Blarrrrr! Sebuah ledakan beserta kobaran api meledak dan menghanguskan para pasukan pengawal kerajaan beserta kuda mereka.
Tubuh Geni masih berupa kobaran api. Dia tersenyum puas melihat korbannya telah hangus. Segera dia berbalik arah menuju Istana Raja Amurka.
"Aku adalah matahari dengan kobaran api. Kobaran api yang membakar para durjana!" Dan berjalanlah Geni menuju Istana Raja Amurka, sambil mengulang kalimat-kalimatnya tersebut. Segala yang dia lewati, terbakar. Segala yang dia temui, hangus.
"Berpestalah dengan amarahmu Geni. Bakarlah semua yang kamu temui. Hanguskan para durjana!" Lalu kepulan asap merah itu bergulung-gulung dari udara hampa, membentuk sebuah bayangan tubuh yang samar. Bayangan tubuh itu berpencar di sekeliling tubuh Geni. Kadang berjalan disamping atau dibelakang Geni. Â Kadang malah berada di depannya.
"Keluar kau Raja Amurka! Saatnya aku membalas perlakuanmu pada keluargaku!" Geni berteriak di halaman Istana Raja Amurka. Semua orang yang menonton penyiksaan kedua orang tua Geni, berlarian ke seluruh penjuru kota. Mereka berhamburan, saling tabrak, saling injak. Mereka semua tahu, akhir cerita sudah di depan mata.
"Beraninya kau menantangku anak kecil!" Raja Amurka keluar dari istana dengan keduapuluh pengawalnya.
"Penggal kedua orang tuanya, agar jangan seenaknya menantang Raja!" Peramal Istana memberikan perintah. Dan seketika, kedua pedang Algojo melepaskan kedua kepala orang tua Geni.
"KAU RAJA YANG DURJANA!" Lalu Geni dan kepulan asap merah itu bersatu dan berubah menjadi raksasa. Terus membesar dan membesar sampai terus membakar istana dan semua orang disana. Semuanya terbakar, semuanya hangus.
Seakan belum puas, api itu semakin meluas. Berkobar, menjilat-jilat bagaikan lidah api neraka yang lapar akan tubuh para pendosa.
Blarrrrr! Api itu meledak dan mengeluarkan gelombang panas yang membakar dan menghanguskan segala yang dilaluinya. Kota dan istana berubah menjadi abu. Dan setelah terus menerus terbakar, berubah menjadi lautan pasir. Padang pasir yang luas dan hampa.
Api raksasa itu kemudian mengecil, mengecil dan semakin kecil. Sampai yang tersisa tinggal tubuh Geni berbaring di atas padang pasir, dengan mata terbelalak memandang angkasa .Â