Perceraian memang membawa banyak dampak yang mendalam bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk anak-anak mereka. Keterpurukan remaja akibat perceraian orangtua mereka memungkinkan remaja terjerumus dalam perilaku negatif seperti kenakalan remaja sebagai pelampiasan atau pelarian dari kemarahan mereka akan perceraian orangtua.Â
Meski demikian, setiap orang, tidak terkecuali remaja, memiliki kemampuan untuk bangkit dari pengalaman negatif yang mereka alami, bahkan menjadi lebih kuat selama menjalani proses penanggulangannya. Kemampuan ini dinamakan resiliensi. Setiap anak yang pernah merasakan perceraian kedua orangtuanya, pasti akan merasakan kondisi yang sangat sulit.Â
Upaya untuk bangkit dari keterpurukan dan mencapai kondisi resilien menjadi perjuangan setiap individu untuk masa depan yang lebih baik. Namun, resiliensi bukanlah suatu kondisi yang mudah dicapai. Kemampuan resiliensi pada setiap remaja berbeda-beda, bahkan ketika remaja dihadapkan pada masalah yang sama, yakni perceraian orangtua mereka.Â
Asumsi ini dapat menimbulkan pertanyaan seperti bagaimana seorang remaja dapat mencapai kondisi resiliennya dan apakah lingkungan terdekat remaja dapat membantu remaja mencapai titik resiliensinya. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan probabilitas anak mencapai resiliensi dan transisi positif dalam penyesuaian diri serta dapat menurunkan perilaku maladaptif dan perilaku negatif dalam menghadapi perceraian orangtua (Chen & George, 2005). Faktor ini disebut dengan faktor protektif.
Faktor protektif berperan penting dalam memodifikasi efek negatif dari lingkungan yang merugikan hidup serta membantu menguatkan resiliensi (Nasution, 2011). Tekanan yang dirasakan oleh remaja setelah peristiwa perceraian orangtuanya dapat direduksi dengan faktor protektif, sehingga remaja dapat bangkit dan melihat masa depan mereka secara positif serta memaknai peristiwa perceraian orangtua mereka sebagai sebuah pengalaman berharga agar tidak terulang kembali di masa mendatang.Â
Faktor protektif dapat juga menjadi referensi orang-orang yang berada di lingkungan remaja untuk berkontribusi membantu remaja untuk bangkit dan mencapai resiliensinya. Peran serta orang-orang terdekat remaja dapat memberikan kontribusi tertentu seperti dukungan moral pada remaja untuk dapat bangkit dan resilien.
Pesan terakhir saya, kiranya perceraian tidak boleh sampai terjadi. Kalau pun harus terpaksa, maka janganlah menjadikan anak sebagai korban. Mereka adalah anugerah yang harus dijaga dan dibesarkan secara fisik dan psikis. Mereka masih membutuhkan figure kedua orang tua. Ketika mereka melihat kedua orang tua mereka hidup dengan akur dan bahagia, niscaya kehidupan mental, sosial, dan emosional mereka akan ikut bahagia.
Sumber Bacaan:
Chen, J. & George, R. A. (2005). Cultivating Resilience in Children From Divorced Families. The Family Journal 13: 452
Hurlock, E.B. (2001). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta : Erlangga
Nasution, S. M. (2011). Resiliensi. Daya Pegas Menghadapi Trauma Kehidupan. Medan: USU Press