Buntutnya, mereka lebih suka mengekspresikan diri di twitter dengan menjadi diri sendiri secara sederhana, serta menjadi tempat menggali informasi yang aktual dan cepat daripada kembali ke pangkuan instagram.
Sebab, kadar toxic dan perbedaan netizen antara kedua media sosial itu yang sangat berbeda, menjadi dorongan kuat lain di samping reputasi instagram yang memburuk beberapa tahun terakhir: Dari perang komentar yang berujung menyeret ras dan agama maupun rentannya berita hoaks yang tersebar.
Hal demikianlah yang menjadi deretan dalih mengapa 5 responden tadi lebih memilih meninggalkan instagram.
Tak Selamanya Mudarat
Meskipun demikian, bukan berarti keberadaan instagram sepenuhnya tanpa manfaat.
Sebab, dengan selektif memilih publik figur untuk diikuti dan mampu menyaring segala informasi dengan bijak, Instagram menjadi tempat yang tepat untuk menemukan informasi yang cepat maupun sekadar melepas penat dari rutinitas harian selepas kerja.
Asalkan, frekuensi penggunaannya juga diperhatikan. Jangan sampai, melewati batas dan malah terbenam selama berjam-jam melihat kehidupan pribadi orang lain di instagram yang sanggup merusak kesehatan mental kita.
Lazimnya, menurut Philip Cushman, psikoterapis dari California School of Professional Psychology, yang dilansir dari website hellosehat.com, batas maksimal penggunaan media sosial adalah setengah sampai satu jam  setiap harinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H