintahkan berhenti!" Suara-suara orang begitu riuh berteriak dari kejauhan. Geni mencoba berlari. Tetapi terlambat, dua puluh orang pengawal kerajaan telah mengepungnya.

"Kau pasti Geni. Menyerahlah, kau pasti akan mendapat ampunan dari Raja Amurka!" Seorang pengawal berbadan kekar setinggi dua tombak menghentikannya.

"Bukan! Aku bukan Geni!" Dengan tangan kanannya, Geni menyapu wajahnya dari keringat.  Nasihat ibunya masih teringat selalu.

"Lihat, itu dia anak yang kita cari!" Ujar seorang pengawal yang bertubuh kurus kering. Seketika, semua pengawal kerajaan turun dari kudanya dan berusaha menangkap Geni.

"Aku adalah kobaran api matahari. Kobaran api yang membakar para durjana. Lihatlah ke matahari Geni!" Suara itu kembali terdengar di telinga Geni.

Geni segera melihat matahari. Tiba-tiba kilauan sinar matahari masuk kedalam matanya. Berteriak-teriak karena silau matahari. Saat kedua tangannya menutupi matanya, malah muncul percikkan api dari tubuhnya.

Semua perasaan sakit, dendam, marah dan kecewa malah menimbulkan kobaran api yang makin besar dan semakin besar. Kobaran api yang sulur-sulurnya bagaikan ular naga yang menjalar-jalar. Semua perasaan sakit itu meletup-letup di kulit dan dada Geni.

Blarrrrr! Sebuah ledakan beserta kobaran api meledak dan menghanguskan para pasukan pengawal kerajaan beserta kuda mereka.

Tubuh Geni masih berupa kobaran api. Dia tersenyum puas melihat korbannya telah hangus. Segera dia berbalik arah menuju Istana Raja Amurka.

"Aku adalah matahari dengan kobaran api. Kobaran api yang membakar para durjana!" Dan berjalanlah Geni menuju Istana Raja Amurka, sambil mengulang kalimat-kalimatnya tersebut. Segala yang dia lewati, terbakar. Segala yang dia temui, hangus.

"Berpestalah dengan amarahmu Geni. Bakarlah semua yang kamu temui. Hanguskan para durjana!" Lalu kepulan asap merah itu bergulung-gulung dari udara hampa, membentuk sebuah bayangan tubuh yang samar. Bayangan tubuh itu berpencar di sekeliling tubuh Geni. Kadang berjalan disamping atau dibelakang Geni.  Kadang malah berada di depannya.

"Keluar kau Raja Amurka! Saatnya aku membalas perlakuanmu pada keluargaku!" Geni berteriak di halaman Istana Raja Amurka. Semua orang yang menonton penyiksaan kedua orang tua Geni, berlarian ke seluruh penjuru kota. Mereka berhamburan, saling tabrak, saling injak. Mereka semua tahu, akhir cerita sudah di depan mata.

"Beraninya kau menantangku anak kecil!" Raja Amurka keluar dari istana dengan keduapuluh pengawalnya.

"Penggal kedua orang tuanya, agar jangan seenaknya menantang Raja!" Peramal Istana memberikan perintah. Dan seketika, kedua pedang Algojo melepaskan kedua kepala orang tua Geni.

"KAU RAJA YANG DURJANA!" Lalu Geni dan kepulan asap merah itu bersatu dan berubah menjadi raksasa. Terus membesar dan membesar sampai terus membakar istana dan semua orang disana. Semuanya terbakar, semuanya hangus.

Seakan belum puas, api itu semakin meluas. Berkobar, menjilat-jilat bagaikan lidah api neraka yang lapar akan tubuh para pendosa.

Blarrrrr! Api itu meledak dan mengeluarkan gelombang panas yang membakar dan menghanguskan segala yang dilaluinya. Kota dan istana berubah menjadi abu. Dan setelah terus menerus terbakar, berubah menjadi lautan pasir. Padang pasir yang luas dan hampa.

Api raksasa itu kemudian mengecil, mengecil dan semakin kecil. Sampai yang tersisa tinggal tubuh Geni berbaring di atas padang pasir, dengan mata terbelalak memandang angkasa . 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun