Lalu, apa sebenarnya yang membuat seorang leader bersikap subyektif? Mari kita lihat beberapa faktor penyebabnya.
Hubungan Personal
Salah satu penyebab paling umum dari subyektivitas adalah hubungan personal antara leader dan bawahannya. Mungkin leader tersebut punya hubungan pertemanan atau ikatan emosional yang lebih kuat dengan beberapa anggota tim. Ini bisa menyebabkan mereka memberikan perlakuan khusus yang tidak seharusnya. Ketika seseorang lebih dekat secara personal, leader mungkin merasa enggan untuk memberikan kritik yang tajam atau sanksi ketika orang tersebut membuat kesalahan.
Hubungan personal seperti ini sering kali muncul tanpa disadari, tapi dampaknya sangat terasa di lingkungan kerja. Hal ini bisa menimbulkan favoritisme yang sangat jelas di mata anggota tim lain.
Ketidakmampuan Memisahkan Perasaan Pribadi dari Profesional
Beberapa leader kesulitan untuk memisahkan perasaan pribadi dari urusan profesional. Mereka mungkin tidak menyadari kalau preferensi pribadi atau ketidaksukaan mereka terhadap seseorang bisa memengaruhi penilaian mereka. Misalnya, seorang leader yang tidak suka dengan gaya komunikasi seorang anggota tim bisa saja lebih sering memberikan kritik terhadap orang tersebut, meskipun kinerjanya tidak seburuk yang dibayangkan.
Tanpa kemampuan untuk membedakan antara perasaan dan fakta, seorang leader akan sangat rentan terjebak dalam subyektivitas.
Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman masa lalu juga bisa mempengaruhi bagaimana seorang leader menilai bawahannya. Kalau seorang bawahan pernah bekerja sangat baik di masa lalu, leader mungkin terus memandangnya dengan positif, bahkan kalau performa saat ini tidak sebaik sebelumnya. Sebaliknya, pengalaman buruk dengan seseorang bisa menyebabkan leader punya bias negatif yang sulit dihilangkan.
Subyektivitas seperti ini bisa membentuk "label" yang ditempelkan pada seorang bawahan, di mana mereka selalu dianggap bagus atau buruk tanpa melihat kinerja terkini.
Kurangnya Keterampilan Evaluasi
Seorang leader juga bisa bersikap subyektif kalau mereka tidak punya keterampilan evaluasi yang baik. Tanpa kriteria yang jelas atau tanpa pelatihan yang cukup, mereka cenderung menilai berdasarkan insting atau perasaan mereka, bukan berdasarkan data dan fakta. Ini sangat umum terjadi pada leader yang kurang berpengalaman atau yang tidak terbiasa menggunakan alat evaluasi formal seperti Key Performance Indicators (KPI).
Tanpa adanya alat yang tepat, subyektivitas akan selalu muncul, karena leader tidak punya panduan yang obyektif dalam menilai kinerja tim.
Tekanan atau Pengaruh Eksternal
Kadang-kadang, subyektivitas muncul karena adanya tekanan dari luar. Misalnya, seorang leader mungkin mendapat tekanan dari atasan atau dari politik internal perusahaan untuk menganakemaskan bawahan tertentu. Pengaruh eksternal ini bisa menyebabkan leader bertindak tidak adil terhadap bawahan lain, karena ada kepentingan lain yang harus dijaga.
Conflicts of Interest
Subyektivitas juga bisa disebabkan oleh adanya konflik kepentingan. Misalnya, leader yang punya hubungan bisnis pribadi dengan salah satu bawahan mungkin akan memberikan penilaian lebih baik kepada orang tersebut untuk melindungi kepentingan pribadi mereka. Konflik kepentingan seperti ini sangat merusak, karena biasanya melibatkan keuntungan finansial atau emosional yang mengalahkan kebutuhan profesional.