Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Talks about worklife and business. Visit my other blog: scmguide.com

-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Masa Pandemi itu Bukan untuk Kontes Produktivitas

10 Juni 2020   07:00 Diperbarui: 10 Juni 2020   07:07 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: Nirmal Rajendharkumar on Unsplash

Di masa pandemi ini, banyak rutinitas yang berubah. Setiap orang berusaha menemukan bentuk "normal"-nya yang baru berkaitan dengan lebih banyaknya aktifitas yang dilakukan dari rumah.

Banyak orang yang mencoba, mungkin termasuk anda, untuk melihat masa pandemi ini sebagai sebuah kesempatan untuk melakukan hobi atau hal-hal yang belum sempat dilakukan sebelumnya. Sering dengar kan ya? Orang berbicara tentang apa yang ingin mereka lakukan tapi mereka bilang belum sempat atau sudah terlalu lelah dengan pekerjaan yang ada.

Sebetulnya itu adalah bentuk respon yang bagus untuk mengurangi stres akibat pandemi. Melakukan hal-hal yang positif dan tetap produktif walaupun harus banyak beraktifitas dari rumah adalah sesuatu yang baik, begitu kan?

Masa pandemi sebagai kontes produktifitas

Masalahnya dimulai ketika kita menjadikan masa pandemi ini sebagai sebuah perlombaan produktifitas. Sebuah kontes siapa yang paling produktif di antara kita. Alih-alih menjadi semakin produktif, hal tersebut malah jadi beban sendiri untuk kita.

Di jaman yang serba cepat seperti sekarang ini, kita memang terbiasa untuk selalu "on". Dituntut untuk selalu siap menyelesaikan satu tugas ke tugas yang lain.

Ketika semua hal berubah di masa pandemi ini, orang akan mulai mencari-cari apa kegiatan yang bisa dilakukan untuk tetap merasa produktif seperti dulu dan bagaimana menghalau rasa kesepian karena berkurangnya interaksi sosial yang bisa dilakukan.

Banyak dari orang yang merasa kalau mereka harus membuat setiap harinya tetap produktif dengan terus berusaha menyelesaikan setiap item dalam to-do list mereka yang tidak ada ujungnya.

Dengan banyaknya waktu di rumah, bagi sebagian orang ini, sama artinya dengan semakin banyaknya waktu yang dimiliki untuk bisa menyelesaikan lebih banyak pekerjaan. Yang terpikir adalah seharusnya lebih banyak tugas yang bisa diselesaikan dengan banyaknya waktu yang tersedia.

Mereka berpikir kalau saat ini mereka bisa menggunakan waktu perjalanan ke kantor, yang sekarang tentu tidak ada lagi, untuk dimanfaatkan dalam rangka menyelesaikan lebih banyak lagi tugas. Dalam benak mereka, lebih banyak pekerjaan yang diselesaikan berarti lebih produktif.

Menariknya, pada level ekstrim, mereka yang begitu terobsesi untuk menyelesaikan item demi item dalam to-do list mereka yang panjang, tidak pernah merasa diri mereka produktif, terlepas dari berapa banyak pun pekerjaan yang mereka telah selesaikan. Selalu saja merasa kurang.

Apa yang kita lihat di media sosial

Photo: Nirmal Rajendharkumar on Unsplash
Photo: Nirmal Rajendharkumar on Unsplash

Masa pandemi, bagi sebagian orang, telah berubah menjadi sebuah kontes produktifitas. Pemenangnya adalah mereka yang paling banyak menghasilkan sesuatu.

Coba kita lihat apa yang ada di media sosial.

Mendadak, ada begitu banyak orang yang menujukkan betapa produktifnya mereka di masa pandemi ini.

Mendadak, ada begitu banyak yang "tampil" menjadi koki hebat, atlet berprestasi, atau musisi produktif sepanjang masa pandemi ini. Semua orang tiba-tiba begitu berambisi untuk mencapai sesuatu yang selama ini selalu ingin mereka capai. Ambisius itu baik. Tapi kita tetap harus menarik batas tegas agar ambisi itu bukannya malah menghancurkan kita.

Bagaimana agar tetap sehat

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, mempunyai ambisi itu baik. Punya tujuan itu bagus. Tapi kita harus menentukan target yang "sehat".

Bisa menyelesaikan banyak tugas dan pekerjaan itu sangat menyenangkan. Mungkin bisa dibilang mengakibatkan kecanduan. Membuat kita merasa ingin lebih dan lebih lagi. Membuat target yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.

Tetapi, satu hal yang tidak boleh dilupakan, menetapkan target itu tetaplah harus SMART (Specific, Measurable, Attainable, Relevant, and Time-based). Begitu salah satu dari kelima hal tersebut diabaikan, siap-siap saja untuk merasa gagal dan kecewa karena tidak bisa mencapai target.

Biasanya itu terjadi karena kita tidak memberi waktu yang cukup untuk mencapai target tersebut atau target itu sendiri yang dibuat terlalu tinggi.

Ini masalahnya. Ketika kepercayaan diri seseorang sangat bergantung pada berapa banyak target yang bisa ia raih, kegagalan mencapainya bisa mengganggu kepercayaan dirinya. Itu bisa membuatnya stres. Merasa gagal.

Padahal, di masa pandemi ini, kondisi psikis kita harus tetap dijaga agar tetap sehat karena bisa mempengaruhi kekebalan tubuh kita. Yang tentunya akan sangat berbahaya ketika kekebalan tubuh itu turun.

Photo: Annie Spratt on Unsplash
Photo: Annie Spratt on Unsplash

Sebagian orang yang berusaha sangat keras untuk melampaui target lebih dari yang biasa ia tetapkan sebelum masa pandemi, biasanya didorong oleh ketakutannya akan kehilangan kendali atas apa yang bisa dicapainya saat ini. Kalau perlu, mereka menjadikan kegiatan rutin, seperti memasak atau bersih-bersih, sebagai bentuk respon dari ketakutan itu dan untuk mengalihkan perhatian mereka dari penyebab ketakutan yang sebenarnya.

***

Tidak apa-apa untuk sesekali tidak produktif. Jangan merasa bersalah ketika itu terjadi. Mungkin bisa dibilang, tidak ada orang yang bisa 100% produktif dalam setiap waktunya.

Sebuah studi pada tahun 2019 menemukan korelasi antara workaholism dan depresi karena orang yang workaholic selalu berfokus pada "masalah-masalah" yang harus diselesaikan. Itu membuatnya terus menerus dihantui ketakutan jika tidak berhasil menyelesaikan masalah tepat pada waktunya. Pikiran-pikiran negatif akan terus muncul dalam benaknya.

Ingat, situasi yang kita alami saat ini mungkin hanya akan terjadi sekali dalam hidup kita. Begitu banyak hal yang bisa membuat kita kuatir saat ini, mulai dari masalah kesehatan, keselamatan diri dan keluarga, sampai masalah keuangan. Tidak perlu lagi kita tambahkan kekuatiran itu dengan perlombaan produktifitas yang bisa semakin membebani diri kita.

Dalam kondisi sekarang, kita mungkin tidak bisa melakukan semua hal sebaik dulu saat keadaan masih normal. Tapi, yang terbaik yang kita bisa lakukan saat ini, itu sudah cukup.

Tidak apa-apa untuk sesekali tidak mengerjakan apapun. Bagaimana pun, tubuh dan pikiran kita perlu untuk beristirahat. Jaga mental kita untuk tetap kuat selama masa pandemi ini.

Kalau melakukan kegiatan itu tidak membebani diri anda dan itu malah membuat anda bahagia, silakan canangkan beberapa proyek yang bisa anda lakukan dari rumah. Sekedar merenovasi rumah atau mencoba resep masakan baru, juga bisa dilakukan.

Tapi, terkadang memilih untuk sesekali tidak produktif justru adalah hal paling produktif yang pernah kita lakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun