Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Membuat Anak (Remaja) Menjadi Korban Perceraian Orangtua

7 September 2020   12:30 Diperbarui: 7 September 2020   12:31 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya teringat akan satu lirik sajak, Keluarga Cemara. Keluarga adalah harta paling berharga. Keluarga adalah mutiara yang paling indah. Ya, sungguh demikian adanya, bahwa keluarga merupakan tempat terindah di mana seorang dilahirkan dan mengenal dunia. Keluarga kemudian menjadi lingkungan pertama bagi anak untuk mendapat bimbingan serta untuk memenuhi kebutuhan hidup secara fisik dan psikis. 

Namun, dewasa ini terdapat begitu banyak kasus perceraian yang terjadi baik dalam kehidupan masyarakat biasa, pejabat, maupun para selebritis. Sungguh sangat jelas bahwa masalah perceraian sungguh menyengsarakan anak, secara khusus pada remaja. Mengapa? Sebab remaja merupakan periode yang penting dimana terjadi perkembangan fisik yang cepat juga disertai dengan cepatnya perkembangan mental. Keseluruhan perkembangan tersebut membutuhkan penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 2001).

Ketika anak beranjak remaja, maka dinamika psikologis yang dirasakan tentu berbeda dengan usia yang lain. Hal ini disebabkan karena pada usia remaja individu sudah mulai memahami seluk-beluk arti perceraian dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, termasuk permasalahan ekonomi, sosial, dan faktor-faktor lainnya. Pemahaman ini dapat membuat remaja semakin merasakan dampak perceraian pada kehidupan yang ia jalani, sebab fase remaja juga merupakan fase pertumbuhan yang cukup rentan, karena ciri khas dari fase ini adalah pencarian identitas.

Saat remaja, kestabilan keadaan perasaan dan emosi sebagai perasaan yang sangat peka, mengalami badai dan topan dalam kehidupan. Perasaan dan emosinya ini disebut dengan istilah "storm and tress". Seperti yang sudah kita tahu bersama, bahwa masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, sedangkan perceraian orangtua akan sangat berdampak pada remaja itu sendiri. 

Mulai dari tidak bisa menerima kenyataan perubahan akibat peristiwa perceraian, sampai pada permasalahan sehari-hari yang dialami remaja. Sementara itu, anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan uluran tangan dari kedua orangtuanya. Orangtua yang paling bertanggung jawab dalam keseluruhan eksistensi anak, yaitu kebutuhan fisik dan psikis sehingga anak dapat berkembang ke arah kepribadian yang matang. 

Semua ini hanya dapat dicapai bila hubungan pernikahan orangtua baik. Di mana hubungan pernikahan suami istri merupakan satu kesatuan dengan suasana keluarga penuh keakraban, saling pengertian, persahabatan, toleransi dan saling menghargai atau dapat dikatakan hubungan keluarga harmonis.

Keluarga yang harmonis akan memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan anak, sedangkan keluarga yang tidak harmonis akan memberikan pengaruh yang tidak baik pada perkembangan anak. Banyak penelitian telah melaporkan bahwa anak-anak yang orangtuanya bercerai mengalami lebih banyak masalah dalam penyesuaian dibandingkan anak-anak yang tumbuh dalam keluarga utuh. Salah satu persoalan yang mungkin paling berpengaruh adalah rendahnya harga diri.

Pembentukan harga diri pada anak yang orang tuanya bercerai tidaklah mudah, terutama pada masa remaja yang masih sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan. Pada masa remaja, ketika mereka berhadapan dengan masalah-masalah yang serius dan berat, perubahan perilaku tampak jelas pada mereka. Selama masa remaja perasaan mereka sangat tidak konsisten. Perasaan-perasaan tersebut berfluktuasi antara menerima diri mereka sendiri sebagai seseorang yang serba tahu menjadi seseorang yang tidak berdaya. 

Psikolog Philip M. Stahl, menulis beberapa kasus remaja dari orangtua yang bercerai tentang kehidupan dan perceraian orangtua, menyebutkan bahwa remaja belum sepenuhnya mampu menerima adanya perceraian orangtua. 

