Mohon tunggu...
Dicky Pirmansyah
Dicky Pirmansyah Mohon Tunggu... Guru - Dicky

Dicky Pirmansyah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Hukum Waris di Indonesia

14 September 2021   18:26 Diperbarui: 14 September 2021   18:31 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

LATAR BELAKANG

Perkembangan kewarisan (hukum waris) Islam di Indonesia merupakan suatu hal yang unik, sebab dalam proses perkembangannya itu melibatkan perdebatan yang panjang dan melelahkan. 

Tarik menarik pengaruh tiga sumber hukum, yaitu hukum Islam, hukum adat dan hukum Eropa (Barat/Belanda) berlangsung sejak dini, sejak masa kerajaan Islam dan terus berlangsung hingga kini. Ada banyak teori dimunculkan dalam rangka pemberlakuan hukum waris tersebut, terutama pada masa penjajahan Belanda. Teori-teori itu tanpaknya ditujukan lebih pada upaya untuk memposisikan hukum waris Islam dalam masyarakat, di antara hukum waris yang lainnya. 

Ada teori recepcio in complexu. Teori ini tampaknya menggambarkan keadaan umat Islam saat itu, yang memberlakukan hukum Islam pada diri mereka, termasuk hukum waris. 

Karena itu, ketentuan hukum yang berlaku pada orang Islam pada saat itu seharusnya adalah hukum waris Islam. Namun, tampaknya Belanda tidak terlalu senang dengan pemberlakuan hukum Islam tersebut, karena itu dimunculkanlah teori baru, yaitu teori receptie, yang menegaskan bahwa hukum waris Islam dapat berlaku orang Islam jika telah diresepsi (diterima) oleh hukum adat. teori inilah yang mempengaruhi politik hukum Belanda selama masa penjajahan.

Meskipun sempat mengalami stagnasi, wacana tentang kewarisan Islam kembali marak setelah masa penjajahan, terutama untuk menolak teori receptie itu. Tokoh Islam yang paling berjasa dalam hal ini tampaknya adalah Hazairin, yang pernah menyebut teori receptie sebagai "teori iblis". '

Hazairin kemudian diikuti oleh pemikir-pemikir muslim lainnya, seperti Munawir Sjadzali dan lain-lain, hingga akhirnya sekarang hukum waris Islam dapat diberlakukan dengan dimasukkannya kewarisan Islam itu sebagai salah satu bagian dari kewenangan peradilan Agama untuk memutuskannya. Karena itu, tampaknya menarik untuk mengikuti perkembangan hukum kewarisan itu semenjak sebelum penjajahan hingga sekarang.

SEJARAH KEWARISAN INDONESIA PADA MASSA KERAJAAN HINDU dan BUDHA

Indonesia sebagai negara kepulauan letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia. Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia. Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu--Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori yaitu antara lain:

Teori Brahmana, diutarakan oleh J.C.van Leur berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana karena hanyalah kaum Brahmana yang berhak mempelajari dan mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan kaum Brahmana tersebut diduga karena undangan penguasa/kepala suku di Indonesia atau sengaja datang untuk menyebarkan agama Hindu ke Indonesia.

Teori Ksatria, diutarakan oleh Prof. Dr. Ir. J.L. Moens berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di India abad 4-5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia.

Teori Waisya, diutarakan oleh Dr. N.J. Krom, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum pedagang yang datang untuk berdagang ke Indonesia, bahkan diduga ada yang menetap karena menikah dengan orang Indonesia.

Teori Sudra diutarakan oleh agama hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh golongan sudra. Teori ini dikemukakan oleh Bosch. Bertujuan mengubah kehidupan karena di India hanya menjadi pekerja kasar.

Teori Arus Balik dikemukakan oleh FDK. Bosch. Hipotesis ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia.

Teori gabungan merupakan gabungan dari semua teori yang bertujuan menyebarkan agama Hindu-Budha ke Indonesia tanpa meninggalkan tugas masing-masing. 

SEJARAH KEWARISAN INDONESIA PADA MASSA KEMERDEKAAN

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan diri merdeka, dan pada tangga 18 Agustus 1945 hasil rumusan rancngan Undang-Undang Dasar oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonseia (Panitia sembilan) disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Dengan kemerdekaan Indonesia, berpengaruh terhadap sistem hukum di Indonesia. 

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang 1945 ditekankan bahwa hukum warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hazairin memahami pasal tersebut bahwa hukum kolinial Belanda yang hasil pruduk teori receptie dianggap tidak berlaku lagi dan harus exit karena bertentangan dengan Alquran dan Sunnah Rasul (teori receptie exit).

Perkembangan selanjutnya, ahli hukum Islam Indonesia berusaha agar bagaimana sehingga hukum Islam itu menjadi hukum nasional. Hukum Islam diupayakan untuk dijadikan sebagai salah satu sumber di samping hukum Eropa dan hukum Adat. 

Dengan populasi warga Negara Indonesia mayoritas beragama Islam, dan dalam mememahami ajaran agamanya bersifat totalitas. Karena itu, tidak boleh dipisahkan nilai-nilai hukum Islam dari doktrin agama Islam. S

uatu realitas sejarah yang mendorong ahli hukum nasional, Hazairin mengajukan teori kewarisan bilateral dan konsep mawali. Dengan keahliannya bidang hukum, Hazairin mengetahui betul bagaimana kondisi hukum Islam di Indonesia bila dikaitkan dengan hukum adat. Teori Receptie yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX telah menjadikan hukum Islam tersingkir oleh hukum adat. Oleh karena itu Hazairin tidak segan-segan lagi untuk menyebut teori itu sebagai "teori Iblis". 

Sebagai sanggahan atas teori ini ia kemudian mencanangkan teori Receptie Exit. [1], yang kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sayuti Thalib, dengan teori Receptie a Contrario.[2]Dalam memahami keyakinan tersebut, Sayuti Thalib menyebutkan bahwa 1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral; 3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. 

Adapun ide pembaharuan dalam hukum waris yang dicetuskan Hazairin pada intinya berintikan: pertama, ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. 

Jadi, selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk atau pun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. 

Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini. ketiga, ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). 

Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup). Berdasarkan teori ini Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, yakni: zawu al-faraid, zawu al-qarabat, dan mawali. Zawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam al-Qur'an. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian. 

Adapun zawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. Sedangkan mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di-istinbat-kan dari Q.S. al-Nisa (4): 33. Adanya mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris). 

Dimaksudkan dengan mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.

Pada akhir tahun 1989 dengan perjuangan politik yang alot oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan komitmen Pemerintah untuk menjadikan pengadilan agama mempunyai kedudukan, tugas dan fungsi yang sederajat  dengan pengadilan yang lain ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dengan memiliki kewenagan dalam perkara perkawinan, waris, wasiat, wakaf dan hibah berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sadakah (Pasal 49).  

Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang amndemen UU Nomor 7 Tahun 1989 kata berdasarkan hukum Islam dihilangkan, maka pengadilan agama memiliki kewenangan dalam perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,  zakat, infak, dan sedakah. Puncak perkembangan hukum waris Islam di Indonesia dengan disusun Kompilasi Hukum Islam menjadi pedoman bagi masyarakat Islam Indonesia dan hakim pengadilan agama dalam menerima, memeriksa dan memutuskan perkara. Kompilasi Hukum Islam (KHI) hasil ijtihad jam'i (pendapat kolektif) para kalangan  ahli hukum  Islam  Indonesia keberlakuannya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, 

dalam pertimbangan yuridis Kompilsi Hukum Islam (KHI) dikatakan berlaku bagi Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. Instruksi Presiden tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991,  meminta kepada seluruh Instansi Departemen Agama, terutama Peradilan Agama dan Instansi Pemerintah lain yang terkait untuk menyebarluaskan KHI dimaksud  dan sedapat mungkin menerapkan kompilasi tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya. 

Walaupun Instruksi Presiden tidak termasuk dalam hirarki perundang-undangan, namun setidaknya menjadi dasar awal untuk menerapkan hukum Islam secara nasional. 

Menurut Hasan Basri, kompilasi hukum Islam ini merupakan keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada pemerintahan orde baru. Dengan  demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fikih yang seragam dan telah menjadi hukum positif  yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. 

Dengan ini, dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga pengadilan agama, juga masalah khilafiyah yang disebabkan oleh masalah fikih akan diakhiri. 

Menurut M. Yahya Harahap  tujuan penyusunan KHI adalah : (a) untuk merumuskan secara sistimatis hukum Islam di Indonesia secara konkrit; (b) guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan peradilan agama; (c) sifat kompilasi berwawasan nasional yang akan diperlakukan bagi seluruh masyarakat Islam Indonesia apabila timbul sengketa di dalam sidang peradilan agama; (d) sekaligus akan dapat terbina  penegakan kepastian hukum yang lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas masyarakat Islam. 

Kewarisan  dalam KHI   sebgai peruwujudan dari cita-cita hukum dan cita-cita batin umat Islam Indonesia diharapkan memberikan jaminan kepastian hukum yang dapat  melahirkan ketaatan uamat Islam atas aturan-aturan tersebut.  Ketaatan masyarakat didasarkan sejaumana nilai-nilai hukum itu kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang dianutnya dalam kehidupan sehari-sehari. Ketaatan hukum lahir dari suatu proses pemberlakuan hukum, yang oleh Soerjono Soekanto dikenal tiga keberlakuan hukum, yaitu keberlakuan yuridis, keberlakun filosofis dan keberlakuan sosiologis.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh. Jakarta: LP3S, 1977.

Harahap, M. Yahya.Mimbar Hukum Nomor 5/III. Jakarta: Departemen Agama RI, 1992.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun