Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Talks about worklife and business. Visit my other blog: scmguide.com

-

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Punya Jabatan Rendah Saja Sudah Arogan, Apalagi Dikasih yang Tinggi

19 Juli 2024   07:50 Diperbarui: 20 Juli 2024   10:02 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kehidupan sehari-hari, sering kali kita bertemu dengan individu yang tampak angkuh, merasa lebih tinggi, dan cenderung mengintimidasi orang di sekitarnya. Mereka mungkin menggunakan kekuasaan yang mereka punya, sering kali melupakan posisi sebenarnya dan melampaui batas-batas yang seharusnya ada.

Fenomena ini tidak cuma menimbulkan ketidaknyamanan, tapi juga mengundang pertanyaan: mengapa ada orang yang berperilaku seperti ini?

Ilusi Kekuasaan: Mengapa Hal Ini Terjadi?

Ilusi kekuasaan sering kali muncul dari kompleksitas psikologis yang mendalam. Individu yang terjebak dalam ilusi ini cenderung mengaitkan nilai dan identitas mereka secara eksklusif dengan jabatan atau posisi yang mereka punya di lingkungan kerja atau sosial.

Mereka mungkin percaya kalau semakin tinggi posisi mereka, semakin besar juga nilai dan kepentingan diri mereka dalam hierarki organisasi atau masyarakat.

Hal ini sering kali membuat mereka terjebak dalam siklus di mana mereka terus menegaskan otoritas dan kekuasaan mereka, meskipun pada kenyataannya mereka mungkin tidak lagi efektif atau relevan dalam peran mereka.

Persepsi ini bisa mempengaruhi cara individu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Mereka mungkin cenderung menggunakan kekuasaan yang mereka punya untuk menekan atau mengintimidasi orang lain, sebagai cara untuk mempertahankan atau meningkatkan status mereka yang mereka anggap sangat penting.

Sikap angkuh ini tidak cuma menciptakan ketidakseimbangan dalam dinamika sosial di tempat kerja atau dalam masyarakat, tapi juga bisa merusak hubungan interpersonal dan menghambat kolaborasi yang sehat.

Kondisi seperti ini juga mencerminkan adanya ketidakamanan yang mendasar di dalam individu tersebut.

Perasaan tidak aman atau kurangnya kepercayaan diri mungkin mendorong mereka untuk mengandalkan posisi atau jabatan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi atau nilai mereka.

Dengan begitu, ilusi kekuasaan tidak cuma menjadi masalah psikologis individu, tapi juga mencerminkan dinamika yang kompleks dalam budaya organisasi dan sosial tempat individu tersebut berada.

Faktor Psikologis yang Berperan

Beberapa faktor psikologis turut memainkan peran penting dalam perilaku angkuh ini.

Identifikasi Fusion

Identifikasi fusion adalah fenomena di mana individu sangat mengidentifikasi diri mereka dengan organisasi atau posisi mereka di dalamnya.

Ini berarti kalau mereka tidak cuma melihat diri mereka sebagai individu yang bekerja untuk suatu organisasi, tapi juga merasakan kalau identitas dan nilai diri mereka sepenuhnya tergantung pada jabatan atau status tersebut.

Dalam konteks ini, mereka cenderung menyatukan identitas pribadi mereka dengan identitas organisasional atau jabatan yang mereka punya.

Fenomena ini bisa mengakibatkan individu menganggap setiap tantangan terhadap otoritas mereka di tempat kerja sebagai ancaman terhadap identitas pribadi mereka yang terikat erat dengan posisi atau jabatan tersebut.

Hal ini sering kali memicu respons defensif atau perilaku angkuh yang bertujuan untuk mempertahankan dan memperkuat posisi mereka dalam hierarki organisasi.

Ketidakamanan

Ketidakamanan sering kali menjadi pendorong utama di balik perilaku angkuh dalam konteks tempat kerja atau sosial.

Individu yang merasa tidak aman sering kali mencari cara untuk mengatasi atau menyembunyikan ketidakpercayaan diri mereka dengan menunjukkan dominasi atau kekuasaan.

Dalam konteks ini, posisi atau jabatan bisa menjadi alat untuk memperkuat rasa nilai diri yang rapuh, karena mereka percaya kalau semakin tinggi posisi mereka, semakin besar keamanan atau pengakuan yang mereka dapatkan dari orang lain.

Ketidakamanan ini tidak selalu jelas terlihat secara langsung; seringkali, individu tersebut mungkin menutupi ketidakpastian mereka dengan perilaku yang menonjol atau angkuh.

Mereka mungkin merasa perlu untuk terus menegaskan otoritas mereka atau menunjukkan superioritas atas orang lain sebagai bentuk perlindungan diri dari ancaman yang dirasakan terhadap identitas atau harga diri mereka.

Oleh karena itu, mengakui peran ketidakamanan dalam mempengaruhi perilaku angkuh bisa membantu kita memahami kompleksitas dinamika interpersonal di lingkungan kerja maupun dalam interaksi sosial sehari-hari.

Budaya Organisasi

Budaya organisasi memainkan peran penting dalam membentuk perilaku angkuh di tempat kerja. Budaya tersebut mencakup nilai-nilai, norma, dan sikap yang dianut dan dipraktikkan oleh anggota organisasi.

Tempat kerja yang menekankan hierarki yang kuat atau dinamika kekuasaan cenderung memupuk perilaku angkuh di antara karyawannya.

Dalam budaya yang menekankan hierarki, karyawan mungkin memandang jabatan atau posisi sebagai sumber kekuatan yang memberi mereka hak untuk mengendalikan atau mengatur orang lain.

Hal ini bisa memicu perilaku dominan atau merendahkan yang didasarkan pada posisi mereka dalam struktur organisasi.

Selain itu, budaya yang tidak mempromosikan saling menghargai atau kerendahan hati bisa menguatkan perilaku angkuh, karena individu mungkin merasa kalau angkuh atau merendahkan orang lain adalah cara yang diterima untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi mereka dalam hierarki.

Peran budaya organisasi dalam membentuk perilaku angkuh menunjukkan kalau tidak cuma faktor individual seperti kepribadian atau pengalaman pribadi yang mempengaruhi, tapi juga konteks organisasional yang lebih luas.

Oleh karena itu, membangun budaya kerja yang inklusif, di mana nilai-nilai seperti empati, kolaborasi, dan penghargaan terhadap kontribusi setiap individu dihargai, bisa membantu mengurangi prevalensi perilaku angkuh dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan produktif.

Dampaknya pada Lingkungan Kerja dan Masyarakat

Perilaku angkuh di tempat kerja tidak cuma mempengaruhi dinamika internal organisasi, tapi juga punya dampak yang signifikan pada lingkungan kerja dan masyarakat secara lebih luas.

Di tingkat organisasi, perilaku angkuh bisa menciptakan atmosfer yang toksik dan tidak menyenangkan. Ini bisa menghambat kolaborasi antar tim, mengurangi semangat kerja karyawan, dan bahkan mempengaruhi produktivitas secara keseluruhan.

Ketika karyawan merasa terintimidasi atau merasa tidak dihargai karena perilaku angkuh dari sesama rekan kerja atau atasan, hal ini juga bisa menghambat inovasi dan penciptaan solusi kreatif dalam lingkungan kerja.

Di luar lingkungan kerja, perilaku angkuh bisa mempengaruhi interaksi sosial dan harmoni dalam masyarakat.

Individu yang sering menggunakan kekuasaan atau posisi mereka untuk merendahkan orang lain mungkin menyebabkan konflik interpersonal dan ketegangan dalam komunitas.

Selain itu, ketika perilaku angkuh menjadi norma atau dibiarkan tanpa tindakan, hal ini bisa merusak nilai-nilai sosial seperti kesetaraan, saling menghormati, dan keadilan yang merupakan fondasi dari masyarakat yang berfungsi dengan baik.

Oleh karena itu, memahami dampak dari perilaku angkuh tidak cuma penting untuk meningkatkan kualitas lingkungan kerja, tapi juga untuk mempromosikan harmoni dan keadilan dalam masyarakat secara lebih luas.

Mengubah Paradigma: Empati dan Kerendahan Hati

Untuk mengatasi dampak negatif dari perilaku angkuh, penting untuk mempromosikan paradigma baru yang berbasis pada empati dan kerendahan hati.

Mengembangkan empati memungkinkan individu untuk lebih memahami dan menghargai pengalaman serta perasaan orang lain, sehingga mendorong hubungan yang lebih harmonis dan kolaboratif di tempat kerja maupun dalam masyarakat.

Ketika kita mampu melihat dunia dari sudut pandang orang lain, kita lebih cenderung untuk memperlakukan mereka dengan penghormatan dan menghindari perilaku yang merendahkan atau menekan.

Kerendahan hati juga memainkan peran krusial dalam merombak paradigma yang ada.

Seorang pemimpin yang rendah hati tidak cuma mengakui kekuatan individu lain tapi juga mendorong partisipasi aktif dan kontribusi dari semua anggota tim.

Dengan menanamkan nilai-nilai ini dalam budaya organisasi, kita bisa membangun lingkungan di mana setiap individu merasa dihargai dan dihormati, tidak cuma berdasarkan posisi atau jabatan mereka, tapi sebagai manusia yang unik dengan kontribusi yang berharga bagi kesuksesan bersama.

Kesimpulan

Arrogansi berdasarkan hierarki yang dirasakan adalah masalah kompleks yang berakar dalam psikologi individu dan budaya organisasi.

Dengan memahami asal-usul dan dampaknya yang luas, kita bisa bersama-sama menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, inklusif, dan produktif.

Mari kita jadikan empati dan kerendahan hati sebagai landasan dalam berinteraksi di tempat kerja, sehingga setiap orang bisa tumbuh dan berkembang dengan maksimal.

Dalam perjalanan kita melalui kehidupan profesional, mari berusaha untuk memimpin dengan teladan, mengakui nilai kontribusi setiap individu, terlepas dari judul pekerjaan atau afiliasi organisasional mereka.

Bersama-sama, kita bisa menciptakan tempat kerja di mana setiap orang merasa dihargai dan diberdayakan untuk berkembang.

Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun