Mereka juga mengalami dan merasakan dorongan kenikmatan duniawi dengan berbagai macam kebutuhan, salah satunya adalah kebutuhan seks. Ini tidak bisa dicegah. Jangan pernah menganggap bahwa ketika seorang frater menerima Sakramen Imamat dalam tahbisan, maka serta merta dirinya menjadi suci dan kudus. Jangan mengira bahwa Sakramen Imamat menjadikan mereka kehilangan hasrat seksual. Itu pemahaman yang keliru.
Berangkat dari situ, saya ingin menghantar kita pada pemahaman tentang hasrat seksual seoang laki-laki pada umumnya. Kita tentu tahu bahwa laki-laki dapat terangsang secara seksual oleh berbagai rangsangan, termasuk rangsangan taktil yang dilakukan oleh pasangan mereka, juga rangsangan visual, atau fantasi seksual. Terlepas dari sumber rangsangan, respons seksual pria, ereksi, dan ejakulasi dapat terjadi secara refleks (Rathus, Nevid & Rathus, 2011: 121).Â
Hormon seksual pria diketahui mempengaruhi dorongan seks dan respon seksual pada pria (Bialy & Sachs, 2002; Cooke et al., 2003, dalam Rathus, Nevid & Rathus, 2011: 145). Gairah seksual juga dapat dipengaruhi oleh salah satu bagian otak, yang disebut korteks serebral (cerebral cortex). Ketika seorang laki-laki memikirkan aktivitas seksual, gambar, keinginan, dan fantasi seksual, maka sel yang ada di dalam korteks serebral akan menafsirkan informasi sensorik tersebut untuk mengaktifkan atau mematikannya.Â
Sel ini akan mengirim pesan melalui saraf tulang belakang yang mengirimkan darah ke alat genital dan akhirnya menimbulkan ereksi. Setelah hal ini terjadi, korteks serebral pun juga dapat berfungsi untuk menyadarkan apakah aktivitas seksual tersebut merupakan sesuatu yang tepat atau tidak tepat, dapat menenangkan atau membuat semakin cemas, dan menimbulkan perasaan bersalah atau kepuasan, (Rathus, Nevid & Rathus, 2011: 142).
Prasetya (1992: 199) menyatakan bahwa terdapat beberapa cara sebagai kompensasi yang umumnya dilakukan manusia untuk mengelola kebutuhan psikologis terkait dengan kehangatan dan kepuasan seksual, khususnya biarawan/rohaniwan-ti (dalam hal ini para Frater-calon Pastor dan Pastor Katolik). Beberapa di antaranya adalah dengan melakukan kegiatan lain yang positif, seperti berolahraga, memelihara dan merawat hewan peliharaan, atau dengan cara-cara lain yang dapat dilakukan sesuai minat masing-masing.
Setidaknya saya sepakat dengan William Kraft dalam Celibate Loving, Encounter in Three Dimensions (Suparno, 2007: 83-89), yang menyatakan bahwa setiap manusia memiliki dorongan seksual, namun tidak harus untuk mengungkapkan dorongan itu secara badaniah.Â
Inilah yang mungkin perlu diperhatikan secara bijak oleh para Pastor, atau calon Pastor, dan juga oleh para Rohaniwan/Biarawan-ti Katolik (atau kaum selibater pada umumnya). Menurut Kraft, setidaknya ada lima cara untuk menghadapi dorongan seksual dalam diri. Silahkan dipilih sesuai kemampuan masing-masing:
Cara yang pertama adalah represi. Secara sederhana, represi mengesampingkan pengalaman seksual dari kesadarannya dengan cara menekan perasaan seksual yang ada, seakan-akan tidak terjadi dalam dirinya. Represi ini bersifat negatif, dapat menimbulkan stress, menjadikan orang mudah marah, merasa sakit, atau kadang dapat menjadikan orang menjadi sedih sendiri dalam komunitas. Represi ini menolak kenyataan bahwa kita manusia yang seksual. Kita menolak bahwa kita diciptakan Tuhan dengan tubuh seksual.
Cara kedua yang dapat dilakukan adalah supresi. Cara ini seperti represi, tetapi dengan kesadaran dan pilihan. Orang mengatakan ‘tidak’ pada sesuatu yang sebenarnya ‘ya’. Supresi ini kadang disebut mortifikasi, mematikan sesuatu dalam diri kita, demi suatu nilai yang lain. Ia tetap seksual, tetapi tidak mau menyalurkannya.
Cara ketiga yang dapat dilakukan untuk menghadapi dorongan seksual adalah sublimasi. Sublimasi adalah tindakan mengarahkan dorongan seksual kepada suatu tindakan atau kegiatan yang lain, seperti kerja, melakukan karya sosial, seni, dan sebagainya. Biasanya, tindakan sublimasi dilakukan karena bertentangan dengan nilai yang ingin dikejar.
Cara keempat yang dapat dilakukan adalah gratifikasi atau pelampiasan. Orang melampiaskan dorongan seksualnya dengan cara melakukan pemuasan secara fisik seperti masturbasi, sanggama, onani dan sebagainya. Pemuasan ini sering dipakai untuk mengurangi loneliness, kekosongan, dan kesepian. Sesudahnya, kekosongannya akan semakin bertambah, dan muncul rasa bersalah. Bagi kaum selibater Katolik, cara ini dinilai tidak baik dan tidak sehat karena tidak mengembangkan pribadi secara menyeluruh.