Mohon tunggu...
Serigalapemalas
Serigalapemalas Mohon Tunggu... Wiraswasta - Nihilistik

Penulis pemalas yang nggak suka-suka amat menulis

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Sadar Kesehatan Mental dengan Mengurangi Bermain Instagram

5 Februari 2020   13:15 Diperbarui: 5 Februari 2020   18:52 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Batas maksimal penggunaan media sosial adalah setengah sampai satu jam  setiap harinya.

Di media sosial, orang-orang berlomba memamerkan kehidupan pribadinya yang luar biasa pada teman, followers, bahkan dunia.

Manifestasi diri ini memang wajar, sebab hakikat utama media sosial kontemporer memang demikian. Meski sebenarnya ada yang perlu kita perhatikan, terutama dampaknya bagi kesehatan mental.

Fenomena megah kehidupan selebgram maupun cerita teman masa sekolah dengan kesuksesannya, berpotensi membuat pengguna lain merasa iri hati atau justru mendiagnosis diri dengan penilaian negatif. Yang akhirnya, berujung pada depresi dan rasa tak pernah puas dengan apa yang dimiliki.

Baca Juga: Bagaimana Cara Membuat Klub Indonesia Berjaya di Kompetisi Asia

Iklim negatif yang dipaparkan media sosial mungkin menjadi alasan mengapa banyak CEO kelas kakap mulai menghapus satu persatu akun media sosial mereka. Salah satunya Elon Musk.

Tokoh teknologi futuristik ini telah lama menghapus akun Instagram dan Twitter pribadinya. Alibi yang dijabarkan juga masuk akal.

Menurut pandangan personalnya, Instagram khususnya, memiliki efek negatif yang membuat seseorang termakan dengan kehidupan orang lain.

Padahal, awal mula diciptakannya media sosial untuk memberikan informasi faktual yang bermanfaat dan terkoneksi dengan orang lain.

Namun, fakta sekarang, efek negatif lebih banyak mengembang dengan liar di media sosial ketimbang manfaat yang dirasakan.

Banyak Kawula Muda yang jarang membuka Instagram

Efek negatif instagram ternyata tidak dirasakan oleh tokoh dunia saja. Tapi, banyak milenial dan generasi z awal (1997-1999) tidak lagi atau jarang membuka instagram.

Hal ini saya dapatkan setelah membuat riset kecil dengan mengirim pertanyaan seputar tingkat keaktifan warganet twitter di instagram ke salah satu akun auto menfess di twitter.

Hasilnya, dari 10 pengguna yang menjawab serius, 5 di antaranya sudah tidak lagi membuka instagram. 3 masih membuka dibawah 1 jam sehari sekadar untuk stalking maupun menjadi tempat referensi toko online dan 2 sisanya masih getol membuka instagram karena dianggap mengikuti perkembangan.

5 orang yang sudah tidak lagi memiliki akun instagram, mereka beralibi bahwa Instagram memiliki daya Toxic yang tinggi pada kehidupan mereka.

Sebab, saat mereka masih memiliki akun instagram, selalu ada dorongan untuk memamerkan sesuatu, baik di insta story maupun isi feed instagram pribadi.

Selain itu, setelah dikonfirmasi lebih lanjut, mereka yang memilih menonaktifkan akun instagram merasa terganggu dan sering menimbulkan penyakit hati saat melihat keberhasilan para teman sekolah, kerabat atau yang memiliki relasi kuat dengan mereka.

Dampak tersebut juga berpengaruh pada kehidupan pribadi mereka karena mengikis rasa percaya diri, menambah rasa kurang bersyukur, mendiagnosis diri dengan pandangan negatif dan berujung pada rasa tak berharga serta depresi.

Maka, tak ada salahnya memang jika menonaktifkan akun instagram demi kehidupan yang lebih bahagia menjadi pilihan utama mereka.

Sementara itu, 3 orang yang masih memiliki akun instagram namun jarang menggunakannya selama lebih dari satu jam setiap hari, beralasan masih membutuhkan instagram untuk mencari informasi soal lowongan kerja, tren, belanja online atau informasi sejenis yang masih relevan.

Selain itu, instagram dalam pandangan mereka jadi tempat untuk mengetahui segala aktifitas teman dan publik figur maupun tim sepakbola favorit.

Meskipun, mereka tak menampik jika instagram memiliki dampak negatif pada kehidupan mereka. Baik secara mental atau pikiran.

Kembali kepada 5 orang yang tak memiliki instagram, Dengan menutup akun miliknya, kehidupan mereka menjadi lebih tenang.

Sebab, tuntutan membuat postingan fotogenik di tempat yang instagrammable maupun hasrat ingin memamerkan sesuatu yang berharga dan menyenangkan, telah hilang. 

Buntutnya, mereka lebih suka mengekspresikan diri di twitter dengan menjadi diri sendiri secara sederhana, serta menjadi tempat menggali informasi yang aktual dan cepat daripada kembali ke pangkuan instagram.

Sebab, kadar toxic dan perbedaan netizen antara kedua media sosial itu yang sangat berbeda, menjadi dorongan kuat lain di samping reputasi instagram yang memburuk beberapa tahun terakhir: Dari perang komentar yang berujung menyeret ras dan agama maupun rentannya berita hoaks yang tersebar.

Hal demikianlah yang menjadi deretan dalih mengapa 5 responden tadi lebih memilih meninggalkan instagram.

Tak Selamanya Mudarat

Meskipun demikian, bukan berarti keberadaan instagram sepenuhnya tanpa manfaat.

Sebab, dengan selektif memilih publik figur untuk diikuti dan mampu menyaring segala informasi dengan bijak, Instagram menjadi tempat yang tepat untuk menemukan informasi yang cepat maupun sekadar melepas penat dari rutinitas harian selepas kerja.

Asalkan, frekuensi penggunaannya juga diperhatikan. Jangan sampai, melewati batas dan malah terbenam selama berjam-jam melihat kehidupan pribadi orang lain di instagram yang sanggup merusak kesehatan mental kita.

Lazimnya, menurut Philip Cushman, psikoterapis dari California School of Professional Psychology, yang dilansir dari website hellosehat.com, batas maksimal penggunaan media sosial adalah setengah sampai satu jam  setiap harinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun