Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebih Ajar tentang "Seksualitas" agar Tidak Kurang Ajar

9 Juli 2020   21:35 Diperbarui: 9 Juli 2020   21:38 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cara kelima adalah integrasi. Menurut Kraft, supresi dan sublimasi menjadi cara yang cukup efektif secara psikologis dalam menghadapi dorongan seksual. Tetapi, kelemahan dari kedua cara itu adalah tetap memandang dorongan seksual atau genitalia secara fisik saja, padahal genitalia mempunyai segi lain yang perlu diperhatikan pula. 

Karena itu, Kraft menyarankan adanya integrasi yang bernilai, yaitu mengalami genitalia atau dorongan seksual sebagai suatu gejala yang membuka seluruh pribadi manusia. Integrasi berarti melihat dorongan seks sebagai manifestasi seluruh pribadi manusia. Dengan munculnya dorongan itu, kita diundang untuk melihat dimensi yang lebih dalam dari diri kita dan orang lain. 

Cara terakhir yang dapat dilakukan adalah menerima hal tersebut sebagai persembahan kepada Tuhan. Banyak Pastor, atau calon Pastor, dan juga para Rohaniwan/Biarawan-ti Katolik (atau kaum selibater pada umumnya), dalam praktek hidup selibat, mengatasi dorongan seksual yang kadang muncul dengan mempersembahkan dorongan itu kepada Tuhan, sambil bertahan dalam tekanan dorongan tersebut. 

Mereka sadar bahwa mereka akan sering mengalami dorongan seksual itu seperti setiap orang lain (awam) mengalaminya. Mereka dapat mensyukuri dorongan itu karena menjadi tanda bahwa mereka ternyata memang manusia yang normal. Mereka juga menyadari bahwa pilihan hidup selibat demi Kerajaan Allah, memang tidak mau menyalurkan dorongan itu secara badani lewat hubungan seks. 

Maka dorongan itu disadarinya sebagai sesuatu yang memang dipersembahkan kepada Tuhan sekaligus bertahan dalam situasi dorongan ini, akhirnya dorongan itu secara alamiah juga bisa teratasi dengan sendirinya.

Saya kira, pilihan cara yang terakhir ini, bisa menjadi rujukan penting bagi para Pastor, atau calon Pastor, atau para Rohaniwan/Biarawan-ti Katolik (kaum selibater pada umumnya), dalam menjalani hidup panggilan (hidup selibat) demi Kerajaan Allah.

Semoga dengan pemahaman ini, pendidikan seks atau seksualitas dalam proses pembinaan Katolik calon Pastor, atau para Rohaniwan/Biarawan-ti Katolik, bisa menjadi hal yang paling urgen untuk diindahkan, agar ke depan, persoalan pelecehan seksual dalam Gereja Katolik bisa teratasi. Berusahalah untuk ‘lebih ajar’ tentang seksualitas agar tidak ‘kurang ajar’ dengan bebas.

Sumber Bacaan:

Prasetya, F. M. (1992). Psikologi Hidup Rohani 2. Yogyakarta: Kanisius

Rathus, S.A., Nevid, J.S. & Rathus, L.F. (2011) Human Sexuality in a world of Diversity. Edisi ke-8. USA: Pearson Education, Inc.

Suparno, P. (2006). Spiritualitas dan Seksualitas dalam Hidup Membiara. Rohani Menjadi Semakin Insani: Menopang Impian Terpendam. Yogyakarta: Kanisius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun