Geni segera menepis tangan kepulan asap itu. Lalu memukul kepulan asap merah itu dengan telapak tangannya.
"Pergi!" Geni mengusir kepulan asap merah itu dan meledakkan api yang membakar dari tubuhnya. Seketika, ruangan rumah tua tempat Geni penuh dengan api yang berkobar, bagaikan lautan yang  sedang mengamuk pada saat badai.
"Lalat!" Geni memukul pipinya sendiri. Tidak ada api. Ruangan rumah tua itu masih sama. Hanya berisi kotoran kuda dan lalat berterbangan.
Geni lalu melangkahkan kakinya. Geni segera melanjutkan perjalanan ke hutan. Matahari makin terik. Geni makin kelelahan. Sementara perjalanan ke hutan makin jauh. Tiba-tiba Geni mendengar suara kaki kuda dari kejauhan.
"Berhenti! Berhenti! Aku perintahkan berhenti!" Suara-suara orang begitu riuh berteriak dari kejauhan. Geni mencoba berlari. Tetapi terlambat, dua puluh orang pengawal kerajaan telah mengepungnya.
"Kau pasti Geni. Menyerahlah, kau pasti akan mendapat ampunan dari Raja Amurka!" Seorang pengawal berbadan kekar setinggi dua tombak menghentikannya.
"Bukan! Aku bukan Geni!" Dengan tangan kanannya, Geni menyapu wajahnya dari keringat. Â Nasihat ibunya masih teringat selalu.
"Lihat, itu dia anak yang kita cari!" Ujar seorang pengawal yang bertubuh kurus kering. Seketika, semua pengawal kerajaan turun dari kudanya dan berusaha menangkap Geni.
"Aku adalah kobaran api matahari. Kobaran api yang membakar para durjana. Lihatlah ke matahari Geni!" Suara itu kembali terdengar di telinga Geni.
Geni segera melihat matahari. Tiba-tiba kilauan sinar matahari masuk kedalam matanya. Berteriak-teriak karena silau matahari. Saat kedua tangannya menutupi matanya, malah muncul percikkan api dari tubuhnya.
Semua perasaan sakit, dendam, marah dan kecewa malah menimbulkan kobaran api yang makin besar dan semakin besar. Kobaran api yang sulur-sulurnya bagaikan ular naga yang menjalar-jalar. Semua perasaan sakit itu meletup-letup di kulit dan dada Geni.