Bilamana terjadi perceraian, menjadikan remaja berpotensial mengalami kegagalan akademis, ketidakaturan waktu makan dan tidur, depresi, bahkan sampai pada percobaan bunuh diri, kenakan remaja, dewasa sebelum waktunya, penyalahgunaan narkoba, kekhawatiran hilangnya keluarga, cenderung kurang bertanggung jawab, merasa bersalah dan marah. Karena harga diri remaja merupakan aspek yang penting dalam perkembangannya, maka yang paling diharapkan adalah keluarga tidak bercerai ketika anak-anak mereka masih remaja.

Perceraian memang membawa banyak dampak yang mendalam bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk anak-anak mereka. Keterpurukan remaja akibat perceraian orangtua mereka memungkinkan remaja terjerumus dalam perilaku negatif seperti kenakalan remaja sebagai pelampiasan atau pelarian dari kemarahan mereka akan perceraian orangtua. 

Meski demikian, setiap orang, tidak terkecuali remaja, memiliki kemampuan untuk bangkit dari pengalaman negatif yang mereka alami, bahkan menjadi lebih kuat selama menjalani proses penanggulangannya. Kemampuan ini dinamakan resiliensi. Setiap anak yang pernah merasakan perceraian kedua orangtuanya, pasti akan merasakan kondisi yang sangat sulit. 

Upaya untuk bangkit dari keterpurukan dan mencapai kondisi resilien menjadi perjuangan setiap individu untuk masa depan yang lebih baik. Namun, resiliensi bukanlah suatu kondisi yang mudah dicapai. Kemampuan resiliensi pada setiap remaja berbeda-beda, bahkan ketika remaja dihadapkan pada masalah yang sama, yakni perceraian orangtua mereka. 

Asumsi ini dapat menimbulkan pertanyaan seperti bagaimana seorang remaja dapat mencapai kondisi resiliennya dan apakah lingkungan terdekat remaja dapat membantu remaja mencapai titik resiliensinya. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan probabilitas anak mencapai resiliensi dan transisi positif dalam penyesuaian diri serta dapat menurunkan perilaku maladaptif dan perilaku negatif dalam menghadapi perceraian orangtua (Chen & George, 2005). Faktor ini disebut dengan faktor protektif.

Faktor protektif berperan penting dalam memodifikasi efek negatif dari lingkungan yang merugikan hidup serta membantu menguatkan resiliensi (Nasution, 2011). Tekanan yang dirasakan oleh remaja setelah peristiwa perceraian orangtuanya dapat direduksi dengan faktor protektif, sehingga remaja dapat bangkit dan melihat masa depan mereka secara positif serta memaknai peristiwa perceraian orangtua mereka sebagai sebuah pengalaman berharga agar tidak terulang kembali di masa mendatang. 

Faktor protektif dapat juga menjadi referensi orang-orang yang berada di lingkungan remaja untuk berkontribusi membantu remaja untuk bangkit dan mencapai resiliensinya. Peran serta orang-orang terdekat remaja dapat memberikan kontribusi tertentu seperti dukungan moral pada remaja untuk dapat bangkit dan resilien.

Pesan terakhir saya, kiranya perceraian tidak boleh sampai terjadi. Kalau pun harus terpaksa, maka janganlah menjadikan anak sebagai korban. Mereka adalah anugerah yang harus dijaga dan dibesarkan secara fisik dan psikis. Mereka masih membutuhkan figure kedua orang tua. Ketika mereka melihat kedua orang tua mereka hidup dengan akur dan bahagia, niscaya kehidupan mental, sosial, dan emosional mereka akan ikut bahagia.

Sumber Bacaan:

Chen, J. & George, R. A. (2005). Cultivating Resilience in Children From Divorced Families. The Family Journal 13: 452

Hurlock, E.B. (2001). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta : Erlangga

Nasution, S. M. (2011). Resiliensi. Daya Pegas Menghadapi Trauma Kehidupan. Medan: USU Press

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun